Jatuh hati tidak bisa memilih. Itu bukan kuasa kita. Tuhanlah yang mengatur segalanya. Di sini kita hanyalah korban. Ketika kecewa hanya akan menjadi konsekuensi. Sementara bahagia adalah bonus. Tapi kali ini, Gala sedang berada di fase kecewa. Ia benar-benar tak menyangka malam ini akan terjadi begitu cepat. Ini di luar kendalinya. Ia tak bisa berbuat apa-apa tuk sekedar bisa mengubah takdirnya. "Mas Gala, dengerin aku dulu, Mas!!" pekik Gendis ketika ia berhasil menyusul Gala yang sudah keluar rumahnya. Napas Gendis sedikit terengah-engah. Sejak tadi matanya tak pernah melepaskan padangan pada sosok Gala yang sudah tak mau melihat ke arahnya. Hal itu tentu saja membuat hatinya ikut terluka. "Kamu ngapain keluar sih, Dis?" tanya Gala dengan mata yang tetap tak mau menatap Gendis. Hatinya tak kuat tuk sekedar melihat perempuan yang ia cintai namun kini menggores luka yang teramat dalam. Katakanlah jika Gala memang lemah. Ia mengakui hal tersebut. "
Hari ini mungkin adalah hari paling bahagia dan penuh sejarah. Akan tetapi hari itu tak berlaku bagi Gendis sebab ia merasa hari ini adalah hari paling menyesakkan baginya. Hari bahagia itu hanya berlaku pada Fatma. Senyum masih tersungging sampai saat ini. Bahkan setelah tak ada satu pun tamu di rumahnya. Kebahagiaan itu jelas terpancar di wajahnya yang masih cantik di usianya yang menginjak setengah abad. "Mama senang banget hari ini. Akhirnya kamu udah bertunangan malam ini. Kayaknya hari ini nggak bakal bisa Mama lupain deh," ungkap Fatma dengan menggebu. Wajahnya terlihat ceria, kerutan halus mulai terlihat karena saking lamanya ia tersenyum. "Aku nggak nyangka kalau hari ini bakal ada second party," komentar Januar yang baru saja menyesap teh hangat. Kepalanya terasa pening sehingga ia meminta Mbok Las untuk menyeduhkannya teh. Efek acara yang penuh kejutan malam ini membuatnya ikut terkejut. Januar yang notabene sebagai anak pertama di keluarga Raharjo jug
Pagi ini langit sedikit mendung. Akan tetapi seperti yang kita tahu jika tak selamanya mendung berarti hujan. Bisa saja beberapa menit kemudian langit kembali bersinar cerah. Langit pagi ini rupanya menggambarkan suasana hati Gala. Lelaki itu baru saja masuk ke gedung capital tower di mana Manggala Group berada. Tak ada raut ramah yang biasa ia tunjukkan. Bibir Gala tertekuk ke bawah. Alisnya hampir menyatu. Raut wajah Gala sungguh lain daripada biasanya. Di sampingnya, Angga berjalan mengikuti langkah lebar atasannya. Ia belum sempat bertanya ada apa dengan sikap Gala yang bisa disebut luar biasa. Gala menghentikan langkahnya. Matanya mengarah ke segerombolan karyawannya yang tengah bersantai ria. Terlihat sekali obrolan mereka sangat seru. Bahkan sesekali mereka tertawa bersama. Entahlah, Gala tak tahu topik obrolan mereka. Namun, hal itu rasanya cukup mengganggu bagi Gala. Hatinya terusik melihat orang lain bisa tertawa dengan begitu bebasnya. Sementara d
"Kamu mau tidur di kantor, Gal?"Angga membuka pintu ruangan Gala ketika tak ada tanda-tanda Gala keluar dari ruangannya. Angga yang bersiap pulang tentu saja tak enak jika harus pulang lebih dulu dibanding dengan atasannya. Terlebih lagi, ia cukup khawatir dengan Gala yang hari ini bak kerasukan 'Setan Rajin'. Atasannya tersebut sangat kalap bekerja seolah tak ada lagi hari esok. Ia baru mendengar kabar pertunangan Gendis ketika ia tak sengaja melihat story Alina (yang kebetulan ia ikuti) di sosial media. Seketika kepala mulai merangkai kepingan-kepingan puzzle yang ia temui. Pertunangan Gendis dan bagaimana kalapnya Gala bekerja sudah membuat Angga menyimpulkan satu hal. Gala ingin sekedar melupakan kesedihannya dengan memaksimalkan pekerjaan. Dan Angga tak suka akan fakta tersebut. Namun, bukan berarti Angga juga akan mendakwa Gala dengan sebutan 'lelaki lemah' atau 'lelaki payah'. Tak ada yang tahu bagaimana isi hati seseorang, apa yang dirasakan orang lai
"Are you okay, Gal?"Gala tersenyum tipis ketika pertanyaan itu meluncur dari bibir Dea. Ia bisa merasakan nada kekhawatiran yang tersemat lewat pertanyaan tersebut. Hal itu tentu saja membuat hatinya menghangat. Di saat perih merajai hatinya, masih ada seseorang yang mengkhawatirkannya. Kepedulian Dea sudah lebih dari cukup tuk membuat hatinya sedikit menguat. Memang tak sepenuhnya akan sekuat sebelumnya. Tapi setidaknya ia tak merasa sendiri sekalipun hanya dirinya yang merasakan 'kesakitan' ini. Dea sendiri baru mendengar kabar pertunangan Gendis dari Dana–anak perempuannya tadi sore. Ia cukup terkejut dengan kabar dadakan tersebut dan seketika pikirannya langsung tertuju pada Gala. Siapa yang tak terenyuh mengetahui hati anaknya terluka? "Ya, i'm okay, Ma." Gala tersenyum lebar meski Dea tahu jika senyum itu teramat palsu, Gala merentangkan kedua tangannya, "mama lihat sendiri kan kalau aku baik-baik aja?""Kamu nggak perlu bohong kalau sama Mama
Gendis baru saja turun dari kamarnya di lantai dua lalu berjalan ke arah ruang makan. Saat tiba di sana matanya seketika menatap nanar ketika melihat seseorang yang paling tak ingin ia temui sudah duduk manis di meja makan dan bercengkrama dengan hangatnya bersama kedua orang tuanya. Ia tak suka dengan pemandangan itu. Suasana hatinya belum juga membaik sekalipun Gendis sudah melakukan berbagai cara tuk sekedar 'healing' atau menyegarkan pikiran. Pokoknya kegiatan semacam menghibur diri. Hari ini Gendis ingin pergi ke Onilicius supaya tak melulu memikirkan pertunangan sialan dan agenda pernikahan yang sudah Fatma susun. Ia tak peduli dengan pernikahan yang jelas saja tak ingin ia lakukan. "Pagi, Dis."Gendis baru saja membalikkan badan. Ia berniat tuk segera berangkat tanpa perlu sesi sarapan di rumah. Toh, ia bisa sarapan di Onilicius atau di perjalanan menuju ke toko kue miliknya. Namun, rupanya Jalu Satria—orang yang amat ia benci malah sudah lebih dulu me
Gendis memegang pipinya yang terasa kebas dengan tangannya. Tatapan wajahnya mengarah ke arah lain sebab tamparan itu begitu keras hingga membuat tulang kepalanya berderak. Sakit? Jelas! Tak perlu dijelaskan betapa terasa panas pipi Gendis saat ini. Akan tetapi semua itu ia abaikan begitu saja. Semua rasa kebas, panas, pun dengan perih di pipinya tak ada artinya dibanding dengan sakit di ulu hati Gendis. Seumur-umur, Gendis tak pernah mendapat perlakuan kasar seperti ini. Tak ada satupun anggota keluarganya yang sering 'bermain tangan'. Lalu sekarang? Fatma menamparnya dengan ringan 'hanya' karena ia menentang tentang pernikahan dengan Jalu. Sungguh ironis. Suasana ruang makan berubah menegang setelah satu tamparan mendarat cantik di pipi Gendis. Semua orang cukup syok dengan perilaku tersebut. Terlebih lagi, Setyo yang notabenenya tahu jika di rumahnya diharamkan adanya kekerasan dalam bentuk apapun.Lidah Setyo bahkan terasa kelu tuk sekedar
"Gaun ini kayaknya cocok buat kamu deh, Babe."Gendis menoleh ke arah sumber suara dimana Jalu sedang memperlihatkan gaun pengantin berwarna pink. Gaun itu sangat cantik dan dipastikan akan kontras dengan kulit Gendis yang putih. Gaun itu juga rancangan desainer terkenal dan sering berseliweran di televisi. Tak ada yang cacat sedikitpun dari gaun tersebut. Apalagi jika dibuat khusus dari tangan Maya Ratri–desainer yang sering dipakai para artis dan istri pejabat. Hanya saja gaun tersebut memiliki potongan dada yang cukup rendah. Satu hal yang perlu diketahui bahwa Gendis tak suka mengumbar tubuhnya pada orang lain. Apa jadinya jika ia memakai gaun tersebut sehingga memperlihatkan dadanya pada semua tamu? Sungguh Gendis tak pernah membayangkan hal itu di kepalanya. Selain itu sesuatu yang tak Gendis sukai dari gaun tersebut adalah warnanya. Meski dirinya seorang perempuan tetapi ia tak cukup menyukai warna pink. Gendis lebih suka warna-warna net
"Bisa nggak kalau permintaan kamu nggak aneh-aneh kayak gitu?"Gendis mengerucutkan bibirnya saat Gala mengatakan jika permintaannya aneh-aneh. Padahal menurutnya permintaannya cukup sederhana. Pergi bersama Gala sepertinya adalah hal lumrah. Tapi Gala malah menyebutnya seolah adalah hal yang tak bisa dikabulkan."Permintaanku itu simpel tahu, Mas," elak Gendis tak mau disalahkan. "Emangnya kamu beneran bisa terima kenyataan kalau aku nikah sama orang lain?"Pertanyaan Gendis begitu sarat akan ancaman. Semua itu bukanlah gertakan Gendis belaka. Nyatanya, perempuan itu memang akan menikah dengan laki-laki lain yang merupakan pilihan ibunya.Gala tahu itu. Lantas Gala bisa apa? Gala memang pernah mendengar pepatah yang mengatakan jika sebelum janur kuning melengkung seseorang masih milik semua orang. Namun, apakah Gala bisa berbuat suatu hal yang menurutnya sangat menyimpang dari prinsipnya.Sekalipun rasa sakit menghujam hatinya, mau tak
"Bukannya kamu tahu semuanya tentang aku bahkan lebih dari diriku sendiri?"Perkataan itu terus saja terngiang di kepala Gendis. Apa yang dikatakan Gala memang tak sepenuhnya salah. Namun, Gendis tak mau termakan oleh pemikiran yang bisa saja salah. Sekalipun Gala masih menunjukkan rasa perhatiannya. Pun dengan panggilan sayang yang Gala berikan untuknya. Semua itu tak serta merta membuat Gendis bisa membumbungkan rasa kepercayaan diri jika Gala.... masih menginginkannya. Dalam hal ini, Gendis ingin jawaban yang konkret. "Aku memang tahu semuanya tentang Mas Gala tapi aku kan nggak selamanya bisa tahu isi hatimu, Mas," kata Gendis setelah sekian lama terdiam. Sejak Gala memberi jawaban yang cukup ambigu, keduanya memang tak terlibat dalam percakapan apapun. 15 menit setelah mereka selesai makan, Gala mengajak Gendis dan mengatakan jika akan mengantar perempuan itu. Selama itu pula Gendis hanya menurut kemauan Gala dan Gala hanya akan berbicara seper
(Hollaaa, maaf banget buat yang udah baca bab sebelumnya dan menemukan banyak kata yang keulang. Tapi udah aku revisi pas ngerasa ada yang aneh sama bab yang aku upload) ***Gala tak menyangka Gendis masih mengingat apa yang ia suka dan apa yang tak ia suka. Rasanya ia seperti dihadapkan pada waktu ketika hubungan mereka masih terasa hangat. Saling memiliki satu sama lain dan terasa membahagiakan. Gala sadar jika Gendis memahami semua tentang dirinya melebihi diri Gala sendiri. "Kamu... gimana kabarnya, Dis?" tanya Gala setelah hanya tinggal mereka berdua. Senyum terkembang di wajah Gendis. Perempuan itu sedikit menundukkan tuk menyembunyikan kesedihannya. "Aku baik, Mas," sahut Gendis menipiskan bibirnya skeptis, "tapi nggak dengan hatiku," lanjutnya dalam hati. Gala mengangguk paham. Suasana saat ini cukup canggung. Gala yang merasa bersalah karena mengajak Gendis yang notabenenya adalah tunangan orang lain dan Gendis yang merasa jika Gala sedikit me
Ada perasaan yang tak bisa Gendis ungkapkan saat ini. Entah mengapa ia merasa gugup. Kedua kakinya seolah tak bisa diam begitu saja ketika ia sedang menunggu seseorang yang mengajaknya bertemu- Manggala Yuda. Gendis merasa seperti abg yang sedang dilanda kasmaran. Terlalu konyol untuk sikap seseorang yang pernah menjalin hubungan selama 5 tahun. Gendis tahu jika pertemuan ini tak sesimpel yang ada dalam bayangan kepalanya. Ini bukanlah sebuah pertemuan ‘kencan’ seperti pasangan pada umumnya. “Kamu udah lama datengnya, Dis?” Gendis mendongak ketika suara berat menyapa indra pendengarannya tuk mendapati Gala-seseorang cyang tengah ia tunggu dan membuatnya merasa gugup berdiri di depannya. Lelaki yang terlihat tampan dengan kemeja maroon yang lengannya digulung sampai siku itu menarik kedua sudut bibirnya ketika mata mereka saling bertemu. Tampan. Satu kata itulah yang seketika terlintas dalam benak Gendis. Ya, hal itu sepertinya sudah tak diragukan lagi. Gala m
Setiap orang tua pasti mau anaknya bahagia. Sekalipun itu bertentangan dengan 'keinginan' sang Anak. Hal itu adalah perasaan yang Dea rasakan. Setelah pertemuan pertama dengan Shiren, ia merasa jika perempuan yang merupakan teman kerja Dana adalah perempuan yang cocok untuk Gala. Shiren adalah perempuan baik, santun, dan cantik. Rasanya tak ada satupun hal yang membuatnya untuk tak menyukai Shiren. "Kamu udah pulang, Mas?" tanya Dea begitu Gala memasuki ruang keluarga di mana saat ini perempuan itu tengah menikmati reality show yang disiarkan salah satu TV swasta. Gala berhenti dan menoleh ke arah sang Mama. Lelaki itu tersenyum seraya mengangguk kecil. "Mama belum tidur?" tanya Gala balik. Ia melirik ke arah jam yang terpajang cantik di dinding dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia cukup tahu kebiasaan mamanya yang selalu tidur jam 9. Untuk itu Gala pun tentu merasa heran saat melihat Dea masih berada di ruang keluarga ketika ia baru saja pula
"Dis, Abang pinjem charger laptop—LAH, kamu nangis?"Januar baru saja masuk ke kamar Gendis tanpa mengetuk pintu terlebih dulu dan tertegun saat mendapati Adiknya sedang duduk sambil memeluk boneka Panda kesayangannya. Januar melihat air mata mengalir di pipi Gendis dan hal itu selalu membuatnya tak suka. Ia memang bukan kakak yang baik karena selalu jahil dengan adiknya. Namun, melihat bagaimana Gendis mengeluarkan air mata tentu bukanlah hal yang ia sukai. Sekalipun mereka sering bertengkar, Januar mau Gendis selalu tersenyum setiap saat. Gendis hanya melirik ke arah Januar yang berdiri di tengah kamarnya. Ia merutuki kebodohannya yang lupa mengunci pintu sehingga siapapun bisa masuk ke kamarnya dan melihat fakta ini. Selain itu, rasanya Gendis juga ingin menjawab pertanyaan Januar dengan suara lantang. "UDAH TAHU NANGIS, MASIH NANYA LAGI!" Mungkin seperti itulah Gendis akan menjawab pertanyaan sang Kakak. Akan tetapi saat ini, ia merasa malas unt
"Aku kemarin ke Onilicius, Mas."Gala tak bisa menahan diri untuk tak menoleh dengan cepat sampai tulang lehernya terdengar berderak. Namun, ia hanya menatap si Pembicara selama satu menit tuk kemudian mengalihkan pandangannya pada jalanan di depannya. Gala sendiri tak tahu harus menanggapi apa dan bagaimana karena jujur saja ia masih selalu ingin tahu dengan segala hal yang berhubungan dengan... Gendis Ayu Paradista. Dengan menyebut Onilicius–yang merupakan juga bagian daripada Gendis, Gala tahu jika ia tak bisa mengabaikan pembicaraan itu begitu saja. Gala berdeham pelan tuk melegakan tenggorokannya. "Oh, ya?"Sebab bingung, pada akhirnya Gala hanya menanggapi dengan dua kata tersebut. Ia pikir tak mungkin jika langsung bertanya pada Shiren mengenai apakah ia bertemu Gendis dan segala sesuatu mengenai gadis itu. Lagipula, Gala juga belum mengerti maksud pembicaraan Shiren yang menurutnya begitu tiba-tiba. Lewat ekor matanya Gala melihat S
Shiren pernah mendengar sebuah pepatah Jawa yang berbunyi Dudu sanak dudu kadang (Meskipun tidak ada ikatan darah, namun terasa sudah seperti bagian dari keluarga). Shiren tak pernah mempercayai hal itu sebab di mana ia akan menemukan 'hal' di dunia ini. Namun, pemikirannya berubah ketika sekarang di sini—di rumah Gala ia merasakan hal tersebut. Rasanya ia ingin menangis mendapati perlakuan keluarga Gala yang baik luar biasa. Ia tamu tapi tak seperti tamu sebab Dea–perempuan yang tak lain adalah Ibu Gala dan Dana memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Shiren tak memungkiri jika hatinya terasa menghangat mendapati perlakuan baik dari Dea. Ia pun bisa merasakan jika Dea memang benar-benar tulus terhadapnya. "Lauknya dipakai dong, Ren," kata Dea lembut. Shiren sedikit membersit hidungnya mendapat perhatian tersebut. Ia sedikit mendongak agar genangan di pelupuk matanya tak tumpah seketika. Kedua sudut bibir Shiren melengkung membentuk sebuah senyuman, "
Gala menghentikan langkahnya setelah mendengar satu nama yang disebut Mamanya. Dalam diam, ia seolah ingin mengulang waktu beberapa menit yang lalu tuk memastikan jika telinganya benar-benar tak salah mendengar. "Oh, iya, Gal. Tolong nanti ajak Dana dan Shiren sekalian ya."Itulah ucapan Dea yang mencatutkan satu nama. Shiren. Apa perempuan itu ada di rumahnya saat ini? pikir Gala. Untuk apa? Gala berbalik dengan alis terangkat sempurna, "Shiren, Ma?"Dea yang tak sadar jika Gala masih berada di sana (dengan rasa penasaran yang tinggi) mendongak. Tak ragu, perempuan itu mengangguk sebagai jawaban. "Iya, dia ada di kamar Dana sekarang.""Oh, pantas," gumam Gala hanya dalam hati. Saat ia masuk ke rumahnya, Gala tak menemukan satupun orang atau adanya tamu di rumahnya. Ia hanya menemukan Dea yang sedang mengatur hidangan yang kemudian di bawa ke meja makan. "Oke, Ma." Gala merujuk pada perintah Dea tuk memanggil Dana dan Shiren bersam