"Aku bertahan hanya untuk menunggu Shin datang memenuhi janjinya. Kenyataannya Shin tidak akan pernah lagi datang padaku, Mia. Dia sudah memiliki rumah untuk pulang. Aku merasa konyol menyia-nyiakan waktu selama ini," lanjut Aira dengan perasaan getir.
Aira tidak tahu siapa yang harus ia salahkan. Shin atau dirinya sendiri?
Ia yang setia memegang janji dan akhirnya terluka atau Shin yang melupakan semua?
Entahlah. Ini terlalu rumit dari pada rumus-rumus matematika. Untuk pertama kali Aira jatuh cinta sekaligus patah hati.
Salahkah jika ia mencintai Shin? Setahu Aira cinta itu fitrah bagi setiap insan.
Gadis itu mengusap ujung mata dan mengalihkan pandangan ke arah buku diary miliknya. Di sana Aira menuliskan apa yang ia rasakan selama masa penantian dan yang ia alami di panti ini.
Buku itu saksi bisu jika hidup yang Aira jalani tak mudah. Namun, cintanya pada Shin telah memberi suntikan semangat luar biasa.
Aira ber
Drg Shin Farzan sedang melakukan tindakan tambal gigi pada seorang pasien laki-laki yang mengeluh sakit gigi sejak beberapa bulan lalu. Sebenarnya menjaga kesehatan gigi tidak hanya dilakukan dengan menyikat gigi secara rutin, tetapi juga harus mengunjungi dokter gigi minimal enam bulan sekali. Shin menggunakan bor dan alat lain untuk menghilangkan kerusakan dan membersihkan rongga, agar nantinya dapat diberikan penambal gigi. Profesi ini sudah ia jalani sejak beberapa tahun lalu dan Shin menikmati pekerjaannya. Ia merasakan kepuasan tersendiri ketika dapat membantu banyak orang. "Baiklah, sudah selesai." "Terima kasih, Dok." "Sama-sama." Shin menjabat tangan pasien itu lalu tersenyum tipis. Kemudian ia mencuci tangan dan melepas kacamata. Pikiran Shin masih dibayangi Aira.Ada satu sisi dalam diri dokter muda itu yang menginginkan agar mencari tahu siapa sebenarnya gadis cantik itu? Namun, Shin juga m
"Shin, apa itu kamu?"Aira seperti kehilangan akal sehat. Gadis itu membuka gerbang dan berlari menerobos hujan tanpa alas kaki. Ia yakin bahwa tadi Shin memanggil namanya. Aira takut Shin pergi lagi dan tak kembali.Aira terus berlari tak tentu ara mengabaikan jika dirinya sudah basah kuyup, bahkan kakinya mulai terasa perih."Keluarlah, Shin. Temui dan bawa aku pergi dari sini," lirih Aira di antara rinai yang jatuh kian menderas.Setelah beberapa waktu akhirnya ia kelelahan. Gadis cantik itu berjongkok di pinggir jalan sembari memeluk tubuhnya sendiri.Meski udara dingin menusuk hingga ke tulang, Aira tetap bergeming. Agaknya gadis ini ingin mati sebab hipotermia.Barangkali hal itu yang ia nanti-nantikan.Namun, sesaat kemudian, Aira tidak merasakan lagi titik-titik hujan menimpa tubuhnya.Apa hujan sudah berhenti?Di depannya, rinai masih turun. Aira mengangkat kepala dan saat itu ia me
"Shin, kenapa kau basah seperti ini?"Alika balik lagi ke kamar mengambil handuk, lalu diberikan kepada suaminya. Alika dibuat heran. Shin kan pakai mobil, tapi kenapa bisa basah kuyup?"Terima kasih. Tadi aku menolong seseorang," ujar Shin seraya mengeringkan rambut.Sampai detik ini sebenarnya ia tetap tak tenang.Shin mengkhawatirkan Aira. Ia takut gadis itu sakit atau kenapa-kenapa. Perasaan aneh yang seharusnya tidak ia miliki pada gadis asing. Mereka hanya kebetulan bertemu sebanyak dua kali tetapi rasanya Shin sudah mengenal lama gadis cantik itu."Kau selalu baik hati Pak Dokter," seloroh Alika lalu menuntun Shin ke kamar mandi.Alika tak perlu bertanya siapa sosok yang telah ditolong sang suami.Ia dan Shin tidak pernah ingin mendetili urusan satu dan lainnya.Sesantai itu hubungan mereka. Mungkin jika orang lain tahu bagaimana mereka menjalani pernikahan ini, mereka akan berpikir rumah tangga pasangan do
Pagi ini Aira bangun dengan kepala pening dan tubuh menggigil. Kehujanan semalam mengakibatkan ia demam. Apa yang Shin khawatirkan terjadi.Padahal hari ini Aira ada jadwal ke penerbit mengecek novel sedang proses terbit. Awal bulan seperti ini ia akan sangat sibuk. Selain menjadi penulis, Aira juga harus ke panti jompo. Sudah sejak beberapa tahun lalu ia menjadi relawan di sana.Tumbuh dan besar tanpa orang tua, membuat Aira teramat merindukan sosok keduanya. Di panti jompo itulah ia melepas rindu meski mereka yang di sana bukan orang tua kandungnya, akan tetapi mereka menyayangi Aira seperti putri mereka sendiri."Aira, ini sudah siang dan masih berselimut?"Mia masuk dan menyibak selimut Aira. Membuat gadis cantik itu menarik lagi selimutnya hingga mencapai dada."Hei, kau kenapa?"Mia nemempelkan punggung tangan di dahi Aira. "Kau demam, Ai. Tunggu aku ambilkan sarapan dan obat."Namun, baru saja Mia mau keluar
Shin terhanyut dalam alur cerita yang disuguhkan sang novelis. Tanpa terasa ia sudah menghabiskan sepuluh menit menekuri bacaannya.Shin menutup novel itu dan mengembuskan napas lewat mulut. Ia seperti baru saja dibawa ke sebuah cerita yang seolah-olah tokoh dalam cerita itu adalah dirinya sendiri. Shin pun tidak tahu mengapa ia bisa merasa seperti itu."Dok, ada pasien mau membersihkan karang gigi," ujar Nurse Nara sopan."Baik, sebenar."Shin meninggalkan novel itu di meja. Ia merasa akhir-akhirnya pikirannya tidak stabil. Mimpi menakutkan itu lebih kerap hadir, menerornya sepanjang malam. Namun, Shin tidak akan lagi membiarkan dirinya terjebak pada berbagai pertanyaan yang serupa teka-teki.Ia akan mencoba mengurai dan menemukan benang merah atas kegelisahannya. Bermula sejak ia bertemu Aira, maka Shin akan meminta gadis itu jujur apa mungkin di masa lalu mereka saling mengenal.Shin mulai menyadari satu hal, jika ia dan Aira sama-sama be
Shin?" ujar Mia setelah dapat menguasai diri. Dia tidak menyangka jika Shin yang berdiri di depannya sekarang sama dengan Shin yang dulu pernah tinggal di panti ini. Penampilan Shin jauh berubah. Sekarang lebih borjuis dan tampan sekali. Agaknya Shin hidup dengan baik di luar sana. Namun, meski sekarang Shin sudah sukses seperti yang pernah Aira ceritakan, bukan alasan pemuda itu mencampakkan Aira. Mia akan memberitahu Shin kebenarannya dan membuat dokter itu sadar jika dia adalah pelindung Aira. "Shin, ada perlu apa kemari?" ujar Aira masih berdiri di sisi Mia. "Oh, maaf, aku belum mencuci jaketmu jika kau ingin mengambilnya." Aira tersipu ketika menyadari Shin sedang menatapnya lekat. Tatapan itu masih sama seperti itu, bedanya sekarang tidak ada lagi pijar yang biasa Shin tampilkan saat mereka berdua saja. "Ada yang ingin aku tanyakan. Duduklah dulu." Aira dan Mia saling pandang, lalu mereka mengambil tempat duduk
Shin melesat secepat anak panah lepas dari busur menghampiri Aira. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika menyaksikan darah dan luka di tubuh Aira. Shin meraba nadi Aira dan bersyukur Aira masih ada. Dengan sigap ia menggendong Aira membawa ke mobilnya diikuti Mia yang histeris. "Ai ... Aira buka matamu!" Mia mengekori Shin dengan berurai air mata. Menyaksikan Aira sekarat seperti itu, seolah ruhnya tercabut dari tubuh. Selama puluhan tahun mereka tumbuh dan hidup bersama. Tak terbayangkan jika Aira harus meningalkannya. Mia harus bagaimana jika tanpa Aira? "Tolong selamatkan Aira, Shin. Aku tidak mau tahu. Kau kan dokter," ujar Mia di sela-sela tangisnya. Shin menoleh, lalu meminta Mia naik lebih dulu kemudian meletakkan tubuh Aira yang bersimbah darah ke pangkuan Mia. Shin merapal doa agar Aira bisa bertahan sampai mereka tiba di rumah sakit. "Tenanglah. Berdoa agar Aira bisa selamat." Mendengar itu tang
Setelah Aira dipindahkan ke ruang perawatan, Shin bergegas menemui gadis itu. Beruntung Aira tidak mengalami luka serius dan nyawanya dapat diselamatkan. Tak terbayang jika seandainya Aira tidak bisa tertolong. Shin pasti akan sangat merasa bersalah dan menyesal. Shin mendorong pintu, dan mencelos akan pemandangan di depannya. Shin menyeret langkah, tatapannya terkunci pada wajah pucat Aira dengan perban melilit kepala. Luka jahitan di tangan dan kaki gadis itu menambah peri hati Shin. Entah kenapa dokter tampan itu seakan tidak rela Aira terluka, meski seujung kuku. Aira tergolek lemah beserta infus melekat dan mata yang tak kunjung terbuka. Ada dorongan kuat dalam diri pemuda itu untuk merengkuh dan menyalurkan kekuatan pada Aira, namun di saat yang bersamaan ia ditampar kenyataan. Ia dan Aira bukan siapa-siapa. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu dan Shin yang terobsesi pada gadis itu hingga membawanya sampai sejauh ini. Shin mencoba menyelami perasaan dan ingin
Shin meletakkan pena di atas meja lalu menatap Alika. Dapat ia ilihat mata istrinya itu merah dan sedikit bengkak meskipun sudah ditutupi Alika dengan riasan tipis. Melihat keadaan Alika yang sedikit kacau Shin merasa bersalah namun yang paling mengejutkan adalah kata-kata yang baru saja wanita itu lontarkan kepadanya. Dengan begini Alika menempatkan ia pada posisi sulit. "Alika, kita akan membicarakan ini di rumah." Alika berdiri di seberang meja dengan meletakkan kedua tangan bertumpu pada sisi meja. "Aku sudah memikirkannya sejak semalam Shin dan aku tidak tahan untuk mengatakannya. Kamu tidak bisa kembali ke masa lalu bagaimanapun masa lalu sudah jauh tertinggal di belakang. Dan lihat aku! Akulah masa depanmu," ujar Alika dengan suara serak. Sungguh ia ingin menangis lagi dan lagi tetapi Alika tidak mau tampak lemah dan cengeng di depan Shin. Ia tidak mau menyerah dengan keadaan ini. Shin mengembuskan napas kasar lalu menundukkan kepala, tidak lagi menatap Alika. Karena ia ti
Pagi itu diawali dengan suasana canggung melingkupi Shin dan Alika setelah percakapan mereka semalam. Baik Shin maupun Alika tidak ada yang memulai obrolan terlebih dahulu sampai Shin pergi ke rumah sakit mereka masih belum bicara. Alika tidak tahu memulai, jadi ia membiarkan semuanya. Hatinya masih sakit dan itu ulah Shin.Alika pergi ke dapur, menyeduh teh dan membuat roti panggang. Ia sarapan seorang diri. Rasanya tidak menyenangkan seperti saat ia sarapan ditemani Shin. Alika ingin menangis lagi. Semalam ia hanya tidur tidak lebih dari dua jam. Lingkaran di bawah mata menunjukkan semua. Alika yang mendapatkan siff siang berdiam diri di rumah dengan tidak bersemangat."Kenapa semua jadi rumit?" Alika menyesap tehnya dengan pertanyaan yang banyak di kepala.Ia dilanda penasaran ingin tahu siapa gadis yang telah merebut hati suaminya. Bohong jika Alika tidak cemburu dan baik-baik saja. Ia dan Shin sudah terikat pernikahan secara agama maupun hukum. Ego Alika terpancing. Ia ingin me
Malam Kian larut. Jam hampir menunjukkan tengah malam. Di luar baru saja turun hujan, menambah syahdu malam ini. Malam dingin, sedingin suasana hati Shin. Di ruang tamu, tercipta kecanggungan dan keheningan yang merambat antara Shin dan Alika. Untuk pertama kali dalam hidup mereka merasakan kecanggungan seperti ini, seolah-olah rasa canggung itu akan membunuh keduanya. Suasana ini sangat tidak nyaman. Bagaimana mungkin dua orang yang tinggal bersama selama tiga tahun tiba-tiba seperti orang asing yang baru saling mengenal hari ini. Alika menantikan apa yang akan disampaikan oleh Shin dengan dada bertalu-talu. Tidak biasanya Shin mengajaknya bicara seserius ini, kecuali ketika pemuda itu melamarnya. Hanya saat itu saja. Melihat dari gelagatnya, Alika menebak jika apa yang akan disampaikan Shin kali ini adalah sesuatu yang serius sehingga suaminya itu tidak dapat menunggu sampai esok hari. Padahal dari raut wajahnya jelas sekali Shin kelelahan Di tengah rasa penasarannya itu Alika be
Aira nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Bisakah Shin mengulangi lagi? Sehari ini ia sudah terkejut beberapa kali. Shin benar-benar tidak memberikan ia kesempatan untuk pulih dari keterkejutannya.Bagaimana Shin bisa memintanya untuk menikah, sedangkan Aira tahu sekali bahwa pemuda itu telah memiliki seorang istri.Apakah Shin sedang mempermainkan perasaannya? Mencoba memberikan penghiburan?"Hentikan leluconmu itu, Shin," ujar Aira setelah ia bisa menguasai diri. Ini lelucon yang sangat tidak lucu."Saya tidak pernah bercanda dengan perasaan saya Aira. Mari kita menikah." Sekali lagi Shin menegaskan pernyataannya barusan.Aira terperangah, bagaimana ini mungkin. Apakah yang akan Shin lakukan. Menceraikan istrinya dan menikahi ia, begitu? Pikirannya itu membuat perut Aira mual. Ia memang mencintai Shin tetapi ia tidak sejahat itu merusak rumah tangga yang sudah dibina oleh dokter itu selama ini. Cintanya kepada Shin murni.Apa yang pemuda itu pikirkan sekarang? Jika Aira
"Sudahlah Shin. Hentikan semua ini. Percuma kita membahasnya sekarang. Sudah sangat terlambat. Bagaimanapun sekarang kamu sudah menikah, dan aku harus terus melanjutkan hidup ini."Aira mennyeja air mata dan mencoba berdiri. Ia tidak menatap Shin. Untuk kesekian kali hatinya patah. Shin yang berdiri di hadapannya saat ini memang orang yang sama yang ia cintai, tetapi bukan seseorang yang bisa ia miliki.Cintanya kepada Shin,tidak didukung oleh takdir. Yang terbaik bagi ia sekarang adalah melupakan pemuda itu."Pergilah Shin, pergi dan kembalilah kepada istrimu."Aira ingin beranjak masuk rumah, tetapi Shin dengan cepat meraih pergelangan tangannya. Aira sontak terkejut lalu berbalik. Shin sedang menatapnya dengan mata merah."Lepaskan Shin! " desis Aira. Ia menatap pergelangan tangannya dan Shin secara bergantian."Saya belum selesai bicara Aira. Meski terlambat tapi saya ingin mengatakannya sekarang."Shin menatap Aira dengan sorot penuh permohonan. "Saya mohon sebentar saja."Aira m
Shin dan Aira masih berdiri berhadap-hadapan. Dua orang berbeda gender itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun yang paling dirasakan oleh Aira adalah keterkejutan. Saat ini Shin ingin sekali memeluk dan menyatakan cintanya kepada Aira. Rasa yang ia pendam selama bertahun-tahun. Shin selalu ingin melakukan itu, tetapi pemikiran rasionalnya selalu menang. Ia tidak akan membiarkan perasaannya menghancurkan semua. Untuk Aira dan juga Alika. Shin sangat menyadari jika saat ini istrinya adalah Alika, namun tidak dengan cintanya. Waktu dan keadaan tidak akan bisa menghapus cintanya kepada Aira. Tidak akan pernah sebab nama Aira seperti tato di hatinya. Meski Shin hilang ingatan, namun jauh di lubuk hatinya, ia merasa bahwa ada hilang dari dirinya. Rasa itu telah menyiksanya sekian tahun tanpa ia tahu penyebabnya. Sekarang ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya itu. Ternyata itu adalah Aira. "Shin darimana kamu tahu rumah aku?" Akhirnya Aira bertanya. Rasanya ia akan mati kar
Alika meraba tempat tidur, dan ia tidak merasakan Shin. Dengan memaksa membuka mata, ia pun benar-benar tidak mendapati suaminya di sampingnya. Kemana perginya Shin? Apa ke kamar mandi.Alika Kembali memejamkan mata, tetapi ia merasa tidak tenang. Akhirnya Alika bangun dengan masih menahan kantuk. Dilihatnya Shin tidak ada di kamar mandi. Alika menyalakan lampu kamar, melihat sekeliling ruangan, Shin tidak ada di sudut mana pun. Alika meninggalkan kamar. Saat tiba di ruang tamu, tempat itu terang.Baru saja Alika hendak menghampiri suaminya, ia mendengar Shin menggumamkan nama seseorang.Alika tidak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar. Ia pun kembali ke kamar. Alika menjatuhkan tubuh ke atas kasur, tanpa bisa ia cegah air mata menuruni pipi mulusnya begitu deras."Siapa wanita yang kamu rindukan itu, Shin?" tanya Alika pada dirinya sendiri. Apa Shin telah berselingkuh darinya? "Jangan lakukan itu, Shin. Aku mohon," lirihnya menyayat hati.Membayangkan hal itu terjadi, hati
Hampir satu jam lamanya Alika menangis di kamar mandi seorang diri sambil memegang secarik kertas. Dokter cantik itu benar-benar terpukul dan sedih. Ia merasa hidupnya berada di titik terendah. Tidak pernah sebelumnya Alika merasakan perasaan kecewa sedemikian dalam. Hingga rasanya semangat hidupnya tercabut begitu saja.Bayangan buruk tentang masa depan tak ayal menambah ketakutan Alika. Mengapa ia harus menanggung semua ini. Ia tidak pernah menyangka jika dirinya sedang digerogoti penyakit berbahaya seperti ini.Hal yang paling Alika takutkan adalah ia tidak bisa memberikan Shin keturunan. Sedangkan ibu mertuanya hanya memberi waktu satu tahun untuk ia bisa melahirkan anak darah daging Shin. Sementara itu, Alika harus fokus kepada pengobatan kanker payudara yang telah merenggut kebahagiaan dan semangat hidupnya."Al, kamu di dalam."Mendengar suara Shin, buru-buru Alika menghentikan tangisan. Ia mencuci wajahnya, berusaha menyembunyikan jika ia baru saja menangis lama. Alika tidak m
Shin membawa Alika ke rumah sakit. Melihat wajah pucat dan berkeringat sang istri tak pelak membuat Shin khawatir. Alika itu jarang sakit dan tidak mudah mengeluh. Jadi jika ia sampai meringis seperti ini itu pasti sakit yang serius.Sementara itu, Alika yang sudah mendapatkan tindakan merasa lebih baik. Sudah tidak sesakit tadi. Dokter mengatakan nanti akan diperiksa lebih lanjut. Untuk sementara ini cukup diresepkan obat pereda rasa sakit."Makasih, Dok.""Sama-sama, Al. Besok kita periksa lanjutan," ujar dokter Iwan, dokter senior di rumah sakit ini. Rumah sakit yang tak lain milik keluarga Alika."Apa sakitnya ini serius?" Dokter Iwan tersenyum. "Besok kita lihat hasilnya ya. Sekarang kamu jangan berpikiran yang macem-macem dulu.""Oh, baiklah, Dok. Permisi.""Iya, Al. Hati-hati."Alika meninggalkan ruangan Dokter Iwan. Di luar Shin dengan setia menunggunya. Ketika melihat Shin, senyum Alika merekah. Ia merasa senang karena Shin ada di dekatnya saat dibutuhkan seperti ini. Shin s