Satu bulan kemudian."Maaf, Kak. Mar baru bisa datang. Kakak sehat?"Maryam datang ke rumah kontrakan Ahmad yang baru setelah perceraiannya. Maryam baru berani datang setelah mendapat persetujuan dari kakaknya itu.Rumah kontrakan kecil, lebih mirip disebut paviliun dengan satu kamar tidur, kamar mandi dan dapur. Lebih kecil dari kontrakan Maryam dulu."Sehat. Maaf, kakak cuma punya ini." Ucap Ahmad sambil meletakkan dua cangkir teh."Mar udah biasa dengan yang begini. Kakak lupa?" Sahut Maryam santai. Dua anak dan suaminya sedang berkeliling mencari oleh-oleh untuk Ahmad dan Novi.Mereka saling diam beberapa saat. Seolah sama-sama canggung harus memulai dengan kalimat apa. Padahal mereka saudara dan sudah biasa bertukar kata."Apa keluarga kita dikutuk, Mar?" Kata Ahmad kemudian. Maryam mengangkat alisnya tak mengerti."Kenapa semuanya jadi hancur begini. Aku juga bercerai, dikhianati sama istri, Ridwan.. Oh, kamu udah dengar kabar? Ridwan diseret ke penjara karena perjudiannya. Akhi
Siang itu menjadi siang terhangat bagi Maryam. Makan bersama meski tanpa personil lengkap, namun kedekatan mereka membuat hati Maryam sedikit terobati.Makan siang dengan makanan sunda bersama orang-orang terkasih, kakaknya, keponakannya, suaminya dan kedua anaknya.Juga bersama calon bayinya dan Rama.Maryam sudah menggunakan testpack sebanyak lima kali untuk memastikan bahwa dia benar-benar hamil."Kamu hamil.. Aku mau punya bayi." Air mata Rama menetes tanpa komando.Betapa bahagianya Rama mendapati hasil itu semuanya bergaris dua. Tangis haru sambil terus menatapi alat kecil itu di depan kamar mandi. Maryam sampai mendelik malu karena tak terbiasa dengan reaksi seperti itu di tempat umum.Ahmad dan lainnya malah justru tertawa. Mentertawai tingkah Rama yang ternyata sangat cengeng.Ahmad sampai menepuk-nepuk bahu Rama menenangkan."Kok papa nangis?""Papa seneng karena mau punya adik bayi, senengnya sampai nangis." Sahut Ahmad menjawab kepolosan Fatih."Emang boleh?""Ya boleh. Ke
"Perutku sakit, Mas.." Maryam merintih dan mencengkeram lengan suaminya. Perutnya sebentar-sebentar mengencang sebentar hilang lagi. Ia sudah mulai merasakan kontraksi palsu. "Mules? Sakit? Hpl-nya kata dokter masih dua-tiga minggu lagi ,kan? Apa kita ke rumah sakit aja? Mas takut kenapa-kenapa." Maryam meringis, sebuah tendangan yang dilakukan oleh sang bayi tepat di bawah diafragmanya membuat nafasnya sesak sejenak. Ia menghirup udara sedalam-dalamnya dan menghembuskannya dengan cepat lalu menghirup lagi. Maryam terus melakukan itu sampai rasa sakit itu menghilang. Cengkeraman tangannya di lengan sang suami pun ikut mengendur. "Tunggu aja deh, mulesnya masih hilang timbul. Ini mungkin cuma kontraksi palsu." Jawab Maryam. Tangannya mengusap perutnya yang menyembul sana sini karena tendangan si bayi. "Aktif banget dia." "Apa itu? Mana ada palsu-palsuan. Kita ke rumah sakit aja sekarang." Rama tak percaya dengan kata-kata Maryam. 'kok ada kontraksi palsu pada ibu yang hampir melah
Kegaduhan siang itu di akhiri gerutuan tak henti-hentinya dari Rama sendiri. Efek dari kekhawatiran yang berlebihan pada istrinya yang sedari pagi sudah merasakan sakit membuatnya tak berpikir jernih.Pada akhirnya kucing-kucing kecil itulah yang mendapatkan penanganan dokter terlebih dulu. Lima kucing kecil yang mengeong rendah itu telah dipindahkan ke tempat baru bersama indukannya. Sudah dibersihkan oleh dokter dan sedang menyusu pada induknya.Rama menghela napas lega kendati kakinya masih lemas.Maryam hanya meringis, sesekali mendesis sambil memijat kaki suaminya, membujuk meminta maaf dan semua hal ia lakukan agar suaminya tak merasa kesal padanya lagi."Maafin Mar, Mas. Tadi panik banget. Mana ngerti Mar soal kucing lahiran begitu. Mbak Ela juga. Mana anak-anak kucingnya hampir kegencet-gencet induknya. Aduh.. Nggak tega pokoknya." Maryam merasa bersalah karena membuat suaminya jadi panik sampai lemas begitu."Lain kali ngomongnya yang jelas.""Lain kali juga dengerin sampai s
Keberadaan bayi kecil itu bak anugerah untuk Ines. Ia dan Icha menjadi sering berkunjung ke rumah Maryam dan Rama. Atau, mereka akan memaksa bayi itu ditinggalkan di rumah mereka saat sabtu dan minggu.Mahesa kecil menjadi rebutan semua anggota keluarga Alkatiri. Cucu laki-laki pertama dalam keluarga itu mendadak menjadi pusat perhatian semua orang.Seperti saat ini, mereka tengah berkumpul di rumah keluarga Alkatiri. Mahesa telah puluhan kali berpindah tangan. Semuanya dibagi rata, termasuk Salma dan Fatih yang juga ingin berlatih menggendong adiknya yang baru berusia dua bulan itu."Kalau kamu kerja, Mahesa biar di sini aja. Banyak yang jagain, Mar." Pinta Bu Andini pada Maryam.Minggu depan, Maryam sudah akan kembali masuk kerja. Ia telah banyak meninggalkan pekerjaannya. Lancang sekali rasanya kalau terus-menerus meminta tolong pada papi mertuanya meski beliau masih pemilik sah perusahaan tersebut.Itu juga setelah merayu dan banyak berdebat dengan Rama. Suaminya masih menginginka
Sampai hari ini, Maryam merasa hari dimana ia melahirkan anak-anaknya adalah momen paling membahagiakannya. Entah itu dalam keadaan susah maupun suka.Dadanya melambung penuh kata syukur ketika ia berhasil dikaruniai seorang anak lagi dan lagi. Dan kali itu, Mahesa adalah momen terbahagianya sebab ia dibersamai oleh keluarga. Meski tetap tak lengkap tanpa kedua orang tua kandungnya.Ah.. Sudah lama sekali rasanya Maryam tak mengunjungi kedua orang tuanya. Ia harus mengabarkan bahwa cucu mereka bertambah.Ia harus mengabarkan bahwa dirinya telah berbahagia dengan keluarga baru yang sangat amat menyayangi dan menghormatinya."Sudah siap?" Rama mencium puncak kepala Maryam yang sedang duduk di depan meja rias.Maryam tersenyum lebar dan mengangguk.Senyuman itu menular pada suaminya. Rama mengambil tangan Maryam dan menuntunnya ke ranjang. Bukankah waktunya sudah tiba?Sudah waktunya Rama berbuka puasa setelah dua bulan lebih ia menahan diri dan hasratnya. Menimang-nimang juniornya agar
"Selamat datang kembali di kantor Bu Maryam." Sapa Agna berdiri dari duduknya menyambut pimpinannya yang telah kembali ke kantor setelah cuti melahirkan. Agna sempat takjub dengan penampilan Maryam yang masih elegan meski bahkan setelah melahirkan. Karena, ia sempat berpikir bahwa hamil dan melahirkan itu sangat amat menakutkan karena bentuk tubuh yang menjadi tidak karuan. Oh, sebagai informasi, Agna masih single. Perawan kinyis-kinyis. Penampilan Maryam pagi itu sangat sederhana tapi tetap elegan. Celana jeans biru tua dan atasan garis-garis yang berwarna senada, serta handbag yang lebih mirip clutch membuat kesan minimalis dan santai. "Terima kasih, Agna. Walaupun di rumah saya tetap memantau kinerjamu, lho." Canda Maryam dengan lirikan. Agna meringis. "Saya pastikan tidak ada yang mengecewakan, Ibu." Jawab Agna percaya diri. "Itu maksud saya. Berapa buyer baru yang masuk? Saya minta laporan kerja tiga bulan terakhir, ya. Saya tunggu di meja saya. Oh, sekalian dengan daftar b
Ines berjalan terburu-buru memasuki kantor orang tuanya yang sekarang sedang dijalankan oleh iparnya. Maryam.Untuk alasan yang klise, Ines ingin ditemani ke butik yang kali ini memilih harus Maryam lah yang menemani.Kemarin lusa, ia mendapat undangan reuni kampus.tak biasanya pihak kampus dan teman-teman jurusannya mengadakan hal-hal seperti itu. Ines mendapat undangan khusus dari mantan dekannya dulu.Ada apa ini?Ines berjalan tergesa ditambah memandang ponsel di tangannya hingga tak memperhatikan bahwa ada sebuah sofa tamu di lobi yang menanti ditubruk olehnya.Ines terperanjat saat sebuah tangan besar menelusup lengannya dan menariknya hingga ia hampir terjerembab. Untung saja reflek tangannya sangat bagus sehingga ponsel di tangannya itu tak terpeleset jatuh.Bisa semakin runyam urusan. Walau ia bisa dengan mudah membeli yang baru."Urusan se-mendesak apapun jangan sampai melenakan dari kehati-hatian. Kasihan sofa itu kalau tadi sempat tertabrak."Ines membelalak. "Apa?!""Hat
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar
"Belum ada kabar lagi dari Pak Khalid, Teh?" Tanya Maryam yang sengaja berhenti di meja Teh Arum pagi itu."Belum, Bu. Nomor Pak Khalid tidak aktif sejak seminggu yang lalu."Sudah lewat dua minggu sejak pertemuan mereka membahas kerja sama itu. Tapi Khalid seolah raib begitu saja.Tak ada kabar. Arum pun tak bisa menghubungi siapapun entah sekretarisnya atau kantor Khalid. Sebab Khalid lah yang menghubungi mereka secara langsung menggunakan nomor pribadinya pertama kali.Sesuatu terasa janggal. Apa sebenarnya Khalid memiliki maksud lain?Tapi obrolan mereka dua minggu yang lalu biasa saja. Obrolan layaknya bisnis lainnya. Tidak ada yang mencurigakan.Kecuali satu. Sebutan unik yang dilontarkan Khalid untuk Mbak Ines.Astaga."Aneh.." Gumamnya.Pikiran Maryam terbang ke beberapa hari yang lalu saat ia berkunjung ke rumah oma dan opa anak-anaknya.Bu Andini sempat menyinggung bahwa Ines uring-uringan sejak pulang dari acara reuni kampusnya itu.Tidak jelas apa yang ia kesalkan tapi kat
Malam di kediaman keluarga Rama. Icha berada di sana, dititipkan oleh mamanya karena ia akan memenuhi undangan reuni itu.Icha memilih berada di rumah om dan tantenya karena lebih rame. Juga bisa bermain dengan Mahesa. Dari pada di rumah oma-nya. Bisa-bisa ia mati kutu. Kata Icha.Jadilah malam itu ia menginao di sana. Rama tak tinggal diam. Ejekan demi ejekan ia lontarkan pada kakaknya itu.Seumur-umur ia tak pernah melihat kakaknya keluar rumah untuk acara-acara semacam itu. Kecuali benar-benar resmi.Rama mengernyit. "Nggak biasanya ikut-ikutan acara begituan. Famgat (family gathering) kantor aja dia sering mangkir." Ejek Rama yang ia utarakan pada Maryam.Ia sedang duduk berdua di kursi ruang makan hanya bersama istrinya, sambil mengawasi anak-anak bermain di depan televisi ruang keluarga."Sewaktu ke butik itu dia juga terus uring-uringan. Katanya Mbak Ines dapet undangan khusus untuk acara itu. Jadi ngerasa nggak enak kalau nggak dateng." Sahut Maryam."Memangnya siapa ngundang?
Ines bergidik karena sapaan yang kedengarannya sangat biasa itu.Tapi karena ekspresi si laki-laki itulah Ines merasa jijik. Ganteng, sih. Tapi...Tampang si laki-laki itu sudah di usia sangat matang. Ines berani menebak kalau usianya pasti di atas empat puluhan. Mustahil kalau laki-laki itu belum menikah.Atau, dia memang tipe laki-laki genit yang suka tebar pesona dengan caranya yang sok cuek seperti tadi?Ines menegakkan duduknya lantas menggeleng menyapu pikirannya soal si laki-laki itu. Ngapain pula dia memikirkan orang asing?"Kasihan yang jadi istrinya. Suaminya genit begitu." Gumamnya lirih seraya melirik singkat punggung laki-laki yang sekarang sudah menghilang di balik elevator."Mbak Ines.. Ngelihatin apa?" Sapa Maryam dari belakang Ines.Ines terperanjat. Seperti seseorang yang ketahuan diam-diam memata-matai, Ines salah tingkah."Eh? Udah selesai?" Lontarnya."Nunggu lama, ya? Maaf, Mbak. Jadi, kan? Udah makan?" "Jadi.. jadi. Mm, Mar?""Ya?""Tamu tadi, aku dengar mau ke