BRANDONArini berlari ke dalam pelukan begitu aku merentangkan kedua tangan menyambutnya. Dia terisak di dada ini lama sekali. Kubiarkan dia melepaskan apa yang terasa, meski tidak tahu persis apa yang terjadi belakangan ini. Termasuk apa alasannya menjauh dariku.Tangan ini membelai kepala belakang Iin, berusaha menenangkan. Mataku juga menghangat sekarang, bulir bening seakan ingin berlarian keluar. Akhirnya bisa bertemu Arini lagi dalam jarak dekat.Perlahan pelukan melonggar, Iin memandang lekat wajahku. Senyum lembut tergambar di parasnya.“Lo nangis, Bran?” tanya Iin sambil menyeka air mata yang turun di pipi.Tentu saja aku menangis haru karena bisa berada di dekatnya lagi, setelah enam bulan tidak ada komunikasi yang terjalin dengan baik di antara kami. Kepala menunduk, lantas mengangguk.“Ini pertama kali lo nangis loh,” sambungnya.Lo nggak tahu gimana rindunya gue selama ini, In, bisikku dalam hati.Gengsi menghambatku mengatakan perasaan yang sebenarnya. Aku memilih diam t
ARINISatu tahun berlalu sudah. Gue dan Bran akhirnya merajut kembali jalinan persahabatan yang sempat koyak. Setelah putus dengan Moza, dia kembali rajin kuliah. Katanya nyesel sih telah menyia-nyiakan satu tahun kuliah demi seorang wanita. Alhasil Brandon harus mengulang lagi tahun depan.Oya, gue juga berhasil meyakinkan Bokap kalau Brandon nggak bakal memberi dampak buruk dalam kehidupan ini. Dia akan selalu menjadi sahabat seperti sebelum-sebelumnya.Mengenai kepindahan keluarga ke kampung halaman, awalnya Bran khawatir banget kalau gue bakalan ikut. Sampai uring-uringan takut nggak bisa lagi ketemu, namun lagi-lagi diri ini berhasil meyakinkan Bokap akan tetap tinggal dan bekerja di Jakarta.“Kira-kira gue bisa lulus tahun depan nggak ya? Gengsi nih, lo lulus tahun ini loh,” tanya Bran ketika kami sedang duduk di kantin.“Bisa. Nanti gue bantu belajar dan bikin tugas.”“Skripsi juga ya,” pinta Bran menaik-naikkan alis.Gue mengetuk pelan keningnya. “Nggak mau. Skripsi lo kerjaka
BRANDONAku panik sekali ketika Bi Ijah menelepon sepuluh menit lalu. Beliau mengatakan Mama dan Papa bertengkar hebat di rumah. Ada apa? Kenapa mereka bisa bertengkar? Selama ini tidak pernah ada masalah berarti.Mata terpejam erat ketika membayangkan berbagai kemungkinan penyebab keduanya bertengkar. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?Hingga saat ini aku belum mengatakan alasan kenapa tiba-tiba harus pulang kepada Arini. Bersyukur dia tidak menanyakan dan menurut ketika diminta tolong menyetir ke rumah. Dengan perasaan seperti ini, mustahil bagiku mengemudi kendaraan pulang.Aku memandang sendu Iin yang fokus mengemudi. Beruntung jalanan macet, sehingga dia bisa mengemudi dengan tenang. Ternyata kemampuan menyetirnya mengalami kemajuan yang pesat.“Nanti sampai rumah, lo jangan masuk dulu ya, In. Drop aja gue di depan pagar,” pintaku menoleh ke arah Iin.Arini menggelengkan kepala. “Gue turun sebentar aja. Kangen sama Tante, udah seminggu nggak ketemu.”“Jangan sekarang, In.”“K
ARINIRasanya segar banget selesai mandi. Begitu pulang anterin Bran ke Menteng Dalam, gue langsung masak apalagi Donny sebentar lagi mau pulang. Selesai berpakaian, pikiran kembali teringat dengan Brandon. Apa yang terjadi dengannya? Siapa yang telepon tadi? Kayaknya bukan Tante Lisa.Gue meraih ponsel dari atas meja rias, lantas melihat pesan yang dikirim kepada Bran begitu sampai di rumah. Masih belum dibaca. Pikiran sekarang jadi nggak tenang, apalagi dia belum memberi kabar sampai sekarang.Selesai menyisir rambut dan mengikatnya setengah di bagian atas, gue langsung keluar dari kamar. Donny kayaknya sudah pulang, tapi belum turun ke bawah. Mungkin istirahat dulu dan mandi.Baru mau melangkah menuju meja makan untuk menyediakan makan malam, terdengar pintu diketuk. Kening ini berkerut memikirkan siapa yang bertamu menjelang malam begini? Pandangan beralih melihat rak sepatu, benar Donny sudah pulang. Siapa yang datang?Sebelum membuka pintu, gue mengintip dulu dari jendela. Dilih
BRANDONAku memandang Iin lekat ketika menyuapkan nasi untukku. Dia memaksaku makan, khawatir sakit katanya. Sungguh beruntung sekali memiliki sahabat seperti Arini yang perhatian, pintar masak dan tidak pernah meninggalkanku di saat terpuruk.Andai saja aku tidak pernah bertemu dengan Inez dan Moza, masih bisa menjaga kesucian diri, pasti tanpa berpikir panjang sudah kulamar dia. Tapi sekarang diri ini tidak pantas bersanding dengan Iin yang belum pernah tersentuh laki-laki lain. Gadis yang masih suci ini pantas mendapatkan pria yang lebih baik dariku. Siapapun laki-laki yang akan menjadi suaminya kelak, semoga saja tidak pernah menyakiti hati sahabatku.“Habisin ya,” ujarnya tersenyum lembut.Aku mengangguk. Tangan kiri terangkat ke atas memegang tangan Iin, sementara tangan kanan meraih piring yang dipegangnya lantas diletakkan di atas meja. Arini melihatku dengan kening berkerut bingung.Entah apa yang merasukiku sekarang, sehingga berani menarik pinggangnya sehingga tubuh ringan
ARINISelesai salat subuh, gue langsung mengambil ponsel dari samping tempat tidur. Baru ingat Tante Lisa belum dikabari kalau Bran hari ini nginap di rumah. Baru saja ponsel berada di tangan, sebuah panggilan masuk. Ternyata Tante Lisa yang menelepon.“Halo, Tan,” sapa gue setelah menerima panggilan.“Halo, Rin. Brandon tidak ada di rumah. Tante coba telepon, ponselnya tidak aktif. Kamu tahu dia sekarang lagi di mana?” tanya Tante panik dengan suara sengau.“Bran tadi malam nginap di sini, Tan. Maaf aku belum kasih kabar, jadinya Tante khawatir sekarang,” jawab gue.Terdengar embusan napas lega. “Syukurlah. Tante baru tahu waktu ke kamarnya barusan, ternyata kosong tidak ada orang.”“Tante tenang aja ya. Brandon masih tidur di luar.”Hening di seberang sana, hanya terdengar isakan Tante yang menghadirkan pilu di hati ini.“Brandon sudah cerita?” Tante bersuara kemudian.“Sudah, Tan,” sahut gue singkat. Nggak tahu harus gimana meresponsnya.“Kalian berdua ke sini ya, Nak,” pinta Tante
BRANDONAku senang setiap kali melihat wajah Iin bersemu merah. Rasanya menggemaskan. Bahkan dengan candaan yang dilontarkan beberapa jam lalu, dia jadi salah tingkah.Dan hei, apakah kalian mengira aku tidak tahu saat dia mencium kening ini tadi? Ya, aku merasakannya tapi memilih pura-pura tidak tahu. Mungkin Iin melakukan hal itu, karena kasihan kepadaku. Entah kenapa terasa begitu damai, sehingga seluruh masalah menghilang seketika.Arini benar-benar menjadi tonggak penyangga yang menguatkan ketika fondasiku mulai rapuh. Rasanya aku tidak bisa lagi hidup tanpa dirinya. Semoga saja jika dia menikah nanti, kami masih bisa berjumpa.Desahan pelan keluar dari sela bibir ketika selesai berpakaian di kamar yang biasa ditempati Tante Asma dan Om Yunus. Setelah dibujuk oleh Iin, akhirnya aku setuju pulang menemui Mama dengan catatan kembali lagi ke rumah ini setelah berbicara dengan beliau.“Udah selesai, Bran?” teriak Iin dari luar kamar.“Ya, sebentar. Gue keluar sekarang.” Aku segera me
ARINISetahun sudah pasca perselingkuhan yang dilakukan oleh Om Sandy. Kondisi psikologis Bran dan Tante Lisa mulai pulih. Meski begitu, ada yang berubah setelah kejadian itu. Rumah keluarga Harun di Menteng Dalam menjadi lengang, tanpa kehadiran Om Sandy dan Brandon.Bran memutuskan keluar dari rumah dan memilih tinggal di kos-kosan dekat tempat gue kos, hanya berjarak dua rumah di daerah Kebon Melati, Jakarta Pusat. Katanya mau resign juga dari perusahaan Om Sandy, padahal belum satu tahun bekerja di sana.Awalnya Bran menolak bekerja di perusahaan tersebut, namun Tante Lisa terus membujuk. Gimanapun juga dia adalah pewaris The Harun’s Group, meski nggak lagi menjadi pewaris tunggal sekarang.Oya, sekarang gue bekerja di perusahaan konsultan data milik Singapura yang terletak di kawasan Sudirman. Perusahaan ini bergerak di bidang jasa informasi perusahaan yang ada di Indonesia baik masih dalam berbentuk CV, PT, BUMN hingga Perusahaan Modal Asing (PMA).“Gimana kerjaan lo sekarang, I
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku