"Terkadang sebuah penjelasan pun tidak cukup menenangkan hati."
°°°
Three Musketeers
Angelica Lania:
[Adinda terima kasih traktirannya hari ini, sering-sering ya!]
[Sampai ketemu lagi di Senin pagi.]
Natasha Ayarashi:
T[Thanks Din, semoga sehat selalu biar bisa sering kasih traktiran sama kami.]
[Omongan tadi nggak usah dipikirin banget, lagian itu 'kan dulu Damian cipok-cipokannya. Semoga aja sekarang udah enggak.]
Adinda menutup ruang obrolan antara dirinya dengan kedua sahabatnya. Gadis itu meletakkan ponsel di atas kitchen table, lalu kembali pada pekerjaannya—menyusun barang-barang yang baru dibelinya pada tempat yang semestinya.
Dia menghentikan kegiatan saat azan Maghrib berkumandang, dibasuhnya tangan sebelum meraih ponsel dan beranjak dari dapur. Adinda melangkah menaiki
'Aku ini bukan wanita baik hati yang mau berbagi suami, meski tanpa perasaan di dalamnya.' Posesif itu harus. Namanya punya kita, masa orang lain boleh ngerasain juga? Enak banget dong! Jadi, gimana komentarnya tentang bagian ini? Semoga suka ya, Semua. Sampai jumpa ya di bagian selanjutnya.
WARNING!!! HATI-HATI, SIAPKAN PIKIRAN AGAR TETAP JERNIH. BAHASA DIPERHALUS DENGAN MAKSUD YANG PASTI DIPAHAMI. °°° "Dan benar, jika suatu kewajiban memang harus tetap dikerjakan." °°° Adinda sudah merebahkan tubuhnya bahkan matanya sudah terpejam saat Damian masuk ke kamar dan mematikan lampu kamar, mengganti dengan lampu tidur di sisi ranjang. Gadis itu berpikir mereka akan langsung tidur seperti biasa, tapi tindakan Damian malam ini benar-benar diluar dugaan. Damian memeluk Adinda—untuk pertama kalinya selama pernikahan—dan menyusupkan kepalanya di ceruk leher sang istri. Bibirnya yang basah dan hangat mengecup ringan kulit Adinda yang masih berlapis jilbab instan. Ya, selama ini gadis itu memang masih menutup kepalanya ketika tidur, belum terbiasa memperlihatkan rambutnya kepada orang lain—termasuk Damian. Tang
"Ada yang lebih penting dari ungkapan 'aku mencintaimu', adalah perwujudan dari rasa cinta itu sendiri." °°° Adinda dapat melihat Damian mematung di tempat saat melihatnya turun dengan setelan rapi. Hari Senin, Adinda kembali ke kampus untuk masuk ke semester delapan. Tidak pernah ia sangka bahwa tiga bulan lalu adalah terakhir kalinya dirinya bisa sarapan dan mendapat semangat tiap pagi dari kedua orang tuanya. Kini dia sudah menjadi istri orang, perhatian itu harusnya didapatkan dari sang suami. Alih-alih memberi perhatian dan semangat, Damian malah terdiam kaku pada posisinya. Perlu suara Adinda untuk menarik atensi pria itu kembali, melanjutkan kegiatannya—menata piring di atas meja makan—dengan sesekali melirik ke arah sang istri. Pagi ini Damian memang berinisiatif membuat sarapan, ala kadarnya, Adinda bisa melihat telur mata sapi dan bawang gore
"Tidak fokus akan membuat kalian melakukan kesalahan." °°° Seharian ini, tepatnya sejak pembicaraan terakhir antara dirinya dan kedua sahabat, Adinda menjadi terlalu banyak berpikir. Hal yang menjadi masalah ada, apa yang dipikirkannya tidak sesuai dengan situasi yang dialami. Tadi ketika di kelas, saking kacaunya isi pikirannya, Adinda menjawab pertanyaan yang diajukan temannya bukan yang diminta dosennya. Saat ini pun, ketika Bisma—Pres BEM yang baru—meminta saran darinya Adinda lebih banyak mengalihkan pada Kharisma—Sekretaris BEM periode lalu. Adinda benar-benar dalam kondisi pikiran yang tidak baik, padahal tadi pagi ia sangat bersemangat dan sudah menyusun apa-apa saja yang ingin dia sampaikan sebagai wejangan kepada adik-adiknya. Bukan ingin menyalahkan dua sahabatnya, Adinda hanya menyayangkan saja waktu mereka menyampaikannya yang tidak tepat. Harusnya bisa disampaikan se
"Yang paling menyebalkan dalam hubungan adalah ... ketika kita menjadi pihak yang "kepo" terhadap pasangan, sedangkan dia tidak." °°° 6 dari 10 untuk film Damian yang baru selesai Adinda tonton. Awalnya Adinda ingin memberikan nilai 11, tapi begitu mendekati ending dan melihat adegan yang tidak disenanginya (read: ciuman) wanita itu mengurungkan niatnya. Enam sudah cukup, malah menurutnya terlalu bagus. Mood-nya hancur sehabis menonton, artinya filmnya kurang memuaskan. Ya 'kan? Ditariknya selimut sampai dagu yang semula hanya menutup sebatas paha, menenggelamkan wajahnya pada lipatan kain putih tebal itu. Adinda benar-benar kesal sekali menyaksikan adegan terakhir itu, kenapa sih harus ada cium-ciumannya?! Semakin kesal saat mendengar bunyi ponselnya yang berdering tanda ada pesan masuk, dari Damian. Pria itu mengatakan untuk tidak menunggunya. Damian (Mas Suami)
"Yang berhak memutuskan jalan hidupmu adalah kamu sendiri, bukan orang lain." °°° Tidurnya gelisah sejak kepulangan Damian. Hampir setiap setengah jam sekali Adinda terbangun, menatapi langit-langit kamar, dan berusaha tidur kembali. Begitu seterusnya sampai dia menyerah pada pukul tiga pagi. Adinda bangun dan merapikan bab awal skripsinya, dilanjutkan dengan membangunkan Damian, lalu membuat sarapan untuk mereka berdua. Pukul empat pagi, Damian belum juga terlihat. Adinda mengembuskan napas panjang, akhirnya harus kembali ke atas untuk membangunkan sang suami. Damian benar-benar kebo kalau sudah terjun ke alam mimpi! "Mas ...," panggil Adinda dengan suara selembut beludru. Tangan lentiknya menyibak selimut yang menutupi wajah Damian, melipatnya dan meletakkan kain tebal berwarna putih itu di bawah kaki. Adinda naik ke atas ranjang, duduk di dekat kepala Damian. Tangannya secara naluriah membelai rambut Damian yang berantakan. "Mas bangun yuk, udah subuh. Kamu mau salat di mas
"Dan ada saat kita bertemu dengan seseorang yang tidak diinginkankan." °°° Turun dari mobil, Damian langsung disambut oleh jutaan blitz kamera para wartawan yang berdiri di depan lokasi syutingnya hari ini. Pria itu tersenyum, memberikan yang terbaik, pada beberapa wartawan yang menghalangi jalannya. Hampir sebulan tidak terlihat dan alfa posting di I*******m membuat banyak yang bertanya-tanya, kemana artis papan atas kita? Apa yang sedang dikerjakannya? Dan banyak pertanyaan lainnya. "Kak Damian, gimana nih kabarnya hari ini? Kemana aja kok nggak pernah kelihatan dan nggak posting di I*******m?" tanya salah seorang jurnalis muda berpakaian serba hitam dengan logo Garuda di dada kirinya. Damian tersenyum, sejenak ia menghentikan langkah, untuk menjawab juga karena langkahnya dihadang. "Saya sibuk syuting, capek, jadi nggak sempat posting-posting. Maaf ya untuk semua yang menunggu saya," kata
"Ada hal yang tidak harus dibahas sedekat apa pun hubungan yang terjalin." °°° Sepertinya Damian akan lebih sering pulang terlambat mulai sekarang, jadwal syutingnya benar-benar padat. Ada dua proyek film yang baru mulai syuting di waktu bersamaan, satu iklan, dan satu dubbing film yang rencananya akan ditayangkan bulan depan. Pekerjaan yang menuntut dirinya untuk lebih ekstra, sementara ada hal lain yang harus diurusnya. Sang istri, Adinda. Nyatanya pulang malam bukan berarti tidak bisa bersitatap dengan wanita itu jika yang terjadi kini Adinda sedang duduk di ruang tamu, mungkin menunggunya, sambil menikmati camilan dan minuman soda. "Kok belum tidur?" tanyanya ketika mendaratkan bokong di samping Adinda. "Nggak ngantuk." Damian melihat tangan Adinda terjulur ke coffe table di depan mereka, meraih lembaran kertas yang Dam
"Ada saat di mana kita harus melihat dari dekat." °°° Ayara menyeret lengannya sejak turun dari mobil, gadis itu berjalan dengan tergesa sambil sebelah tangannya mengotak-atik ponsel. Di belakang mereka ada Angel yang berjalan sambil misuh-misuh menatap ponselnya, berkali-kali mendumel dengan menyebut nama dosen pembimbingnya. Adinda jadi semakin penasaran, hubungan seperti apa yang sebenarnya terjalin antara mereka? Mereka berhenti di hadapan dua orang berseragam satpam. Sejenak Ayara melepaskan genggaman tangannya, ia beralih menunjukkan layar ponselnya pada di satpam, kemudian kembali menarik tangan Adinda dan mereka memasuki kawasan ramai orang. Beberapa orang sedang berbincang, ada yang memegang sesuatu seperti triplek, mengatur stabilizer, memegang kamera, dan semacamnya. Dari apa yang indra penglihatannya tangkap saja Adinda langsung bisa menebak mereka berada di mana.
Sepanjang perjalanan menuju villa milik Damian, pria itu lebih banyak mengunci mulutnya. Ia menyetir dengan tenang, sesekali merespon kalimat Adinda dengan anggukan atau gumaman singkat, dan setelah sampai ke villa pun ia hanya mempersilakan Adinda masuk sebelum akhirnya menghilang terlalu lama di kamar mandi. Melihat semua keanehan itu, Adinda tidak bisa untuk diam saja, ia penasaran. Maka begitu Damian keluar dari kamar mandi, Adinda langsung menyerangnya dengan pertanyaan. "Kamu kenapa sih, Mas, kok daritadi diem aja? Aku ada buat salah, ya?" tanya Adinda kepo. Damian menggeleng, tapi tetap enggan membuka suara. Membuat Adinda semakin penasaran dengan sikapnya. Wanita itu mengikuti kemanapun Damian pergi, bahkan saat pria itu berganti pakaian. Tidak perduli bahwa wajahnya memerah karena melihat tubuh polos suaminya. Adinda mengikuti Damian ke atas ranjang, ikut duduk di tempat empuk itu. Damian meliriknya. "Nggak mandi?" tanyanya risih. Damian tahu kalau sikapnya ini membu
Damian benar-benar membawanya untuk jalan-jalan seperti yang dia katakan sebelum memaksa ikut Adinda survey lokasi syuting. Pria itu mengajaknya ke Bandung, butuh waktu tiga jam tiga puluh menit untuk sampai di lokasi tujuan, floating market Lembang. Pria itu ingin merasakan sensasi belanja di pasar terapung, membeli beberapa hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Mereka membeli beberapa buah-buahan segar siap makan untuk mengisi perut sembari berkeliling di area air di area tersebut. Adinda mengajak Damian untuk membeli pernak-pernik lucu untuk dibawa pulang. Damian setia mengikutinya dengan topi yang menutupi kepalanya, kaca mata hitam dan masker yang menyamarkan dirinya. "Ini lucu banget," kata Adinda sembari menunjuk gantungan kunci. "Beli deh kalau lucu," sahut Damian kalem. Tidak hanya menanggapi kalimat istrinya, tangannya juga turut serta mengambil gantungan kunci yang ditunjuk Adinda. Pria itu mengambil dua sekaligus. "Biar couple," ucapnya santai. Adinda gelen
Pagi-pagi sekali Damian sudah bangun. Pria itu langsung mandi dan bersiap untuk pergi salat subuh ke masjid. Namun, sebelum benar-benar keluar kamar, ia menyempatkan diri mencium istrinya, cara paling efektif membangunkan Adinda yang sedang tidur pulas. "Gue ke masjid, lo jangan tidur lagi," bisiknya setelah kedua mata Adinda terbuka. Menuruti perkataan suaminya, Adinda langsung beranjak duduk. Menggeliatkan tubuh untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Wanita itu melirik jam yang menggantung di dinding, masih pukul setengah lima pagi. "Tumben," gumamnya yang merujuk pada Damian. Adinda bangkit, merapikan ranjangnya yang sudah seperti kapal pecah. Wanita itu langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri, berwudhu, lalu salat ketika waktunya telah tiba. Selepas salat, Adinda tidak membuang waktu pagi dengan malas-malasan, wanita itu turun ke dapur, menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan dirinya sendiri. Butuh waktu dua puluh menit untuk menyiapkan nasi goreng seafoo
Taksi online yang mengantarkannya pulang berhenti di lobby apartemen dua puluh menit kemudian. Wanita muda itu keluar dari dalam taksi sembari membawa belanjaannya yang memang diletakkan di kursi samping. Dia mengucapkan terima kasih pada si sopir, lalu lanjut masuk ke gedung pencakar langit itu dengan langkah ringan. Untuk bisa sampai ke unitnya berada, Adinda harus naik lift. Begitu pintu lift terbuka di lantai kamar apartemen milik Damian, dia langsung melangkah keluar. Lorong apartemen tidak pernah ramai, hanya sesekali jika petugas kebersihan sedang bekerja. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kurang beberapa menit, jadi tidak ada satu orang pun manusia yang berlalu lalang di lorong ini. Kekosongan apartemen menjadi pemandangan kedua yang menyambutnya begitu tiba di apartemen. Adinda meletakkan barang-barang belanjaan lalu kembali melangkahkan kaki menuju kamar, ia ingin mandi dulu sebelum salat dan akhirnya memasak makan malam. Dua puluh menit membersihkan di
Adinda mengangguk setuju ketika Bunga mengatakan bahwa proses syuting akan dimulai dalam waktu dekat, mungkin minggu depan. Kepalanya tertoleh pada Ares yang duduk di sisi kirinya, meminta jawaban pada pemuda itu. Ares membalas tatapan Adinda sambil berpikir dan mengingat ulang jadwalnya. "Untuk dua minggu ke depan gue bisa sih karena jadwal kosong, tapi habis itu harus selang-seling syutingnya karena gue ada jadwal foto iklan," jawab Ares sambil matanya menatap satu per satu orang yang ada di sekitarnya. Bunga mengangguk paham. Dia menulis susunan jadwal yang akan mereka lakukan. "Berarti minggu ke depan full, ya? Gue udah nyocokin jadwal juga sama Nayla, katanya dia free juga minggu depan. Setelah itu nanti gue hubungi kalian lagi soal jadwal selanjutnya," kata Bunga tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Yep," sahut Ares setuju. Mereka melanjutkan pembahasan tentang rencana syuting dan beberapa adegan tambahan yang harus Ares lakoni. Bunga menyerahkan hasil print naska
Halo! Balik lagi nih. Semoga suka ya. Happy reading♡ ♡♡♡ Rahang Damian menegang sempurna saat mendapat kiriman pesan tersebut. Dia tidak pernah mengira bahwa 'orang itu' akan berani dekat dengan istrinya. Huh, atau apakah Damian terlalu memberi kelonggaran pada Adinda dalam urusan pertemanan? Haruskah dia memberi wanita itu batasan? Tangannya secara langsung mengetik nomor yang sudah ia hafal di luar kepala, menelepon orang di seberang pulau. Pada dering keempat, teleponnya diangkat, seolah orang itu memang sedang menunggunya. Atau memang karena sedang memegang handphone. "Iya, Mas? Kenapa?" Oh, lihatlah sekarang. Bahkan hanya dengan mendengar suara wanita itu saja, bara amarah yang semula menggelegak seperti hilang entah kemana. Damian berdeham. "Lo emang dekat sama dia, ya?" tanyanya ambigu. Damian yakin jika saat ini wanita di seberang telepon sedang mengerutkan dahi dengan cara paling menggemaskan. Ah, bukankah Damian sudah gila kalau seperti ini? "Maksud gue ... Ares."
Halo! Selamat membaca ya♥️♡♡♡Damian baru menyelesaikan syutingnya ketika dering ponsel di saku celana menarik atensinya. Buru-buru pria itu mengambil benda pipih warna hitam miliknya, mengusap layar ke sebelah kiri untuk mengangkat panggilan. Sudah sejak tadi pagi dia menunggu panggilan ini. "Halo, Mas! Mas maaf banget ya baru nelepon kamu jam segini, aku beneran lupa ada janji mau teleponan sama kamu. Ini aku baru pulang setelah meeting budget sama temen-temenku," ujar suara di seberang sana tampak buru-buru, seolah takut kalimatnya dipotong. Damian terkekeh tanpa suara. Dia mengusap tulang lehernya yang terasa pegal karena sejak siang dia belum ada istirahat. Hari ini jadwalnya padat sekali, dari pagi sampai malam begini dia terus membaca teks, menghafal, dan mulai take. Mendengar suara istrinya menjadi angin segar untuknya. "Gue kira udah lupa kalau punya suami," kata Damian, ingin mengerjai istrinya. "Ih Mas, nggak gitu!" rengek Adinda di seberang telepon. "Aku beneran lupa,
Lama ya nggak update, hehe. Maaf ya. silakan baca bagian terbaru ini dengan hati gembira✨ °°° Pagi-pagi sekali Adinda sudah berangkat dari apartemen menuju kampusnya. Hari ini, ada banyak agenda yang harus dikerjakannya. Mulai dari sarapan bersama teman-temannya di kantin— agenda ini berlangsung selama seminggu setelah mereka berada di semester atas, agar komunikasi tetap terjalin—lalu ada rapat anggaran untuk produksi film, dan yang terakhir akan menjadi komunikasi dengan calon "aktor" dalam film mereka. "Lo udah nemu belum tema dan alur kayak apa yang mau dibuat?" tanya Ayara pada Angel yang sedang menyeruput kuah bakso di mangkuknya. Angel mengangguk-angguk kecil. "Gampang itu. soal beginian mah gampang sama gue kalau," sahutnya sombong. "Gaya lu!" dengkus Ayara. Tatapannya beralih pada Adinda yang masih mengaduk-aduk jus jeruk di gelasnya agar dinginnya merata. "Kalau lo udah sampe mana pembahasan film, Din?" tanyanya Adinda letakkan sedotan yang dia untuk mengaduk jus je
"Dalami peran dan kau akan rasakan." ♡♡♡ Adinda menggelengkan kepala atas pertanyaan dari sosok yang dikenalnya tersebut. Ares. Salah satu artis ibu kota yang namanya sedang naik daun karena salah satu series yang diperankannya. Ares terkenal sebagai aktor yang ramah dan sangat sederhana, hal itu terbukti dengan kehadirannya di kedai kopi dekat apartemen Adinda ini. "Enggak kok, Mas. Saya cuma kaget karena ... bisa ketemu Mas di sini," kata Adinda, agak mengernyit mendengar panggilannya pada Ares yang ditaksir lebih muda darinya.