Perkataan Rasti sangat menyakitkan sekali. Namun, Lintar hanya diam saja, ia tidak mau meladeni kemarahan wanita paruh baya itu. Lintar tampak bingung dan harus berkata apa lagi, supaya Rasti dapat memahami penjelasan darinya.
Sehingga, Lintar mulai mengambil sebuah keputusan untuk mengalah, karena tidak ada faidahnya jika terus berdebat terlalu lama dengan wanita paruh baya yang super sombong itu.
Lintar menarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa saat lamanya terdiam, akhirnya Lintar kembali buka suara, "Baik, Bu. Saya akan mencari Eva, sampai saya menemukannya" tegas Lintar.
Rasti menudingkan jari telunjuknya ke arah Lintar sambil melotot tajam.
"Saya pegang ucapan kamu! Kalau kamu bohong, saya tidak akan segan-segan untuk melaporkan kamu kepada pihak kepolisian!" kata Rasti melontarkan ancaman.
Lintar tersenyum hambar menatap wajah wanita paruh baya itu. Namun, Lintar tidak mau ambil pusing dengan sikap Rasti yang sudah keterlaluan itu, sehingga dirinya pun mengiyakan perkataan Rasti.
"Iya, Bu. Saya akan segera mencari anak Ibu," jawab Lintar. "Saya akan bertanggung jawab atas kaburnya Eva," tandas Lintar menambahkan.
"Harus kamu ketahui juga! Saya datang ke sini, bukan karena ingin meminta kamu agar menerima cinta anak saya," kata Rasti dengan mulut terbuka lebar. "Karena saya tidak sudi punya menantu miskin seperti kamu!" imbuhnya penuh kegusaran.
Setelah itu, Rasti langsung berlalu dari hadapan Lintar tanpa mengucapkan salam.
Semua kalimat yang terlontar dari mulut wanita paruh baya itu, sangat menyakiti perasaan Lintar. Secara tidak langsung, Rasti sudah mempermalukan Lintar di hadapan para tetangganya yang saat itu mengetahui kedatangan orang kaya angkuh itu.
Bahkan, kemarahan yang ditunjukkan oleh Rasti menjadi sebuah tontonan warga yang ada di sekitaran rumah Lintar. Warga sekitar merasa iba melihat pemandangan seperti itu, bahkan mereka pun turut berkomentar atas sikap Rasti.
"Urusan cinta ditolak mau bawa-bawa pihak kepolisian," gerutu salah seorang tetangga dekatnya Lintar yang pada saat itu tengah berkumpul di sebuah warung tidak jauh dari kediaman Lintar.
Semua orang yang ada di warung tersebut, mendengar jelas kata-kata kasar penuh cacian yang keluar dari mulut Rasti.
"Sekalian saja lapor ke presiden!" sahut yang lainnya geram terhadap sikap Rasti yang sungguh keterlaluan.
Para tetangga dekat Lintar sangat prihatin melihat Lintar yang hidup sebatang kara, dicaci-maki oleh Rasti. Mereka sangat mengenal baik Lintar dan tahu siapa itu Lintar? Dia adalah seorang pemuda yang baik dan sopan terhadap sesama. Meskipun jarang bergaul, namun Lintar memiliki sikap yang ramah ketika bertemu dengan para tetangga.
"Kejam banget ya, Bu Rasti? Kasihan si Lintar, baru bangun tidur sudah dimaki-maki," desis Rika yang merupakan tetangga dekatnya Lintar.
"Biasanya kalau orang sering dihina, akan diangkat derajatnya oleh Allah," sahut yang lainnya.
"Begitu pun sebaliknya, bagi orang yang suka menghina. Maka, hidupnya akan cepat hancur," timpal seorang pria paruh baya yang tengah duduk santai menikmati segelas kopi hitam di beranda warung tersebut.
"Memang benar, Pak Giman. Ibarat kata pepatah, api yang cepat menyala akan cepat padam, begitu pun dengan kesombongan. Sudah barang tentu, kesombongan Bu Rasti akan mencelakai dirinya sendiri," tandas Rika berpaling ke arah Giman.
"Saya juga kemarin ketemu sama Bu Rasti di minimarket. Disapa sopan-sopan sama saya, eh malah buang muka. Jadi malu sendiri saya," sahut seorang ibu yang sebaya dengan Rika.
"Lagian, Ibu gak ada kerjaan menyapa orang sombong seperti itu," kata sang pemilik warung.
"Saya ini, 'kan menghargai dia sebagai tetangga."
"Iya, tapi Bu Rasti tidak menganggap kita sebagai tetangganya," sahut Pak Giman tersenyum-senyum sembari geleng-geleng kepala.
* * *
Pukul empat sore, Lintar sudah bersiap untuk segera berangkat mencari Eva. Ia tetap berusaha untuk bertanggung jawab atas kaburnya Eva, meskipun itu bukan sepenuhnya kesalahan dirinya.
"Kalau tahu persoalannya akan seperti ini, mungkin dari dulu aku tidak akan mendekati si Eva," gerutu Lintar sambil menutup pintu dan langsung melangkah menghampiri motor matic tua kesayangannya, yang warna bodinya sudah usang tidak mengkilap lagi.
"Lintar!" teriak seorang pria paruh baya dari arah belakang Lintar.
Mendengar teriakan tersebut, Lintar berpaling ke arah ke arah belakang. Lantas, ia menjawab, "Iya, Pak. Ada apa?" tanya Lintar lirih.
Pria paruh baya itu tidak menjawab pertanyaan Lintar, ia hanya tersenyum sambil melangkah menghampiri Lintar yang sudah bersiap hendak berangkat mencari Eva.
"Kamu mau ke mana, Tar?" tanya pria paruh baya itu, berdiri di hadapan Lintar.
"Mau mencari Eva, Pak Giman," jawab Lintar dengan sikap ramah.
"Ya, Allah! Lintar. Biarkan saja, itu, 'kan bukan kesalahan kamu. Kenapa harus repot-repot menuruti perintah Bu Rasti?"
"Kok, Pak Giman tahu, sih?"
"Ya, tahu. Bukan hanya saya saja yang tahu, semua warga kampung ini tahu tadi siang kami dimarahi Bu Rasti," jawab pria pria paruh baya itu. "Sebaiknya kamu jangan repot-repot mencari Eva, dia tidak mungkin kabur jauh!" sambungnya lirih.
"Tidak apa-apa, Pak. Walau bagaimanapun, Eva adalah sahabat baik saya. Jadi, saya juga harus bertanggung jawab, saya takut terjadi apa-apa dengan Eva."
Giman menghela napas panjang, ia tersenyum lebar menatap wajah pemuda tampan itu. Ada rasa kagum yang terbesit dalam pikiran Giman kala itu.
"Kamu sangat baik dan bersikap bijaksana. Ya, sudah. Semoga kamu dapat secepatnya menemukan Eva," ucap Giman lirih.
"Iya, Pak," kata Lintar balas tersenyum.
Setelah itu Lintar pamit kepada pria paruh baya itu, dan langsung menjalankan motornya berlalu dari hadapan Giman.
Saat itu Lintar langsung menuju ke rumah Devia dengan mengendarai motor matic warisan almarhum ayahnya. Lintar sangat yakin bahwa Eva pasti ada di rumah Devia.
"Semoga saja, Eva ada di rumah Devia. Ya, Allah! Tolonglah hamba!" desis Lintar sambil terus melajukan motornya menyusuri jalan utama desa yang tembus hingga ke sebuah kompleks perumahan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari desa tempat tinggalnya.
Perjalanan menuju ke kediaman Devia hanya memakan waktu sekitar 10 menit saja. Ketika sudah tiba di depan rumah Devia yang berdiri kokoh di antara deretan rumah-rumah megah yang ada di kompleks perumahan tersebut. Lintar langsung menepikan motornya tepat di bahu jalan dekat pintu gerbang rumah itu.
Seorang pria paruh baya tersenyum lebar menyambut kedatangan Lintar. Ia langsung melangkah menghampiri Lintar yang baru saja turun dari motornya.
"Selamat sore, Nak Lintar," ucap pria paruh baya itu bersikap ramah dan sopan terhadap Lintar.
"Iya, Pak Edi. Selamat sore juga," jawab Lintar tersenyum lebar sedikit membungkukkan badan.
"Kenapa motornya tidak sekalian dimasukkan saja, Nak Lintar?!" tanya Edi meluruskan pandangannya ke wajah Lintar.
"Tidak apa-apa, Pak. Di sini saja, saya tidak lama kok," jawab Lintar lirih. "Ngomong-ngomong, Devianya ada, Pak?" sambung Lintar bertanya.
"Ada, tadi saya lihat Non Devia sedang ngobrol dengan Non Eva," jawab pria paruh baya itu.
Lintar tampak semringah setelah mendengar bahwa Eva ada di rumah tersebut. "Jadi, Eva sedang bersama Devia, Pak?" tanya Lintar lagi.
"Iya, ada. Non Eva sudah dua malam menginap di sini."
"Alhamdulillah! Ya, Allah!" ucap Lintar tampak senang mendengar jawaban dari petugas keamanan itu.
Dengan demikian, Lintar langsung pamit kepada Edi dan segera melangkah menuju beranda rumah tersebut untuk menemui Devia dan Eva. Memang benar apa yang dikatakan oleh Edi, Devia saat itu tengah berbincang santai dengan Eva di teras rumahnya. Gadis cantik berkulit putih itu tampak senang ketika melihat kedatangan Lintar. "Ya, Allah! Lintar! Akhirnya datang juga," desis Devia tersenyum lebar meluruskan pandangannya ke arah Lintar. Lintar balas tersenyum sambil melangkah menuju ke arah beranda rumah sahabatnya itu. Setelah berada di hadapan Devia dan Eva, Lintar langsung mengucapkan salam, "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam," jawab Devia dan Eva. Devia bangkit dan langsung mempersilakan Lintar untuk duduk, "Silahkan duduk, Tar!" "Iya, Dev. Terima kasih," jawab Lintar. Lintar melangkah menuju ke arah kursi yang ada di teras rumah tersebut,, kemudian ia duduk bersebelahan dengan Eva. "Kamu pasti mau menjemput Eva. Iya, 'kan?" tanya Devia tersenyum-senyum menatap wajah Lintar. L
Keesokan harinya .... Sekitar pukul delapan pagi, Lintar menyempatkan diri berkunjung ke rumah Eva, karena ia ingin memastikan bahwa Eva benar-benar sudah memaafkan dirinya. Sebelum berangkat ke rumah Eva, Lintar meneleponnya terlebih dahulu. Kebetulan saat itu Rasti tidak ada di rumah, sehingga Lintar dan Eva menjadi lebih leluasa lagi dalam melakukan perbincangan. "Assalamualaikum," ucap Lintar lirih. "Waalaikum salam," sahut Eva yang saat itu sedang berada di teras rumah. Eva langsung mempersilahkan duduk kepada sahabatnya itu, "Silakan duduk, Tar!" Lintar hanya mengangguk dan langsung duduk di sebuah kursi yang ada di teras rumah tersebut. Setelah itu, Lintar langsung berbincang dengan Eva. "Aku harap kamu tidak marah lagi, karena sedikit pun aku tidak bermaksud hendak menyakiti perasaan kamu, Va," ucap Lintar di sela perbincangannya dengan Eva. "Iya, Tar. Aku juga paham," jawab Eva masih bersikap dingin. Lintar tersenyum lebar dan merasa lega mendengar perkataan dari saha
Dengan demikian, Dani pun langsung menjawab, "Menurut pandanganku, Sekar itu baik. Tapi—" kata Dani berhenti sejenak. "Kok, ada tapinya?" potong Lintar mengerutkan kening menatap wajah Dani. "Dengarkan dulu!" "Baik, aku akan mendengarkan saran kamu. Tapi ingat, jangan becanda!" Dani hanya tersenyum, kemudian melanjutkan perkataannya, "Kamu cocok dengan dia, tapi akan lebih cocok lagi jika kamu berhubungan dengan wanita lain! Jangan sama si Sekar, dia itu rumahnya dekat dengan si Eva. Jangan sampai hubungan kamu dengan si Sekar akan menumbuhkan rasa sakit hati dalam diri si Eva." Apa yang dikatakan oleh Dani memang benar adanya. Sejatinya, Dani tidak mau jika sahabatnya itu, kembali terlibat masalah jika memutuskan untuk berhubungan dengan Sekar yang merupakan tetangga dekatnya Eva. "Terus sama siapa, dong?" tanya Lintar bingung. "Ya, kamu carilah! Kamu ini, 'kan playboy, masa tidak bisa cari wanita yang lebih baik dari si Eva," jawab Dani sambil tersenyum lebar. Lintar hanya di
Lintar tersenyum mendengar pertanyaan dari Sekar. "Pertanyaannya membuat Kakak bingung harus jawab apa?" jawab Lintar meluruskan dua bola matanya ke wajah Sekar. "Kok, bingung? Kan, tinggal jawab saja, Kak," desak Sekar. Dengan demikian, Lintar pun langsung menjawab pertanyaan gadis cantik itu, "Antara Kakak dengan Eva tidak ada hubungan spesial. Kami hanya bersahabat saja sama seperti dengan hubungan kita," tandas Lintar menjelaskan. Dengan demikian, Sekar pun merasa lega mendengar jawaban tersebut. Seakan-akan, ia memiliki peluang besar untuk mendekati pemuda tampan yang selama ini sangat ia kagumi. "Memangnya ada hal apa, Kar? Kamu kok, bertanya masalah hubungan Kakak dengan Eva?" Ditanya seperti itu oleh Lintar, mendadak Sekar menjadi salah tingkah, bibirnya terasa kelu, dadanya pun mulai berdebar-debar. Apalagi ketika melihat dua bola mata sang pemuda tampan yang terus menatapnya. "Maaf ya, Kak. Sebenarnya—" Sekar tidak melanjutkan perkataannya, ia terdiam sejenak sambil men
Mira balas tersenyum, dalam hatinya berkata, 'Aku juga tahu, Kak Lintar tidak mungkin bisa servis ponselku. Ini hanya trik, agar aku bisa dekat dengan kamu, kakak tampan.' "Hai! Kamu kenapa, Mir?" tanya Lintar sedikit mengagetkan Mira yang terus memandanginya. "Ti–tidak apa-apa, Kak." Mira menyahut dengan gugupnya. "Kirain—" "Kirain kenapa, Kak?" "Kirain kamu kesambet," jawab Lintar tertawa lepas. "Kak Lintar jahat!" Mira tampak ketus. Namun, meskipun demikian, ia tetap bahagia bisa berada di dekat pria tampan yang sangat ia kagumi itu. 'Aku hanya ingin melihatmu bahagia meski pada akhirnya kau tidak bersamaku. Walau pada akhirnya aku tidak bersamamu maka yang paling aku inginkan adalah melihatmu bahagia. Ketahuilah aku akan merasa sedih ketika kau bersedih dan aku merasa tidak tega jika harus melihatmu menderita, meski aku bukan siapa-siapa bagimu namun aku berharap kau bahagia,' kata Mira dalam hati. Mira memiliki perasaan cinta dan sayang terhadap Lintar. Namun, ia tidak sep
Dengan gerakan cepat, Lintar langsung berlari menghampiri kedua pria tersebut. Tanpa basa-basi, Lintar langsung menghujamkan dua pukulan keras mengenai wajah dua pria itu, sehingga mereka terjatuh dengan mulut mengeluarkan darah segar, akibat hantaman tinju keras dari Lintar. "Kurang ajar! Siapa kau?" bentak salah seorang di antar kedua pria itu, tampak kesal dengan kehadiran Lintar. Tampang mereka terlihat sangar, berkulit hitam legam dan wajahnya dipenuhi banyak bekas luka. Sepertinya, mereka adalah para preman di tempat tersebut. Dari tampang mereka sudah jelas tergambar, bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan. "Aku tidak pernah menghendaki adanya perkelahian. Namun, kalianlah yang telah memulainya," kata Lintar berusaha untuk tetap tenang dalam menghadapi kedua pria itu. "Jangan banyak bicara! Hadapi saja aku!" tantang salah satu dari mereka bangkit dan langsung memburu Lintar dengan mengayunkan tangan hendak memukul ke bagian wajah Lintar. Lintar bukan
Setibanya di dalam restoran, mereka berdua langsung duduk saling berhadapan. Dada mereka mulai berdebar-debar ketika mata mereka saling berpandangan, keduanya terus saling memandang satu sama lain. Merasakan getaran-getaran yang tumbuh dalam jiwa dan pikiran mereka. Saling menilai, mengamati, dan menelaah kepribadian di antara mereka melalui pandangan mata. Sehingga, rasa suka sulit ditahan lagi, tumbuh dan berkembang seiring dengan kebersamaan mereka saat itu. "Terima kasih ya, Wi. Sudah mengajakku ke sini," kata Lintar lirih. Dewi hanya tersenyum sambil memegang erat telapak tangan Lintar. "Sama-sama. Justru aku yang harus berterima kasih kepada kamu." Dewi menyahut dengan suara lembutnya. Tidak lama kemudian, datang seorang pelayan dengan membawa catatan menu makanan. Pelayan tersebut langsung menyapa Dewi dan Lintar, “Selamat datang di restoran kami, Pak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan sikap ramahnya. Dewi langsung meraih catatan menu yang diberikan ol
Tidak terasa hari sudah semakin sore, dan sebentar lagi waktu magrib akan segera tiba. Dua jam sudah berlalu di antara kebersamaan indah Lintar dan Dewi di tempat tersebut. "Sebentar lagi mau magrib. Kita pulang sekarang ya, Tar!" ajak Dewi lirih. Lintar mengangguk sambil tersenyum. Lalu bangkit dari duduknya. "Ayo!" ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Dewi. "Aku ke rumah kamu yah! Sekalian lewat, tapi aku tidak mampir dulu!" kata Dewi meraih uluran tangan Lintar. Lintar hanya mengangguk dan langsung melangkah bergandengan tangan dengan wanita cantik yang baru ia kenal itu. Dunia terasa indah bagaikan milik mereka berdua, langkah kaki pun terasa ringan. Napas terasa segar, penuh warna yang hadir dalam kehidupan mereka saat itu. Itulah cinta, datang secara tiba-tiba—tanpa terduga. Tak ada proses panjang yang mengharuskan tumbuhya perasaan cinta di antara mereka, hanya satu pertemuan—mampu menyiram benih-benih cinta yang bersemayam sehingga tumbuh subur dan berkembang dalam s
Keesokan harinya .... Lintar sudah berada di kantor, hari itu merupakan hari terakhirnya bekerja. Karena Lintar sudah menerima tawaran Dewi untuk mengelola perusahaannya. "Banyak sekali kenangan indah di kantor ini, tidak mudah aku melupakan semuanya." Lintar bergumam sambil duduk dengan pandangan menerawang jauh menembus jendela ruangan kerjanya itu. Memang berat meninggalkan perusahaan tersebut, tapi itu adalah jalan terbaik yang harus Lintar ambil. Demi masa depannya yang sebentar lagi akan menjadi suami Dewi. Dewi memintanya untuk bergabung dengan perusahaan miliknya bukan karena Lintar akan menjadi suaminya. Namun, Dewi memutuskan hal itu karena paham bahwa Lintar memiliki kemampuan dalam mengelola perusahaan dengan baik. "Kamu tahu, 'kan, Pak Lintar mau keluar dari kantor ini?" tanya Lusi kepada rekannya. "Iya, tahu. Kemarin aku baca status Pak Lintar di medsos," jawab seorang wanita cantik berkacamata, "Kantor ini akan menjadi sepi kalau Pak Lintar keluar," sambungnya. "H
Lintar dan Dewi terus berbincang-bincang santai bersama Syarif dan istrinya. Ada banyak hal yang mereka bicarakan pada saat itu, bukan hanya terkait pernikahan mereka yang sebentar lagi akan digelar. Namun, mereka pun membahas hal lain yang berkaitan dengan bisnis dan juga kehidupan mereka selama ini.Sekitar pukul setengah enam sore, Lintar dan Dewi pamit pulang kepada Syarif dan istrinya. Saat itu, mereka buru-buru pulang karena mendapatkan kabar bahwa Mirna—asisten rumah tangga Dewi mengalami kecelakaan.Mirna mengalami kecelakaan saat pulang dari mini market. Ketika dirinya tengah menyebrang, tiba-tiba saja ia ditabrak lari oleh seorang pengendera motor. Hal tersebut, menyebabkan Mirna harus dirawat di rumah sakit."Kita langsung ke rumah sakit Siloam saja! Mirna dirawat di sana," kata Dewi panik."Iya, Wi," jawab Lintar sambil mengemudikan mobilnya, "Kamu jangan panik! Kamu harus tenang! Percayalah, Mirna pasti baik-baik saja," sambung Lintar sedikit berpaling ke arah Dewi yang d
Dewi kembali memeluk tubuh Lintar. Bibirnya yang halus terpulas merahnya gincu, menempel lembut di atas dahi Lintar."Terima kasih banyak Lintarku sayang," ucap Dewi lirih.Lintar hanya tersenyum, sejatinya ia sudah tidak dapat menahan godaan tersebut. Ingin rasanya Lintar mencumbui Dewi saat itu juga, akan tetapi Lintar masih kuat menahan gejolak dalam jiwa dan perasaannya itu. Lintar bersikap lebih dewasa lagi, tidak seperti dulu yang gampang terpancing oleh hawa nafsunya sendiri. Kini, ia lebih memikirkan dampak yang akan terjadi ke depan, ia tidak mau gegabah menjamah kesucian seorang wanita hanya melampiaskan hasratnya saja.****Setelah beberapa jam berada di kediaman Dewi. Lintar pun langsung pamit pulang kepada kekasihnya itu."Sudah jam sepuluh lebih, aku pulang dulu, yah," kata Lintar lirih, "Besok siang aku jemput kamu ke sini," sambungnya sambil mencium kening Dewi.Lintar bangkit dan langsung menelepon Koh Iwan yang ada di mes bersama para pegawai Dewi.Tidak lama kemudi
Sepanjang perjalanan, Lintar dan Koh Iwan terus bercanda ria, gelak tawa menghiasi kebersamaan mereka. Hingga tidak terasa mobil sedan yang dikemudikan Lintar sudah tiba di depan gerbang rumah mewah milik Dewi. Hanya dengan membunyikan klakson dua kali saja, pintu gerbang rumah tersebut langsung terbuka dengan sendirinya.Tampak seorang petugas keamanan rumah itu berdiri tegak di depan pos keamanan sambil memberi hormat kepada Lintar yang baru tiba.Lintar langsung membuka kaca mobilnya. "Selamat malam, Yo. Apa kabar?" kata Lintar sambil tersenyum lebar."Selamat malam juga, Pak," jawab Rio sedikit membungkukkan badannya."Randi ke mana, Yo?" tanya Lintar lagi."Ada di mes, Pak," jawab Rio penuh rasa hormat.Setelah itu, Lintar kembali menutup kaca mobilnya. Perlahan, ia kembali melajukan mobilnya mengarah ke halaman parkir rumah mewah itu."Aku di sini saja, Tar. Kamu masuk sendiri yah," kata Koh Iwan lirih."Lah, kenapa, Koh?""Mau nemuin Fendi di mesnya.""Nanti kalau Dewi nanyain
Dani hanya mengangguk dan langsung membuka dus tersebut. "Tumben yah, Koh Iwan tidak ke sini?" tanya Dani sambil mengunyah kue yang dibelikan Lintar.Usai makan makan kue, Dani langsung pamit kepada Lintar, karena saat itu sudah mau magrib. "Aku pulang dulu, Tar. Sebentar lagi magrib," kata Dani lirih."Iya, Dan," jawab Lintar, "Jangan lupa, sampaikan pesan sama Koh Iwan. Aku tunggu habis magrib," sambungnya."Ok, nanti aku sampaikan," jawab Dani langsung berlalu dari hadapan Lintar.Lintar bangkit dan langsung melangkah ke kamar mandi, Lintar hendak membersihkan diri karena sebentar lagi akan melaksanakan Salat Magrib berjamaah bersama warga lainnya di masjid yang ada di belakang kediamannya.Selesai mandi, Lintar ganti pakaian dan bergegas melangkah menuju masjid. Kebetulan Dani pun saat itu sudah ada di depan masjid tersebut."Tumben Koh Iwan tidak ke masjid?" tanya Lintar kepada Dani yang sudah tiba lebih dulu."Tidak ada di rumah, kata tetangganya tadi sore dia berangkat ke rumah
Setibanya di kantor, Lintar disambut hangat oleh beberapa orang rekan kerjanya. Terutama oleh staf accounting berparas cantik dan berkulit putih mulus, yang selama ini sangat menyukai dirinya."Selamat datang dan selamat pagi, Mas Lintar," sapa Lusi tersenyum manis menyambut kedatangan Lintar."Selamat pagi juga Lusi cantik," jawab Lintar seperti memaksakan diri menyanjung wanita itu. Kemudian ia langsung melangkah menuju ke ruangan kerjanya yang ada di lantai dua kantor tersebut."Biasanya dia mampir untuk godain aku," gumam Lusi langsung melangkah mengikuti Lintar dari belakang.Sebelum Lintar membuka pintu ruang kerjanya, dengan cepat Lusi mendahului membuka pintu ruang tersebut."Ya, Allah! Sigap banget kamu," kata Lintar sambil tersenyum-senyum."Silakan masuk, Mas!" ucap Lusi bersikap seperti layaknya seorang asisten pribadi."Terima kasih, Lus," ucap Lintar langsung melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya itu.Setelah menutup rapat pintu ruangan tersebut, Lusi pun melangkah dan
Ketika Lintar dan Dani sedang santai berbincang, tiba-tiba datang seorang pria paruh baya. Dia adalah Koh Iwan sahabat baik Lintar dan Dani. Koh Iwan tidak langsung menghampiri Lintar dan Dani, ia hanya berdiri di balik pagar sambil tersenyum-senyum menatap ke arah dua pemuda yang selama ini menjadi sahabat baiknya. Lintar dan Dani belum mengetahui kedatangan Koh Iwan, sehingga mereka terus berbincang-bincang tanpa sadar ada yang memperhatikan mereka di balik pagar. "Assalamu'alaikum," ucap Koh Iwan. Lintar dan Dani sedikit terperanjat lalu berpaling ke arah Koh Iwan secara bersamaan. "Waalaikumsalam," jawab mereka serentak. "Koh Iwan, kapan datangnya? Tiba-tiba saja muncul seperti jailangkung?" tanya Dani sambil tersenyum-senyum. "Bukan jailangkung, tapi Harry Potter," jawab Koh Iwan ketus. Dia melangkah dengan gagahnya menuju ke arah teras menghampiri Lintar dan Dani yang sedang duduk santai. "Gagah banget, mau ke mana, Koh?" tanya Lintar meluruskan pandangannya ke wajah pri
Di tempat terpisah .... Lintar masih berbaring di atas tempat tidurnya, ia tampak resah dengan sikap Firda, Vira, dan gadis-gadis lainnya. Mereka secara terang-terangan sudah menyatakan perasaan mereka kepadanya. Padahal, mereka sudah mengetahui jika Lintar akan menikah dalam waktu tidak lama lagi. Tentu, sikap mereka sangat mengganggu. Lintar khawatir, jika mereka akan menjadi duri bagi hubungan asmaranya dengan Dewi. Terlebih lagi jika Dewi mengetahui semuanya, sudah barang tentu dia akan kecewa dan menganggap Lintar masih sama seperti dulu. "Selama ini, aku memang selalu bersikap terbuka dan juga sering memberi harapan bagi mereka. Tapi, itu hanya bagian dari gurauan saja," desis Lintar, "Kenapa mereka serius menanggapi sikapku ini?" sambungnya. Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering. "Seperti itu Dewi," kata Lintar bangkit dan langsung meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya. Namun, dugaannya salah. Yang meneleponnya itu bukan Dewi, tapi Firda yang selama ini selalu
Setelah Dani berlalu, Lintar kembali melanjutkan perbincangannya dengan Firda. Ada banyak hal yang mereka bicarakan pada saat itu, terkait masalah pekerjaan dan juga hal yang lainnya.Berada di dekat Lintar, tentu membuat nyaman jiwa dan perasaan Firda. Hingga bertambahnya rasa suka dalam dirinya terhadap Lintar yang selama ini ia kagumi.Setelah hampir satu jam berada di kediaman Lintar, Firda pun pamit kepada Lintar. Ia hanya meminta nomor ponsel Lintar saja, dan tidak berbicara terkait rencananya yang hendak menyatukan Lintar dengan Alena. Firda merasa bimbang, karena dirinya pun sangat menyukai Lintar.****Malam itu, Alena hanya duduk-duduk santai saja di sopa yang ada di ruang tengah kediamannya. Dia tampak resah dan gelisah, pikirannya terus tertuju kepada Lintar.Saat itu, Alena menunggu kedatangan Firda, ia tampak berharap informasi baik dari kunjungan Firda ke rumah Lintar."Mudah-mudahan, Firda bisa mendapatkan informasi banyak tentang Lintar," desis Alena penuh harap.Alen