"Mas temenin aku nyari kado, yuk!"Gala mendongak ke arah pintu ruangannya dimana Cendana baru saja masuk (tentu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dulu) dan berjalan dengan santainya. Gala masih menatap Dana yang langsung duduk dan merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang kerjanya. Dana terlihat tak peduli dengan tatapan sang Kakak yang begitu lekat. Ia bahkan tak merasa bersalah sedikit pun dengan apa yang saat ini ia lakukan. Tak habis pikir dengan kelakuan Dana. Padahal ini di kantor Gala bukan di rumah. Namun, perempuan itu selalu saja tak bisa memilah situasi dan kondisi sekitarnya. "Kamu kalau ke sini cuma mau bikin rusuh mending pulang sana deh, Na!" ujar Gala gemas. Sampai kapan Dana bisa menjadi perempuan yang penurut sih? gumamnya. Gala kembali memeriksa pekerjaannya yang sempat terdistraksi karena kedatangan Gala. Ia tak mau membuang waktunya begitu saja. Apalagi untuk meladeni Dana yang pastinya bisa mengurus dirinya sendiri. Sambil m
"Oh, aku inget kalau belum makan. Pantes aja pusing." Dana dengan polosnya memberitahu jika dirinya pusing karena belum sempat makan. "Astaga, Na." Dana menarik kedua sudut bibirnya. Menampilkan deretan giginya yang putih. "Makan dulu yuk, Mas, kalau gitu," usul Dana yang tentu saja mendapat penolakan dari Gala. Waktunya sudah terbuang percuma. Itulah yang ada di pikiran Gala saat ini. "Nggak! Kamu cepetan aja beli kadonya. Setelah itu kita pulang dan kamu bisa makan di rumah," tukas Gala sarkas. Bibir Dana cemberut. Ia memutar otak supaya sang Kakak mau diajak makan lebih dulu. "Mas Gala tega biarin aku kelaparan? Kalau aku pingsan yang repot juga Mas Gala sendiri lho nanti."Gala mendengkus pelan. Kenapa juga ucapan Dana harus bener sih, gumamnya. "Ya, udah. Ayo." Gala akhirnya mengalah, "Tapi nggak pakai lama.""Siap, Boskyu."Dana menarik tangan Gala tuk memasuki En Dining–restoran Jepang yang merupakan restoran favorit mereka.
"Jadi, kamu satu kantor sama Dana ya?" tanya Gala sambil menggulung ramennya dengan sumpit lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Shiren, perempuan yang siang ini dijadikan 'tumbal' oleh Dana mengangguk pelan. Pertemuan dadakan ini ternyata tak seburuk yang Gala bayangkan. Sampai saat ini ia maupun Shiren terlihat nyaman-nyaman saja bercerita ngalor-ngidul dengan pembahasan yang random tentunya. Shiren adalah perempuan yang humble, mudah bergaul, dan ramah. Perempuan itu sangat mudah membaur dan juga nyambung ketika diajak berbicara. Itulah yang membuat Gala maupun Shiren mudah akrab satu sama lain. Shiren mengusap bibirnya dengan tisu sebelum berkata, "Iya, bedanya aku kerjanya outdoor."Kening Gala berkerut ketika mendengar penuturan dari Shiren. Lelaki itu hendak bertanya tetapi Shiren yang sepertinya tahu jika Gala kebingungan pun lebih dulu membuka suaranya. "Iya, aku tugasnya ngeliput berita. Nyari topik di luar kantor yang nantinya bisa dipublish Kalayak,"
"Hari ini aku udah izin sama Tante Fatma mau ajak kamu jalan-jalan."Gendis menoleh dengan cepat hingga tulang lehernya terdengar berderak ketika Jalu lagi-lagi membuatnya ingin mengumpat. Ia sudah lelah diatur bakal boneka oleh Fatma. Semuanya sudah diatur oleh Fatma. Pertunangan (dadakannya), fitting baju pengantin, bahkan sekarang ia juga 'diatur' untuk pergi bersama Jalu. Dan hal itu membuat Gendis merasa lelah. Jujur, Gendis ingin sekali hidup tanpa adanya aturan. Ia juga ingin merasa kebebasan. Padahal di negara ini sendiri pemerintah mencanangkan kebebasan berpendapat. Namun, mengapa di rumahnya sendiri Gendis harus disetir bahkan seperti kegiatan apa yang harus ia lakukan. Sementara itu, Jalu dengan santainya tetap mengemudikan mobilnya membelah jalanan ibukota yang selalu padat setiap harinya. "Aku capek. Pengin pulang aja." "Tante Fatma udah—""Ini hidupku jadi stop apa-apa harus bilang mama," pungkas Gendis yang geram Jalu masih memba
"Maaf ya, Ren?"Shiren yang sedang menikmati pemandangan jalanan lewat jendela mobil Gala menoleh ke arah Gala yang fokus dengan kemudinya. Kedua alisnya menyatu mengingat kata maaf yang lelaki itu ucapkan. Seingatnya Gala tak melakukan sesuatu. Lantas untuk apa lelaki itu meminta maaf? Shiren yang tak bisa menebak jawaban dari pertanyaan dalam benaknya tentu saja bertanya pada Gala. "Maaf? Untuk?"Shiren masih menatap lekat Gala yang semakin terlihat tampan ketika sedang fokus seperti saat ini. Sungguh, ia ingin sekali membuang jauh-jauh segala pikirannya tersebut. Namun, entah mengapa ia tak bisa. Gala terlalu sulit untuk diabaikan begitu saja. Shiren berjanji dalam hati untuk meminta pertanggungjawaban pada Dana jika akal sehatnya dipenuhi oleh sosok kakaknya. "Maaf karena udah melibatkan kamu dalam masalahku," kata Gala tulus. Gala tak bermaksud untuk menjadikan Shiren sebagai 'tameng'. Apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka. Sayan
"Kamu tahu Onilicius nggak, Ren?"Kening Shiren mengkerut. Ia mencoba mengingat-ingat lagi clue yang diberikan Andi–atasannya tersebut. Ia memang tak begitu hafal nama tempat yang ada di Jakarta karena menurutnya "buat apa punya G*ogle kalau nggak dipakai buat nanya". Namun, bukan berarti ia juga buta akan informasi apapun. "Onilicius?" cicit Shiren yang mendapat anggukan dari Pak Andi, "toko kue yang KATANYA selalu ramai itu, Pak?" lanjutnya dengan menekankan kata 'katanya'. Shiren pernah mendengar jika ada toko kue yang ramai dan akhir-akhir ini menjadi perbincangan orang-orang di kantor Indo Warta. Shiren sendiri juga belum pernah menyambangi tempat tersebut dan hanya mendengar seringan kabar atau membaca kabar dari berita online. Ia tak tahu mengapa toko kue itu selalu ramai. Apakah harganya yang murah, kuenya yang enak, tempatnya yang nyaman dan instagramable, atau Onilicius memiliki semua hal tersebut sehingga menjadikan toko itu diserbu pembeli. "Iy
Tak ada yang tahu bagaimana takdir seseorang. Pun dengan hal apa yang akan kita temui satu jam atau bahkan lima menit kemudian. Semua adalah misteri. Sama halnya dengan apa yang terjadi pada Gendis saat ini. Ia tak menyangka jika harus bertemu dengan seseorang yang (sebenarnya) tak ingin ia temui. Jika saja ia tahu bahwasanya Shiren adalah wartawan Indo Warta yang ingin mewawancarainya, Gendis pasti akan menolak tanpa berpikir terlebih dulu. Sayangnya, kali ini ia tak bisa mengelak bagaimana takdir mempermainkannya sedemikian rupa. "Jadi, kamu owner Onilicius?" tanya Shiren antusias. Suara Shiren yang nyaring menarik perhatian Gendis. Perempuan itu menerbitkan senyum tipis. Sekalipun dalam hati, ia merasa kesal. Namun, Gendis mencoba untuk bersikap profesional. Apa tanggapan Shiren jika Gendis menolak atau bersikap apatis terhadapnya? Tentu saja perempuan itu akan merasa 'menang' sebab merasa bisa merajai hati Gala.Picik. Gendis memang picik k
Pintu ruangan terbuka kencang hingga membuat seseorang yang berada di dalamnya tersentak kaget. "Astaga, kamu mau jebolin pintu ruangan kamu, hm?" omel Alina saat tahu jika dalang dari 'keributan' adalah Gendis. Seseorang yang notabenenya adalah pemilik ruangan serta toko kue. Selain itu Gendis juga menyandang status sebagai sahabatnya. Tak menghiraukan ucapan Alina, lagi-lagi kelakuan Gendis membuat kening Alina berkerut seketika. Setelah membuka pintu dengan keras sekarang perempuan itu menjatuhkan tubuhnya di sofa ruangannya hingga menimbulkan suara gaduh. Alina bahkan bisa melihat bagaimana sofa yang diduduki Gendis memantul saking kerasnya tekanan akibat dari pergerakan sahabatnya. "Kamu kesambet apaan sih, Dis? Perasaan tadi nggak kayak gini?" tanya Alina, "kesambet setan alas lo? By the way, itu sofa kalau bisa ngomong bakal ngeluh kesakitan deh."Alina merasa geram dengan kelakuan Gendis. Padahal beberapa saat yang lalu Gendis masih bersikap biasa saja
"Bisa nggak kalau permintaan kamu nggak aneh-aneh kayak gitu?"Gendis mengerucutkan bibirnya saat Gala mengatakan jika permintaannya aneh-aneh. Padahal menurutnya permintaannya cukup sederhana. Pergi bersama Gala sepertinya adalah hal lumrah. Tapi Gala malah menyebutnya seolah adalah hal yang tak bisa dikabulkan."Permintaanku itu simpel tahu, Mas," elak Gendis tak mau disalahkan. "Emangnya kamu beneran bisa terima kenyataan kalau aku nikah sama orang lain?"Pertanyaan Gendis begitu sarat akan ancaman. Semua itu bukanlah gertakan Gendis belaka. Nyatanya, perempuan itu memang akan menikah dengan laki-laki lain yang merupakan pilihan ibunya.Gala tahu itu. Lantas Gala bisa apa? Gala memang pernah mendengar pepatah yang mengatakan jika sebelum janur kuning melengkung seseorang masih milik semua orang. Namun, apakah Gala bisa berbuat suatu hal yang menurutnya sangat menyimpang dari prinsipnya.Sekalipun rasa sakit menghujam hatinya, mau tak
"Bukannya kamu tahu semuanya tentang aku bahkan lebih dari diriku sendiri?"Perkataan itu terus saja terngiang di kepala Gendis. Apa yang dikatakan Gala memang tak sepenuhnya salah. Namun, Gendis tak mau termakan oleh pemikiran yang bisa saja salah. Sekalipun Gala masih menunjukkan rasa perhatiannya. Pun dengan panggilan sayang yang Gala berikan untuknya. Semua itu tak serta merta membuat Gendis bisa membumbungkan rasa kepercayaan diri jika Gala.... masih menginginkannya. Dalam hal ini, Gendis ingin jawaban yang konkret. "Aku memang tahu semuanya tentang Mas Gala tapi aku kan nggak selamanya bisa tahu isi hatimu, Mas," kata Gendis setelah sekian lama terdiam. Sejak Gala memberi jawaban yang cukup ambigu, keduanya memang tak terlibat dalam percakapan apapun. 15 menit setelah mereka selesai makan, Gala mengajak Gendis dan mengatakan jika akan mengantar perempuan itu. Selama itu pula Gendis hanya menurut kemauan Gala dan Gala hanya akan berbicara seper
(Hollaaa, maaf banget buat yang udah baca bab sebelumnya dan menemukan banyak kata yang keulang. Tapi udah aku revisi pas ngerasa ada yang aneh sama bab yang aku upload) ***Gala tak menyangka Gendis masih mengingat apa yang ia suka dan apa yang tak ia suka. Rasanya ia seperti dihadapkan pada waktu ketika hubungan mereka masih terasa hangat. Saling memiliki satu sama lain dan terasa membahagiakan. Gala sadar jika Gendis memahami semua tentang dirinya melebihi diri Gala sendiri. "Kamu... gimana kabarnya, Dis?" tanya Gala setelah hanya tinggal mereka berdua. Senyum terkembang di wajah Gendis. Perempuan itu sedikit menundukkan tuk menyembunyikan kesedihannya. "Aku baik, Mas," sahut Gendis menipiskan bibirnya skeptis, "tapi nggak dengan hatiku," lanjutnya dalam hati. Gala mengangguk paham. Suasana saat ini cukup canggung. Gala yang merasa bersalah karena mengajak Gendis yang notabenenya adalah tunangan orang lain dan Gendis yang merasa jika Gala sedikit me
Ada perasaan yang tak bisa Gendis ungkapkan saat ini. Entah mengapa ia merasa gugup. Kedua kakinya seolah tak bisa diam begitu saja ketika ia sedang menunggu seseorang yang mengajaknya bertemu- Manggala Yuda. Gendis merasa seperti abg yang sedang dilanda kasmaran. Terlalu konyol untuk sikap seseorang yang pernah menjalin hubungan selama 5 tahun. Gendis tahu jika pertemuan ini tak sesimpel yang ada dalam bayangan kepalanya. Ini bukanlah sebuah pertemuan ‘kencan’ seperti pasangan pada umumnya. “Kamu udah lama datengnya, Dis?” Gendis mendongak ketika suara berat menyapa indra pendengarannya tuk mendapati Gala-seseorang cyang tengah ia tunggu dan membuatnya merasa gugup berdiri di depannya. Lelaki yang terlihat tampan dengan kemeja maroon yang lengannya digulung sampai siku itu menarik kedua sudut bibirnya ketika mata mereka saling bertemu. Tampan. Satu kata itulah yang seketika terlintas dalam benak Gendis. Ya, hal itu sepertinya sudah tak diragukan lagi. Gala m
Setiap orang tua pasti mau anaknya bahagia. Sekalipun itu bertentangan dengan 'keinginan' sang Anak. Hal itu adalah perasaan yang Dea rasakan. Setelah pertemuan pertama dengan Shiren, ia merasa jika perempuan yang merupakan teman kerja Dana adalah perempuan yang cocok untuk Gala. Shiren adalah perempuan baik, santun, dan cantik. Rasanya tak ada satupun hal yang membuatnya untuk tak menyukai Shiren. "Kamu udah pulang, Mas?" tanya Dea begitu Gala memasuki ruang keluarga di mana saat ini perempuan itu tengah menikmati reality show yang disiarkan salah satu TV swasta. Gala berhenti dan menoleh ke arah sang Mama. Lelaki itu tersenyum seraya mengangguk kecil. "Mama belum tidur?" tanya Gala balik. Ia melirik ke arah jam yang terpajang cantik di dinding dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia cukup tahu kebiasaan mamanya yang selalu tidur jam 9. Untuk itu Gala pun tentu merasa heran saat melihat Dea masih berada di ruang keluarga ketika ia baru saja pula
"Dis, Abang pinjem charger laptop—LAH, kamu nangis?"Januar baru saja masuk ke kamar Gendis tanpa mengetuk pintu terlebih dulu dan tertegun saat mendapati Adiknya sedang duduk sambil memeluk boneka Panda kesayangannya. Januar melihat air mata mengalir di pipi Gendis dan hal itu selalu membuatnya tak suka. Ia memang bukan kakak yang baik karena selalu jahil dengan adiknya. Namun, melihat bagaimana Gendis mengeluarkan air mata tentu bukanlah hal yang ia sukai. Sekalipun mereka sering bertengkar, Januar mau Gendis selalu tersenyum setiap saat. Gendis hanya melirik ke arah Januar yang berdiri di tengah kamarnya. Ia merutuki kebodohannya yang lupa mengunci pintu sehingga siapapun bisa masuk ke kamarnya dan melihat fakta ini. Selain itu, rasanya Gendis juga ingin menjawab pertanyaan Januar dengan suara lantang. "UDAH TAHU NANGIS, MASIH NANYA LAGI!" Mungkin seperti itulah Gendis akan menjawab pertanyaan sang Kakak. Akan tetapi saat ini, ia merasa malas unt
"Aku kemarin ke Onilicius, Mas."Gala tak bisa menahan diri untuk tak menoleh dengan cepat sampai tulang lehernya terdengar berderak. Namun, ia hanya menatap si Pembicara selama satu menit tuk kemudian mengalihkan pandangannya pada jalanan di depannya. Gala sendiri tak tahu harus menanggapi apa dan bagaimana karena jujur saja ia masih selalu ingin tahu dengan segala hal yang berhubungan dengan... Gendis Ayu Paradista. Dengan menyebut Onilicius–yang merupakan juga bagian daripada Gendis, Gala tahu jika ia tak bisa mengabaikan pembicaraan itu begitu saja. Gala berdeham pelan tuk melegakan tenggorokannya. "Oh, ya?"Sebab bingung, pada akhirnya Gala hanya menanggapi dengan dua kata tersebut. Ia pikir tak mungkin jika langsung bertanya pada Shiren mengenai apakah ia bertemu Gendis dan segala sesuatu mengenai gadis itu. Lagipula, Gala juga belum mengerti maksud pembicaraan Shiren yang menurutnya begitu tiba-tiba. Lewat ekor matanya Gala melihat S
Shiren pernah mendengar sebuah pepatah Jawa yang berbunyi Dudu sanak dudu kadang (Meskipun tidak ada ikatan darah, namun terasa sudah seperti bagian dari keluarga). Shiren tak pernah mempercayai hal itu sebab di mana ia akan menemukan 'hal' di dunia ini. Namun, pemikirannya berubah ketika sekarang di sini—di rumah Gala ia merasakan hal tersebut. Rasanya ia ingin menangis mendapati perlakuan keluarga Gala yang baik luar biasa. Ia tamu tapi tak seperti tamu sebab Dea–perempuan yang tak lain adalah Ibu Gala dan Dana memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Shiren tak memungkiri jika hatinya terasa menghangat mendapati perlakuan baik dari Dea. Ia pun bisa merasakan jika Dea memang benar-benar tulus terhadapnya. "Lauknya dipakai dong, Ren," kata Dea lembut. Shiren sedikit membersit hidungnya mendapat perhatian tersebut. Ia sedikit mendongak agar genangan di pelupuk matanya tak tumpah seketika. Kedua sudut bibir Shiren melengkung membentuk sebuah senyuman, "
Gala menghentikan langkahnya setelah mendengar satu nama yang disebut Mamanya. Dalam diam, ia seolah ingin mengulang waktu beberapa menit yang lalu tuk memastikan jika telinganya benar-benar tak salah mendengar. "Oh, iya, Gal. Tolong nanti ajak Dana dan Shiren sekalian ya."Itulah ucapan Dea yang mencatutkan satu nama. Shiren. Apa perempuan itu ada di rumahnya saat ini? pikir Gala. Untuk apa? Gala berbalik dengan alis terangkat sempurna, "Shiren, Ma?"Dea yang tak sadar jika Gala masih berada di sana (dengan rasa penasaran yang tinggi) mendongak. Tak ragu, perempuan itu mengangguk sebagai jawaban. "Iya, dia ada di kamar Dana sekarang.""Oh, pantas," gumam Gala hanya dalam hati. Saat ia masuk ke rumahnya, Gala tak menemukan satupun orang atau adanya tamu di rumahnya. Ia hanya menemukan Dea yang sedang mengatur hidangan yang kemudian di bawa ke meja makan. "Oke, Ma." Gala merujuk pada perintah Dea tuk memanggil Dana dan Shiren bersam