Seandainya aku bisa memutar waktu dan merubah jalan ceritaku, apakah aku akan tetap bertemu denganmu? Dan duduk bersandingan serta memelukmu seperti saat ini?Sejujurnya, aku malu kamu tau tentang masa laluku. ~~~~~"Kamu hebat, Maryam.. Kamu hebat. Itulah kenapa Mas jatuh cinta sama Maryam." Bisik Rama kemudian mengecup sekali puncak kepala Maryam.Rama melepas pelukannya tapi masih menangkup pipi Maryam, mengusapnya lembut menghapus jejak-jejak air mata itu."Terima kasih udah cerita sama Mas meski sulit. Mas janji Mas akan selalu sayang sama kalian, selalu menjaga kalian semampu Mas.. Mau, ya, nikah sama aku?""Apa Mbak Ines nggak apa-apa? Aku udah ngerasain beda sejak datang ke rumah Mas waktu itu. Respon orang tua Mas juga terlalu ramah yang justru malah membebaniku. Semuanya rasanya aneh." Akhirnya Maryam memberanikan diri mengungkapkan keresahannya."Nggak ada yang aneh. Mas memang sudah jauh-jauh hari cerita soal kamu, Salma dan Fatih sebelum memutuskan membawamu menemui bel
Padahal janjinya mereka hanya akan sebentar, tapi nyatanya menghabiskan 4 jam duduk bersama. Bercerita, bertukar pandangan, berdebat dan bergurau. Maryam terhanyut oleh cara Rama berbicara padanya dan bercanda. Maryam selalu menyukai cara Rama memandangnya meski Maryam tak pernah kuat lama-lama bertukar pandang dengan laki-laki itu. Maryam dan Rama kembali ke kamar mereka saat jam menunjukkan pukul 23.00. Pelan-pelan Maryam memasuki kamar agar tak membangunkan Salma dan Fatih. Sunyi. Karena kedua anak itu masih bergelung di bawah selimut tebal. Matanya benar-benar terpejam rapat. Mereka masih nyenyak. Maryam menghela lega, menoleh ke belakang memberitahu Rama bahwa mereka masih nyenyak. "Mas bawa Fatih lagi, ya.." Usul Rama lalu berjalan ke arah Fatih. Fatih tidur dengan selimut tertutup sampai hidungnya, meringkuk memeluk bantal. Nyaman sekali. "Nggak usah, Mas. Biar di sini aja, kita bertiga." Cegah Maryam. "Mas takut mereka terjatuh karena sempit." "Kasur kami di rumah bahk
Ridwan kembali ke rumah Rina dengan raut kesal serta menggerutu sepanjang jalan. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Maryam begitu banyak berubah. Sebab Rina tak mengatakannya.Ya. Rina, istri Ahmad yang tak lain adalah iparnya adalah yang mengajak kongkalikong itu untuk meminta uang pada Maryam.Di teras rumah, Rina telah menunggu dengan antusias. Tapi rautnya ikut berubah ketika melihat Ridwan menggerutu dengan wajah ditekuk."Gimana? Kamu berhasil? Tapi dilihat dari mukamu ini, aku yakin pasti gagal. Payah. Kamu bilang apa pada Maryam? Modal? Memang nggak belajar dari masa lalu apa? Benar-benar payah." Dengus Rina di hadapan Ridwan.Mereka tampak begitu dekat. Untuk hubungan antar ipar, mereka terlalu dekat dan membuat risih."Maryam udah berubah. Bukan Maryam yang polos yang bisa dikibuli seperti dulu lagi." Ridwan membela diri. Ridwan pun sama anehnya. Seolah tunduk pada Rina yang notabene hanya saudara iparnya."Memangnya kamu nggak lihat dulu bagaimana penampilannya? Dari penamp
Satu hari sebelumnya.Ponsel Rama berdenting, satu buah pesan masuk tanpa nama menginterupsi meminta perhatian sedikit di antara kesibukan Rama. Dari notifikasi pop up Rama melirik sekilas tertulis 'Ini kakak Maryam'.Rama tak langsung membuka, ia justru menautkan alisnya.Kakak Maryam adalah Ahmad dan satu lagi yang tak diketahui olehnya siapa namanya. Maryam tak pernah cerita.Rama sudah menyimpan nomor Ahmad, begitu pun sebaliknya. Jadi yang menghubunginya siang itu pasti bukan Ahmad. Atau Ahmad ganti nomor?Rama baru akan membuka pesan itu saat satu pesan kembali masuk. Rama segera membuka pesan itu dan membacanya ringkas.'Ini Kakak Maryam. Saya ada perlu dengan anda. Anda pasti calon suami Maryam, kan? Sebelum memutuskan maju apa tidak seharusnya ada bertemu keluarga Maryam dulu?'Entah benar atau tidaknya pesan itu, dalam pesan itu si pengirim menyebutkan namanya. Ridwan.'Saya Ridwan. Kakak kedua Maryam. Saya ada perlu sedikit, ini soal Maryam.. Kita harus bertemu.'Rama melet
"Kamu harus pergi sekarang. Jangan tinggal lagi sama kami. Kalau Maryam tiba-tiba mengadu pada kakakmu bagaimana? Aku nggak mau ada masalah. Aku kasih uang buat cari kos-kosan. Terserah dimana yang penting kamu pergi sekarang." Ungkap Rina sedikit tegang setelah dilabrak oleh Maryam.Ia tak mau hubungannya dengan adik iparnya sendiri terbongkar dan ia dicampakkan oleh Ahmad. Tidak. Itu akan melukai harga dirinya. Mau taruh dimana mukanya di depan orang tuanya?"Aku baru sebulan di sini, kita baru bertemu setelah sekian lama. Kita nggak akan ketahuan, tau apa si Maryam bodoh itu. Dia ditipu suaminya aja dia nggak tau. Aku nggak mau pergi sebelum bisa dapet uang itu." Tegas Ridwan. Memang laki-laki bebal. Sejak kecil selalu begitu.Selalu ceroboh, seenaknya sendiri, dan susah dinasihati. Hidupnya terkatung-katung sekarag pun ia masih bisa berkilah.Sebulan Ridwan menjadi benalu di rumah kakaknya dengan alasan belum dapat kerjaan, cari kerja susah. Dan lain-lain. Padahal, setelah Ahmad b
Menjelang siang, terik matahari begitu menyengat kulit Maryam yang kala itu berjalan lemah memasuki area pemakaman.Tangannya memegang satu buket bunga yang ia beli di perjalanan tadi. Matanya bengkak karena ia banyak menangis. Hidungnya bahkan mampet saking derasnya air mata mengalir.Air matanya kini sudah habis. Ia habiskan ketika berbicara empat mata dengan Ridwan yang sangat amat bebal.Di kepala Maryam berjejalan penuh pertanyaan 'Kenapa'. Ia sampai tak menyadari ketika disapa beberapa kenalan di sana, termasuk si juru kunci makam."Apa biasanya sepanas ini?" Gumam Maryam. Terik kali itu hampir tak bisa ditolerir kulit Maryam atau karena hatinya sedang panas maka panasnya matahari menjadi semakin terasa pedih.Beberapa langkah lagi sampai di tempat gundukan orang tuanya beristirahat. Langkah Maryam dipercepat.Maryam duduk bersimpuh di antara makam ayah dan ibunya. Meletakkan buket bunga di atas makam sang ibu."Ibu.. Ayah.. Maryam datang. Apa kabar ibu dan ayah di sana? Apa aya
Rama terhenyak mendengar suara itu. Suara itu milik laki-laki. Suaranya sangat berat dan kecemasannya semakin menjadi-jadi ketika ia yakin bahwa suara itu bukanlah suara Ahmad. Rama menepikan mobilnya. Ia diam sejenak sebelum kembali pada sambungan teleponnya. "Hallo... Maaf, pak yang punya hape ini dimana? Kenapa yang angkat teleponnya bapak?" [Mbak Maryam pingsan, Pak. Sekarang ada di rumah sakit. Kata dokter Maryam kekurangan cairan. Saya nggak bisa nunggu lama, saya harus bekerja. Bisa anda jemput sekarang?] Rama mengencangkan cengkeramannya di setir. "Rumah sakit mana, Pak?" [Rumah sakit daerah xxx] "Saya perjalanan dari Bogor, Pak. Apa Bapak masih bisa nunggu saya dulu? Saya mau berterima kasih." [Maaf saya nggak bisa. Saya sudah terlambat sekarang.] "Kalau begitu terima kasih, Pak. Sekali lagi terima kasih."Rama menggigit bibirnya sembari memindah gigi. Melajukan mobilnya secepat mungkin, memaksimalkan kecepatan semampunya agar segera sampai kurang dari waktu tempuh no
"Sekarang Mas udah boleh dengar apa yang kamu lakukan kemarin? Apa yang terjadi sampai bisa pingsan seperti itu?"Rama dan Maryam tengah menikmati udara oagi di tepian danau buatan di daerah tersebut.Usai sarapan demi mengisi perut yang sejak kemarin kosong, juga menuruti permintaan Maryam soal es krim, Rama melihat ada sebuah danau ketika melintas di daerah tersebut.Duduk di sebuah bangku di bawah pohon. Udara pagi benar-benar segar dan menenangkan.Maryam berhenti mengulum es krimnya dan melipat bibir. Lalu berkata, "Ini memalukan, Mas. Kalau boleh biar masalah ini kusimpan sendiri." Jawab Maryan gugup."Apa karena itu kamu pingsan sampai berjam-jam?" Tanya Rama.Apa ini ada sangkut pautnya dengan Ridwan dan Rina? Pikir Rama.Maryam mengangguk. "Mungkin karena lupa nggak makan sama minum." Sahut Maryam santai.Gesturenya menghindari bertatap mata dengan Rama. Itu artinya Maryam tengah menyembunyikan sesuatu yang besar itu. Apa yang memalukan? Apa yang membuatnya begitu memalukan?
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar
"Belum ada kabar lagi dari Pak Khalid, Teh?" Tanya Maryam yang sengaja berhenti di meja Teh Arum pagi itu."Belum, Bu. Nomor Pak Khalid tidak aktif sejak seminggu yang lalu."Sudah lewat dua minggu sejak pertemuan mereka membahas kerja sama itu. Tapi Khalid seolah raib begitu saja.Tak ada kabar. Arum pun tak bisa menghubungi siapapun entah sekretarisnya atau kantor Khalid. Sebab Khalid lah yang menghubungi mereka secara langsung menggunakan nomor pribadinya pertama kali.Sesuatu terasa janggal. Apa sebenarnya Khalid memiliki maksud lain?Tapi obrolan mereka dua minggu yang lalu biasa saja. Obrolan layaknya bisnis lainnya. Tidak ada yang mencurigakan.Kecuali satu. Sebutan unik yang dilontarkan Khalid untuk Mbak Ines.Astaga."Aneh.." Gumamnya.Pikiran Maryam terbang ke beberapa hari yang lalu saat ia berkunjung ke rumah oma dan opa anak-anaknya.Bu Andini sempat menyinggung bahwa Ines uring-uringan sejak pulang dari acara reuni kampusnya itu.Tidak jelas apa yang ia kesalkan tapi kat
Malam di kediaman keluarga Rama. Icha berada di sana, dititipkan oleh mamanya karena ia akan memenuhi undangan reuni itu.Icha memilih berada di rumah om dan tantenya karena lebih rame. Juga bisa bermain dengan Mahesa. Dari pada di rumah oma-nya. Bisa-bisa ia mati kutu. Kata Icha.Jadilah malam itu ia menginao di sana. Rama tak tinggal diam. Ejekan demi ejekan ia lontarkan pada kakaknya itu.Seumur-umur ia tak pernah melihat kakaknya keluar rumah untuk acara-acara semacam itu. Kecuali benar-benar resmi.Rama mengernyit. "Nggak biasanya ikut-ikutan acara begituan. Famgat (family gathering) kantor aja dia sering mangkir." Ejek Rama yang ia utarakan pada Maryam.Ia sedang duduk berdua di kursi ruang makan hanya bersama istrinya, sambil mengawasi anak-anak bermain di depan televisi ruang keluarga."Sewaktu ke butik itu dia juga terus uring-uringan. Katanya Mbak Ines dapet undangan khusus untuk acara itu. Jadi ngerasa nggak enak kalau nggak dateng." Sahut Maryam."Memangnya siapa ngundang?
Ines bergidik karena sapaan yang kedengarannya sangat biasa itu.Tapi karena ekspresi si laki-laki itulah Ines merasa jijik. Ganteng, sih. Tapi...Tampang si laki-laki itu sudah di usia sangat matang. Ines berani menebak kalau usianya pasti di atas empat puluhan. Mustahil kalau laki-laki itu belum menikah.Atau, dia memang tipe laki-laki genit yang suka tebar pesona dengan caranya yang sok cuek seperti tadi?Ines menegakkan duduknya lantas menggeleng menyapu pikirannya soal si laki-laki itu. Ngapain pula dia memikirkan orang asing?"Kasihan yang jadi istrinya. Suaminya genit begitu." Gumamnya lirih seraya melirik singkat punggung laki-laki yang sekarang sudah menghilang di balik elevator."Mbak Ines.. Ngelihatin apa?" Sapa Maryam dari belakang Ines.Ines terperanjat. Seperti seseorang yang ketahuan diam-diam memata-matai, Ines salah tingkah."Eh? Udah selesai?" Lontarnya."Nunggu lama, ya? Maaf, Mbak. Jadi, kan? Udah makan?" "Jadi.. jadi. Mm, Mar?""Ya?""Tamu tadi, aku dengar mau ke