Herman sangat takjub kala matanya memindai sosok Anjas yang berdiri tegak di sisi Anyelir."Dia begitu mirip Adinagara di masa mudanya dulu. Lihatlah foto-foto itu. Lihat foto Adinagara saat ia berusia dua puluh lima tahun." Anjas dan Anyelir tak kalah takjub kala melihat foto-foto Adinagara muda yang tertata rapi di antara foto keluarga.Amira yang ikut bergabung spontan melafadzkan tasbih dan menahan diri sekuat tenaga agar tidak menangis haru di depan dua anak muda yang sedang tekun memperhatikan foto yang terpajang satu demi satu."Anyelir, jadi ini kah anak muda bernama Anjas yang kamu ceritakan kepada Oma dan Opa?" Amira mengonfirmasi. Anye mengangguk mantap sembari membawa Anjas mendekati wanita tua yang masih terlihat cantik di usianya yang telah memasuki kepala enam."Oma, saya Anjasmara calon suaminya Anyelir. Kami kemari karena hendak berpamitan. Saya akan membawa Anye untuk mengurusi beberapa urusan. Insyaa Allah kami akan datang kembali untuk mengunjungi Ibu Marisa--mami
"Mas, bantu pilihin juga ya, ntar aku salah pilih, yang ada bukannya hijab syar'i malah semakin meluber-luber seksinya berkedok hijab syar'i." Anjas mengangguk mengiyakan, ia memang bertekad memberikan panduan dalam memilih fashion yang sesuai dengan ketentuan yang semestinya. "Mas, kalau yang ini gimana? Bahannya adem, potongannya juga longgar, aplikasi renda dan brokatnya aku suka, manis minimalis, hijabnya juga panjang menutupi bokong." Anye menunjukkan satu stel gamis set berwarna lilac yang anggun seharga du4 jut4 tu7uh r4tus r18u rup14h. Anjas mengangguk setuju. "Kalau ini suka nggak?" Anjas menunjuk gamis berwarna navy. Anya mengerjap senang karena gamis yang ditunjukkan Anjas senada dengan outfit yang dikenakan calon suaminya itu."Suka banget, Mas. Bahannya juga adem, aku langsung pake aja kali ya, boleh kan?" Anye berputar-putar sembari melekatkan set gamis navy seharga l1m4 jut4 rup14h itu ke tubuhnya. "Good idea, beli lagi Nye ... ambil lagi setidaknya tujuh stel, ja
Andre kesal bukan main mendengar pertanyaan asal bunyi dari mulut sohibnya mempertanyakan kenapa ia masih berada di kantor pada malam hari."Kamvreeddt, ini kan karena elu yang tetiba resign, jobdesc gue jadi di luar nurul begini, seabreg-abreg kek cucian kotor yang belom sempat gue antar ke laundry," omel Andre.Keduanya langsung cabut menuju apartemen Denis yang terletak tidak begitu jauh dari Bagaskara Group Building."Yakin masih hapal passcodenya, Nye?" tanya Anjas."Iya, Mas ... semoga belum diganti deh, kalau sudah berubah ya ntar Nye telpon minta bukain ajalah." Anye kembali melakukan touch up sebelum turun dari mobil. "Jangan terlalu cantik, Nye. Mas cemburu!" titah Anjas yang wajahnya sudah ditekuk tanda tak rela.Keduanya lalu memasuki lobi dan menuju lift.Anye menekan angka lima dan berdiri tegang di sisi Anjas yang menyadari betapa gugupnya sang calon istri."Doakan semuanya lancar ya, Mas ... jujur aku merasa agak kurang nyaman, tapi ya mau bagaimana lagi. Aku in
Anye segera dilarikan ke IGD rumah sakit terdekat. Anjas selalu setia mendampingi calon istrinya dan tak lupa menghubungi Arya untuk mengabarkan kondisi Anye. Arya tiba secepatnya ke tempat yang diberitahukan oleh Anjas. Kini keduanya sama-sama bergeming menanti kelanjutan kabar nasib orang yang mereka cintai."Pasien akan kita pindahkan ke ruang ICU, siapa di sini yang akan bertanggungjawab terkait administrasi dan lainnya?""Saya!""Saya!""Anye itu putri Om, Jas ... biar Om yang menanggung semua, lagi pula pengendara g1l4 yang melanggar putri Om sudah diringkus, Om tidak akan dengan mudah melepaskannya. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anye putri Om satu-satunya, jantung hati Om!" Arya menegaskan posisinya pada sang calon menantu. Anjas mengangguk patuh."Kau berhutang penjelasan pada Om, apa yang kalian lakukan di apartemen itu? Kenapa Anye bisa mengalami kecelakaan yang membuat dia tak sadarkan diri di ICU saat ini?"Anjas menjelaskan dengan detail awal mula ke
Anjas dan Arya saling menatap sarat kepedihan."Apakah memang tidak dapat dipertahankan saja? Aku khawatir Anyelir shock saat ia siuman nanti." Arya mencoba untuk bernegosiasi."Terlalu beresiko, Pak. Kami hanya ingin mengusahakan yang terbaik untuk keselamatan putri anda." Seorang dokter mencoba memberikan penjelasan pada Arya terkait sebelah kaki Anye yang memang tak dapat diselamatkan. "Segera nikahkan kami, Om, agar aku dapat turut merawat Anyelir," pinta Anjas. "Bagaimana kalau bertunangan saja dulu, Jas?" tawar Arya. Cepat Anjas menggeleng dengan tegas."Sebagai tunangan Anye aku belum halal untuk menyentuhnya, sementara ia sedang sakit, ia pasti membutuhkanku sebagai kakinya, tangannya, matanya dan segala yang ada pada dirinya.Tolong, OmKumohon mengertilah, Anye akan lebih cepat pulih dibawah perawatanku. Aku akan selalu ada untuknya.Aku akan membawanya tinggal bersamaku. Siang malam akan kami lewati bersama, aku yakin ia akan lebih bahagia kala mendapatiku saat membuka
Anjas tak bosan-bosannya berada di dekat sang istri terkasih. Berdoa tanpa jeda mengharap sang kekasih membuka mata dan kembali seperti sedia kala. Meski kini pergelangan kaki sebelah kiri Anye telah diamputasi, Anjas tak pernah mempermasalahkan itu. Kaki artificial untuk Anye bahkan telah dipesan oleh Arya Bagaskara untuk sang putri sematawayang kesayangan. Anjas tak mempermasalahkan ketidakhadiran Lukman Bagaskara, yang penting saat ini Anye telah berhasil ia halalkan, dinikahi secara sah dengan menggenggam tangan ayah kandung sang kekasih kala ijab kabul dilafadzkan. Anjas begitu bersyukur kini telah menjadi sosok suami bagi wanita yang paling ia inginkan dalam hidupnya. Wanita yang ia jaga sejak terlahir ke dunia, dibersamai dengan penuh kasih sayang hingga putik cinta bermekaran di hati keduanya. Anjas rutin membacakan ayat-ayat suci Al Qur'an saat berada di sisi Anye. Sesekali ia akan membisikkan kata-kata cinta dan pengharapan ke telinga sang dayita. "Baby, buka matanya
Mata yang tadinya berkaca-kaca kini telah basah oleh air mata yang menggenang berselimut haru."T t tapi ... a a aku ... k k ka ki a a a ku ... kaki aku ...." Anye menggelengkan kepalanya sembari sebelah tangan menyentuh permukaan bibir menahan isakan yang pecah diwarnai kekalutan dan rasa hancur."Its okay, its no a big deal ... di mataku kamu sempurna, Sayangku ... ada atau tidak adanya pergelangan kakimu tidak mengubah sedikitpun rasa yang aku miliki padamu, bahkan menambah rasa sayang dan kekagumanku padamu karena telah memberanikan diri mengambil langkah demi mewujudkan hubungan kita yang semestinya, walau berakhir begini ... aku mohon, bersabarlah. Semua insyaa Allah akan baik-baik saja ke depannya. Trust me, kita hadapi semua sama-sama ya, Sayang." Anjas meraih telapak tangan Anye, dan menciumnya dengan lembut penuh kasih."Aku tidak mau lama-lama berada di sini, Mas," rengek Anye. Anjas tersenyum lembut sembari kembali menciumi tangan Anye yang masih berada di dalam genggam
Anjas tak menyangka akan menuai penolakan dari sang ayah mertua.Padahal sebelum memutuskan akan membawa Anye ikut tinggal bersamanya di rumah dinas petani, Anjas telah mempertimbangkan matang-matang segala sesuatunya dari segala sisi.Dari sisi keamanan dan kenyamanan jelas rumah dinasnya lebih unggul, karena selain berada di tengah hamparan kebun sayur yang indah, pengamanan jelas sangat diutamakan mengingat mereka berada di tengah-tengah komoditi utama yang tentu saja sangat ketat dilindungi oleh sistem yang dirancang sedemikian rupa oleh Anjas dibantu semua staff yang ada di instalasi perkebunan hidroponik miliknya. Jangan ragukan kenyamanan yang telah Anjas persiapkan. Meski terlihat sederhana dari luar, sesungguhnya Anjas telah meng-upgrade banyak hal di rumah dinasnya menyesuaikan dengan kebutuhan pemulihan Anye. Semua itu ia persiapkan selama Anye berada dalam keadaan koma selama empat belas hari terakhir. "Papi apa pernah berkunjung ke rumah dinasku yang berada di pinggir k