Setelah kejadian malam itu, Aira dan Shin resmi berteman. Shin menyusul Aira sebisa mungkin tak menimbulkan suara berisik. Dengan langkah lebar dia menuju pohon rambutan yang berada di belakang panti.
Sesampainya di tempat yang dituju, Shin melihat Aira duduk menyender di bawah pohon dengan mata tertutup. Dari tempatnya berdiri Shin memperhatikan wajah cantik Aira ditimpa kilau mentari membuat anak perempuan itu bak putri tidur dalam dongeng. Putri yang tertidur panjang setelah memakan apel beracun yang diberikan penyihir.
Remaja lelaki itu menarik ujung bibir, mengulas senyum tipis. Senyum yang jarang dia tampilkan di depan orang lain. Sejak kehadiran Aira, Shin merasakan harinya tak lagi kelabu.
Entah perasaan apa yang mendorongnya agar menjaga dan melindungi Aira dari bahaya apa pun. Malam itu, ketika pertama kali pertemuan mereka, dia melihat betapa rapuhnya anak perempuan itu sehingga menimbulkan empati dalam dirinya.
Awalnya Shin kira dia akan bersikap cuek seperti yang sudah-sudah, tetapi kali ini berbeda. Aira punya daya pikat tersendiri, mampu membiusnya untuk tak mengabaikan keberadaannya begitu saja.
Setiap Shin menatap tepat ke bola mata Aira, dia dapat melihat sorot kesedihan di sana. Shin ikut merasakan hatinya berdenyut. Dia pikir dunia ini amat kejam telah merenggut kebahagiaan anak sekecil itu. Setelah terjadi perang batin, remaja ganteng itu memutuskan mulai berteman dengan Aira.
Selama ini Shin hidup secara individualis di panti karena tak satu pun dari anak-anak itu menarik perhatiannya.
Shin mendekati Aira tanpa suara. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana, lalu berjongkok di depan anak perempuan itu.
"Kau tidur?" tanya Shin.
Perlahan kelopak mata dengan bulu mata lentik itu mengerjap-ngerjap sebelum terbuka sempurna menampilkan bola mata bening. Aira memicingkan mata, berusaha menyesuaikan cahaya matahari menyilaukan penglihatannya. Dia tersenyum, melihat Shin di depannya.
"Ah, aku tertidur rupanya," ujar Aira tampak malu seraya merapikan rambut panjangnya. "Kau sudah lama di sini?"
"Tidak. Aku baru saja tiba. Ini, ambillah!" Shin menyodorkan permen dengan aneka rasa buah ke depan wajah Aira. Ada rasa jeruk, nanas, dan anggur.
Secepat kilat Aira meraih permen dari tangan Shin. Dia tak menyangka Shin tahu permen kesukaannya."Terima kasih."
Aira bersorak dalam hati merasakan permen rasa jeruk meleleh di mulutnya. Rasanya menyegarkan hati dan perasaannya."Kau suka permen?"
"Suka sekali. Ini mengingatkanku pada Mama."
Shin menatap Aira, dilihatnya anak perempuan itu asik mengunyah permen."Shin, dari mana kau mendapatkan permen ini?" Aira mengambil sebungkus lagi, membukanya perlahan sambil menunggu jawaban Shin.
"Aku biasa membantu Pak Imam membersihkan panti ini. Tadi aku membantunya memotong rumput lalu ia memberikan sedikit uang. Katanya untuk jajan."
Aira mengerti sekarang dari mana Shin bisa menghasilkan uang. Tempo hari Shin juga memberikan dia roti isi coklat dan kacang hijau.
"Sejak kapan kau di panti, Shin?" Aira memperhatikan ekspresi sendu di wajah Shin setelah mendapatkan pertanyaannya barusan. Mendadak dia merasa tidak enak. Apa dia telah menyinggung teman barunya ini?
"Sejak bayi," jawab Shin singkat.
Aira menatap Shin iba. Nasib mereka berdua sekarang sama, berakhir di panti ini. Entah bagaimana kehidupan mereka ke depannya kelak. Setidaknya, Aira lebih beruntung karena pernah merasakan tinggal di rumah bersama orang tuanya. Pun merasakan kasih sayang mereka meskipun hanya delapan tahun.
Itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Sedangkan Shin, rupa orang tuanya pun tak tahu. Aira bersyukur diberikan kesempatan sebelum kedua orang tuanya pergi untuk selamanya. Kini dia menyadari bahwa di luar ternyata ada anak yang nasibnya lebih menyedihkan.
Dia pun teringat nasihat mamanya tentang kehidupan. Mamanya pernah mengatakan agar jangan lupa memandang ke bawah. Dengan begitu dia tak lupa bersyukur. Jika hidup selalu memandang ke atas semua nikmat terasa kurang.
"Shin, kenapa kau baik padaku?"
"Karena kau cantik," jawab Shin lalu tergelak.
Aira cemberut. Dia serius bertanya mengapa remaja laki-laki itu berbuat baik padanya. Aira merasa aneh saja. Seperti kata Mia, Shin hanya baik kepadanya.
"Anggap saja aku pelindungmu," kata Shin akhirnya setelah melihat Aira bangkit hendak meninggalkannya.
"Selamanya kau akan melindungi dan menjadi temanku Shin?"
"Tentu saja. Kau anak baik Aira, siapa yang tak ingin berteman dan menjagamu." Shin melangkah diikuti Aira di sisinya. Mereka kembali ke panti.
Aira dan Mia baru saja selesai membantu pekerjaan di dapur atas permintaan Bibi Rin, wanita kurus yang menyambutnya saat pertama kali dia menjejakkan kaki di panti.
Aira kebagian memotong wortel, sedangkan Mia memotong sawi untuk menu makan malam mereka. Aira tak keberatan membantu tugas dapur seperti sekarang. Di rumahnya dulu dia terbiasa membantu mamanya memasak.
Kata mamanya, anak perempuan jangan hanya tahu dandan dan baju bagus saja, tapi juga harus tahu urusan dapur. Mama tak ingin kelak Aira hanya bisa masak mie sama telur ceplok. Nasihat sang mama, kalau wanita pandai masak, itu salah satu cara menyenangkan suami. Seperti sang papa yang beruntung mendapatkan mamanya. Bukan hanya cantik, tetapi wanita itu juga jago masak.
Selanjutnya Aira dan Mia meninggalkan dapur untuk mandi. Di sini tempat mandinya lumayan luas. Satu kamar mandi untuk bersama. Jadi, jika terlambat bisa dipastikan tak akan kebagian air. Tidur semalaman dengan badan lengket dan bau, sungguh Aira tidak mau. Oleh karena itu, jika waktu mandi tiba, Aira dan Mia buru-buru masuk kamar mandi.
Awalnya Aira merasa canggung mandi ramai-ramai seperti itu, dia tak mau membuka bajunya. Mia membujuknya mengatakan tidak apa-apa, mereka semua kan perempuan. Tapi, tetap saja Aira tak berkenan. Alhasil, dia mandi dengan menggunakan baju utuh.
Selesai mandi dua anak perempuan itu berjalan ke luar menuju pohon belimbing yang tumbuh pas di depan panti. Tadi siang mereka menemukan sarang burung di sana. Aira dan Mia ingin memastikan anak burung itu baik-baik saja.
"Aira, kau tak takut pada Shin?" tanya Mia sambil mengayun langkah.
Aira menggeleng. "Tidak, Shin sangat baik padaku."
"Kau tahu," kata Mia menghentikan langkahnya. "Selama ini Shin bersikap cuek pada semua anak-anak di sini tak terkecuali aku." Mia menunjuk wajahnya.
"Benarkah? Shin yang kukenal baik dan ramah. Mungkin kau perlu mengenalnya juga, Mia."
Mia menggeleng cepat. "Tidak, terima kasih."
Sampai di bawah pohon belimbing, Mia langsung memanjat. Dia ingin melihat sarang dengan tiga ekor anak burung yang belum ditumbuhi bulu itu baik-baim saja. Sementara itu, Aira yang phobia ketinggian hanya menunggu di bawah.
Buuuk ...!
"Aaaw!" jerit Aira. Dia meringis memegang kepala yang baru saja terkena bola cukup keras.
Mendengar jeritan Aira buru-buru Mia turun."Hahaha, hei, kau! cepat ambilkan bola itu!" Seorang anak laki-laki bertubuh gempal berdiri di depan Aira dan menunjuk dahinya dengan telunjuk.
"Kau harusnya minta maaf," ujar Aira tak terima disuruh-suruh.
"Hei, anak panti berlagak kau, ya!" Anak laki-laki itu mendorong tubuh kurus Aira hingga terjerembab.
"Kau anak nakal!" teriak Aira disusul suara tangisan. Mia menghampiri Aira dengan rasa takut. Dia tak bisa berbuat banyak bila berhadapan dengan anak pemilik panti.
"Jangan pernah menyentuhnya!" Entah sejak kapan Shin sudah berdiri di antara mereka. Shin berjongkok meraih lengan Aira. Ia melihat siku gadis itu berdarah mungkin pas jatuh tergores batu. Mata Shin menggelap. Dia tak akan membiarkan siapapun melukai Aira.
Shin berdiri, berhadap-hadapan dengan anak bertubuh gempal itu. Tak lama dia langsung melayangkan tinjunya tepat mengenai pipi chubby anak itu.
Melihat itu, seorang anak remaja kisaran usia tiga belas tahun tak lain teman anak bertubuh gempal menghampiri Shin. Ia langsung saja menghantamkan sesuatu ke kepala Shin membuat Shin tersungkur ke tanah.
"Shin!" raung Aira mendekap tubuh Shin, lalu membalikkannya. Ya Tuhan, kepala Shin mengeluarkan darah cukup banyak. Aira dan Mia panik bukan kepalang.
Menyadari Shin terluka, remaja laki-laki itu sekonyong-konyong membuang batu di tangannya lalu melarikan diri disusul anak bertubuh gempal.
"Shin kau terluka," ujar Aira sambil menyeka darah yang mengalir di wajah Shin.
"Jangan menangis Aira, aku tak apa-apa." Shin tersenyum lalu bangkit. Ia merobek ujung baju kemejanya membalutkan ke siku Aira yang terluka. Tak peduli pada lukanya sendiri.
Aira menangis sesegukan sambil menatap Shin. Ia tak menyangka Shin akan terluka karena membelanya.
Tak lama Pak Imam datang bersama Mia. Lelaki paruh baya itu membantu memapah Shin membawanya masuk ke dalam panti diikuti Aira dan Mia.
Sedetik pun tatapan Aira tak lepas dari wajah Shin yang sesekali meringis kala Pak Imam mengobati kepalanya. Aira menggigit bibir bawah, menyesal tak dapat berbuat apa-apa sekadar meringankan penderitaan sahabatnya itu. Aira menggeser duduk, tangannya terulur mengelap muka Shin menggunakan saputangan pemberian mendiang mamanya.Setelah Pak Imam selesai memasang perban di kepala Shin, laki-laki paruh baya itu keluar menyisakan Shin dan Aira.Aira tiba-tiba menahan napas dan mencengkeram erat tangan Shin saat dia melihat dua orang anak laki-laki yang melukai Shin memasuki panti. Aira takut mereka akan berbuat jahat seperti tadi."Shin, mereka ada di sini," bisik Aira dengan nada mendesak ke telinga remaja lelaki itu. "Bagaimana jika mereka melukaimu lagi?" Jelas Aira tak hanya mencemaskan dirinya.Dia cemas kalau anak-anak itu kembali mencari masalah. Anak perempuan secantik peri dalam cerita dongeng itu merapal doa dalam hati. Agar apa
Pagi ini Shin bangun dengan keadaan kepala berdenyut. Luka di kepalanya tidak bisa dianggap enteng. Shin mendengkus, dia pasti akan membalas perbuatan dua anak tersebut. Tidak akan dia biarkan bocah itu lolos begitu saja dan mengganggu Aira lagi.Shin keluar kamar, udara pagi terasa dingin menusuk tulang. Di langit awan bergumpal-gumpal, pertanda sebentar lagi turun hujan. Dirinya baru menyadari jika sekarang sudah masuk musim penghujan. Siap-siap saja jika hari-harinya akan banyak terkurung di panti.Shin berbalik ke dalam kamar, menarik handuk lalu pergi ke kamar mandi. Sama seperti kamar mandi di tempat anak perempuan, satu kamar mandi rame-rame.Shin yang sejak bayi tinggal di panti sudah terbiasa. Seoal-olah panti ini rumahnya sendiri meskipun jauh di relung hati terdalam dia sering membayangkan bagaimana rasanya tinggal di rumah sendiri.Pasti berbeda dengan panti yang hiruk pikuk dan nyaris memecahkan batok kepala. Tidak ada drama bereb
Aira merasakan usapan pelan di kepalanya. Saat dia membuka mata, saat itu pula Shin tersenyum kepadanya. Aira buru-buru bangkit. Dia menarik Shin duduk."Kau dari mana saja? Aku sampai ketiduran karena capek nyariin kamu." Aira cemberut. Anak perempuan penyuka warna ungu itu tampak kesal jika Shin pergi meninggalkannya. Sejujurnya dia merasa takut."Hanya mencari udara segar. Aira, bukankah besok kau mulai sekolah?" Shin juga sekolah formal tetapi dia lebih banyak bolos.Entahlah, menurutnya belajar itu tidak menarik. Meskipun berulang kali dia dipanggil pengurus panti. Diberikan nasihat baik-baik sampai teriakan makian. Shin hanya menulikan telinga. Besoknya dia mengulangi lagi."Iya benar. Maukah kau menemaniku ke sekolah, Shin?" Aira menatap Shin penuh harap."Baiklah jika itu maumu.""Yeah. Makasih.""Kau tidak marah pada pamanmu?"Aira memutar duduk jadi menghadap Shin. "Emm, awalnya aku sedih mengapa P
Bab 6: Tragedi 2Melihat itu mata Aira membulat sempurna. Mulutnya sedikit terbuka dengan dada berdebar kencang seperti dadanya mau meledak. Betapa kasarnya Pak Tomo kepada anak kecil, batinnya.Mengapa lelaki yang dianggap ayah oleh anak-anak panti itu tega berbuat demikian. Lagi-lagi ia tidak menemukan jawaban apa pun. Aira berlari menghampiri Mia. Dipeluknya sahabatnya itu dan dapat ia rasakan tubuh Mia bergetar hebat.Mia meringkuk bagai trenggiling dan mulai menangis. Dia merasakan kepalanya berdenyut sakit. Beruntung kesadarannya masih ada. Ia dan Aira sama-sama menangis disebabkan rasa sakit juga memikirkan nasib mereka akan bagaimana caranya terlepas dari Pak Tomo.Mia takut sekaligus benci pada lelaki berkepala botak itu. Dari sejak ia tinggal di panti, Mia tidak begitu suka pada Pak Tomo. Karena lelaki tua itu acap kali memandangnya seperti seolah-olah sedang mengulitinya."Mia kamu tidak apa-apa?" tanya Aira setelah mam
Bab7: Bertemu LagiShin berdiri kaku di hadapan sepasang suami istri yang sedang bicara dengan pemilik panti. Sejak sejam lalu sudah diputuskan bahwa mereka mau mengadopsi Shin dan menjemputnya besok pagi.Perasaan Shin tak menentu. Ia sedih karena harus meninggalkan Aira seorang diri. Tadinya, Shin menawarkan kepada pasangan suami istri itu apakah mau mengadopsi satu lagi anak perempuan. Dengan begitu, dirinya dan Aira tetap bisa bersama."Maaf, kami hanya butuh satu orang anak," jawab si istri lembut.Shin tahu si pemilik panti sengaja mengirimnya keluar dari panti ini karena insiden semalam."Baik, Bu. Kami akan kembali lagi besok.""Ya, besok kupastikan Shin sudah siap berangkat. Biarkan hari ini dia berkemas dulu," ujar pemilik panti ramah."Kalau begitu kami permisi dulu. Terima kasih." Sepasang suami istri itu berlalu meninggalkan panti dengan mobil mewahnya.Shin melangkah gontai keluar ruangan. Susah
Aira merasakan seolah-olah panah melesat tepat ke jantungnya. Menancap kuat, lalu ditarik paksa. Hal itu menimbulkan rasa sakit yang Aira sendiri tak yakin bisa menangani kesakitan itu. Apa yang lebih menyakitkan daripada dilupakan orang terkasih. Namun, rasa sakit atas penantiannya selama bertahun-tahun ini dikalahkan oleh perasaan rindu nan membuncah. Rindu akan sebuah pertemuan yang sering hadir dalam asanya. Mata Aira memanas diikuti tubuhnya yang gemetar. Antara percaya dan tidak Shin ada di depannya sekarang. Ya Tuhan. Jika ini mimpi biarkan ia tak bangun lagi. Aira tak mau berpisah lagi dengan Shin mesti itu hanya dalam mimpi. Ia ingin bersama pemuda itu hari ini esok dan nanti. Setiap waktu tak ada yang terlewat tanpa memikirkan Shin. Dalam solatnya, Aira tak alpa menyelipkan nama cinta pertamanya itu. Rindu yang dia pupuk tumbuh subur, menyemak dan tak tertolong lagi. "Kamu tidak mengenal saya?" tanya Ai
Tiba di rumah sakit, Aira didorong menggunakan kursi roda dan dibawa keruangan untuk diperiksa.Selama waktu itu Aira hanya diam. Sesak di dadanya tak berkurang sama sekali. Dibanding kaki, hatinya jauh lebih sakit. "Dokter Shin, bukannya hari ini Anda libur?" Seorang perawat cantik menyapa Shin yang berada di ruang tunggu. "Benar, tapi tadi aku tak sengaja membuat seorang gadis jatuh dari sepeda. Sekarang dia sedang diperiksa Dokter Rian." Perawat cantik tadi tersenyum lalu menoleh pada pintu ruangan yang terbuka.Tak lama tampak Aira muncul seraya menggerakkan kursi roda. Melihat itu Shin langsung menghampiri dan membantu mendorong kursi roda gadis itu. "Dokter, apa ini gadis yang kamu maksud?" tanya perawat itu menatap Aira dan merasa kagum akan kecantikan gadis itu. "Iya. Aku akan mengantarnya pulang dulu, Rin." Rina mengangguk, tapi kemudian ia berkata, "Apa Dokter tak mau menemui Dokter Alika? Beliau sud
Mendengar tangisan Aira, Shin memaksa membuka mata.Dengan kepala masih berdenyut, Shin menatap Aira lama, dan entah perasaan dari mana tangan Shin terangkat ingin merengkuh gadis itu. Namun, urung ia lakukan. Shin menurunkan lagi tangannya."Apa kau kesakitan?" Shin bertanya seraya melepas kacamata menaruh di dashboard. Aira tak menjawab kecuali isak tangisnya yang terdengar menyayat hati. Shin tak lagi bertanya ketika Aira tak menjawab pertanyaannya. Shin hanya menunggu sampai tangis Aira reda. Pemuda itu merasakan perasaan asing menyusup ke dalam hatinya saat ia menyadari betapa rapuh gadis yang saat ini sedang duduk di sebelahnya dengan bahu berguncang. Siapa kamu sebenarnya? Apakah karena amnesia akibat kecelakaan yang ia alami sepuluh tahun lalu telah mengakibatkan dirinya melupakan gadis ini? Shin takut sekali saat ia terbangun dengan sosok berbeda hari itu. Memorinya beberapa tahun belakangan
Shin meletakkan pena di atas meja lalu menatap Alika. Dapat ia ilihat mata istrinya itu merah dan sedikit bengkak meskipun sudah ditutupi Alika dengan riasan tipis. Melihat keadaan Alika yang sedikit kacau Shin merasa bersalah namun yang paling mengejutkan adalah kata-kata yang baru saja wanita itu lontarkan kepadanya. Dengan begini Alika menempatkan ia pada posisi sulit. "Alika, kita akan membicarakan ini di rumah." Alika berdiri di seberang meja dengan meletakkan kedua tangan bertumpu pada sisi meja. "Aku sudah memikirkannya sejak semalam Shin dan aku tidak tahan untuk mengatakannya. Kamu tidak bisa kembali ke masa lalu bagaimanapun masa lalu sudah jauh tertinggal di belakang. Dan lihat aku! Akulah masa depanmu," ujar Alika dengan suara serak. Sungguh ia ingin menangis lagi dan lagi tetapi Alika tidak mau tampak lemah dan cengeng di depan Shin. Ia tidak mau menyerah dengan keadaan ini. Shin mengembuskan napas kasar lalu menundukkan kepala, tidak lagi menatap Alika. Karena ia ti
Pagi itu diawali dengan suasana canggung melingkupi Shin dan Alika setelah percakapan mereka semalam. Baik Shin maupun Alika tidak ada yang memulai obrolan terlebih dahulu sampai Shin pergi ke rumah sakit mereka masih belum bicara. Alika tidak tahu memulai, jadi ia membiarkan semuanya. Hatinya masih sakit dan itu ulah Shin.Alika pergi ke dapur, menyeduh teh dan membuat roti panggang. Ia sarapan seorang diri. Rasanya tidak menyenangkan seperti saat ia sarapan ditemani Shin. Alika ingin menangis lagi. Semalam ia hanya tidur tidak lebih dari dua jam. Lingkaran di bawah mata menunjukkan semua. Alika yang mendapatkan siff siang berdiam diri di rumah dengan tidak bersemangat."Kenapa semua jadi rumit?" Alika menyesap tehnya dengan pertanyaan yang banyak di kepala.Ia dilanda penasaran ingin tahu siapa gadis yang telah merebut hati suaminya. Bohong jika Alika tidak cemburu dan baik-baik saja. Ia dan Shin sudah terikat pernikahan secara agama maupun hukum. Ego Alika terpancing. Ia ingin me
Malam Kian larut. Jam hampir menunjukkan tengah malam. Di luar baru saja turun hujan, menambah syahdu malam ini. Malam dingin, sedingin suasana hati Shin. Di ruang tamu, tercipta kecanggungan dan keheningan yang merambat antara Shin dan Alika. Untuk pertama kali dalam hidup mereka merasakan kecanggungan seperti ini, seolah-olah rasa canggung itu akan membunuh keduanya. Suasana ini sangat tidak nyaman. Bagaimana mungkin dua orang yang tinggal bersama selama tiga tahun tiba-tiba seperti orang asing yang baru saling mengenal hari ini. Alika menantikan apa yang akan disampaikan oleh Shin dengan dada bertalu-talu. Tidak biasanya Shin mengajaknya bicara seserius ini, kecuali ketika pemuda itu melamarnya. Hanya saat itu saja. Melihat dari gelagatnya, Alika menebak jika apa yang akan disampaikan Shin kali ini adalah sesuatu yang serius sehingga suaminya itu tidak dapat menunggu sampai esok hari. Padahal dari raut wajahnya jelas sekali Shin kelelahan Di tengah rasa penasarannya itu Alika be
Aira nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Bisakah Shin mengulangi lagi? Sehari ini ia sudah terkejut beberapa kali. Shin benar-benar tidak memberikan ia kesempatan untuk pulih dari keterkejutannya.Bagaimana Shin bisa memintanya untuk menikah, sedangkan Aira tahu sekali bahwa pemuda itu telah memiliki seorang istri.Apakah Shin sedang mempermainkan perasaannya? Mencoba memberikan penghiburan?"Hentikan leluconmu itu, Shin," ujar Aira setelah ia bisa menguasai diri. Ini lelucon yang sangat tidak lucu."Saya tidak pernah bercanda dengan perasaan saya Aira. Mari kita menikah." Sekali lagi Shin menegaskan pernyataannya barusan.Aira terperangah, bagaimana ini mungkin. Apakah yang akan Shin lakukan. Menceraikan istrinya dan menikahi ia, begitu? Pikirannya itu membuat perut Aira mual. Ia memang mencintai Shin tetapi ia tidak sejahat itu merusak rumah tangga yang sudah dibina oleh dokter itu selama ini. Cintanya kepada Shin murni.Apa yang pemuda itu pikirkan sekarang? Jika Aira
"Sudahlah Shin. Hentikan semua ini. Percuma kita membahasnya sekarang. Sudah sangat terlambat. Bagaimanapun sekarang kamu sudah menikah, dan aku harus terus melanjutkan hidup ini."Aira mennyeja air mata dan mencoba berdiri. Ia tidak menatap Shin. Untuk kesekian kali hatinya patah. Shin yang berdiri di hadapannya saat ini memang orang yang sama yang ia cintai, tetapi bukan seseorang yang bisa ia miliki.Cintanya kepada Shin,tidak didukung oleh takdir. Yang terbaik bagi ia sekarang adalah melupakan pemuda itu."Pergilah Shin, pergi dan kembalilah kepada istrimu."Aira ingin beranjak masuk rumah, tetapi Shin dengan cepat meraih pergelangan tangannya. Aira sontak terkejut lalu berbalik. Shin sedang menatapnya dengan mata merah."Lepaskan Shin! " desis Aira. Ia menatap pergelangan tangannya dan Shin secara bergantian."Saya belum selesai bicara Aira. Meski terlambat tapi saya ingin mengatakannya sekarang."Shin menatap Aira dengan sorot penuh permohonan. "Saya mohon sebentar saja."Aira m
Shin dan Aira masih berdiri berhadap-hadapan. Dua orang berbeda gender itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun yang paling dirasakan oleh Aira adalah keterkejutan. Saat ini Shin ingin sekali memeluk dan menyatakan cintanya kepada Aira. Rasa yang ia pendam selama bertahun-tahun. Shin selalu ingin melakukan itu, tetapi pemikiran rasionalnya selalu menang. Ia tidak akan membiarkan perasaannya menghancurkan semua. Untuk Aira dan juga Alika. Shin sangat menyadari jika saat ini istrinya adalah Alika, namun tidak dengan cintanya. Waktu dan keadaan tidak akan bisa menghapus cintanya kepada Aira. Tidak akan pernah sebab nama Aira seperti tato di hatinya. Meski Shin hilang ingatan, namun jauh di lubuk hatinya, ia merasa bahwa ada hilang dari dirinya. Rasa itu telah menyiksanya sekian tahun tanpa ia tahu penyebabnya. Sekarang ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya itu. Ternyata itu adalah Aira. "Shin darimana kamu tahu rumah aku?" Akhirnya Aira bertanya. Rasanya ia akan mati kar
Alika meraba tempat tidur, dan ia tidak merasakan Shin. Dengan memaksa membuka mata, ia pun benar-benar tidak mendapati suaminya di sampingnya. Kemana perginya Shin? Apa ke kamar mandi.Alika Kembali memejamkan mata, tetapi ia merasa tidak tenang. Akhirnya Alika bangun dengan masih menahan kantuk. Dilihatnya Shin tidak ada di kamar mandi. Alika menyalakan lampu kamar, melihat sekeliling ruangan, Shin tidak ada di sudut mana pun. Alika meninggalkan kamar. Saat tiba di ruang tamu, tempat itu terang.Baru saja Alika hendak menghampiri suaminya, ia mendengar Shin menggumamkan nama seseorang.Alika tidak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar. Ia pun kembali ke kamar. Alika menjatuhkan tubuh ke atas kasur, tanpa bisa ia cegah air mata menuruni pipi mulusnya begitu deras."Siapa wanita yang kamu rindukan itu, Shin?" tanya Alika pada dirinya sendiri. Apa Shin telah berselingkuh darinya? "Jangan lakukan itu, Shin. Aku mohon," lirihnya menyayat hati.Membayangkan hal itu terjadi, hati
Hampir satu jam lamanya Alika menangis di kamar mandi seorang diri sambil memegang secarik kertas. Dokter cantik itu benar-benar terpukul dan sedih. Ia merasa hidupnya berada di titik terendah. Tidak pernah sebelumnya Alika merasakan perasaan kecewa sedemikian dalam. Hingga rasanya semangat hidupnya tercabut begitu saja.Bayangan buruk tentang masa depan tak ayal menambah ketakutan Alika. Mengapa ia harus menanggung semua ini. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya sedang digerogoti penyakit berbahaya seperti ini.Hal yang paling Alika takutkan adalah ia tidak bisa memberikan Shin keturunan. Sedangkan ibu mertuanya hanya memberi waktu satu tahun untuk ia bisa melahirkan anak darah daging Shin. Sementara itu, Alika harus fokus kepada pengobatan kanker payudara yang telah merenggut kebahagiaan dan semangat hidupnya."Al, kamu di dalam."Mendengar suara Shin, buru-buru Alika menghentikan tangisan. Ia mencuci wajahnya, berusaha menyembunyikan jika ia baru saja menangis lama. Alika tidak m
Shin membawa Alika ke rumah sakit. Melihat wajah pucat dan berkeringat sang istri tak pelak membuat Shin khawatir. Alika itu jarang sakit dan tidak mudah mengeluh. Jadi jika ia sampai meringis seperti ini itu pasti sakit yang serius.Sementara itu, Alika yang sudah mendapatkan tindakan merasa lebih baik. Sudah tidak sesakit tadi. Dokter mengatakan nanti akan diperiksa lebih lanjut. Untuk sementara ini cukup diresepkan obat pereda rasa sakit."Makasih, Dok.""Sama-sama, Al. Besok kita periksa lanjutan," ujar dokter Iwan, dokter senior di rumah sakit ini. Rumah sakit yang tak lain milik keluarga Alika."Apa sakitnya ini serius?" Dokter Iwan tersenyum. "Besok kita lihat hasilnya ya. Sekarang kamu jangan berpikiran yang macem-macem dulu.""Oh, baiklah, Dok. Permisi.""Iya, Al. Hati-hati."Alika meninggalkan ruangan Dokter Iwan. Di luar Shin dengan setia menunggunya. Ketika melihat Shin, senyum Alika merekah. Ia merasa senang karena Shin ada di dekatnya saat dibutuhkan seperti ini. Shin s