Rupanya Egi tidak bercanda. Dia menyuruh Afi memakai HP-nya dan menelepon seorang wanita bernama Maddam Jane.
Jelas, pada awalnya Afi menolak keras. Dia bertanya, “Kenapa bukan kamu aja yang telepon sendiri? Nomornya, ‘kan, udah ada.”
Egi pun berkilah kalau jempolnya keseleo sehingga sulit menggulir layar HP. Kemudian Afi mengusulkan akan membantu mencarikan kontak Maddam Jane, tapi harus Egi sendiri yang bicara. Lagi-lagi Egi menolak. Dia malas berbicara.
Pada akhirnya Afi luluh. Apalagi saat Egi mengaku sudah tidak tahan lagi. Daripada menjadi korban, Afi merelakan nama baiknya hancur karena berurusan dengan gigolo.
“Hai, handsome! How are you? Lama enggak telepon Maddam. Gimana-gimana? Mau booking Maddam atau gadis-gadis Maddam yang kinclong? Maddam punya ‘intan’ baru, loh. Masih ‘ting-ting’. Buat kamu, Maddam kasih diskon 40%. Kebetulan malam ini dia tugas perdana. Mau coba?”
A
Bibir tipis dengan rona merah muda itu terkatup rapat. Kerongkongannya bergerak menelan liur yang terasa kasat. Semua kosa kata yang tertabung dalam otaknya raib. Lenyap entah ke mana. “Gini, ya, cantik. Kalau misalkan kamu takut pregnant, coba kenalan sama yang namanya pil atau suntik KB. Dijamin aman. LagipulaEgi itu pemain andal. Dia selalu pakai pengaman. Kalau enggak, dia pasti ngeluarin di luar,” papar Jane. Masih dalam sambungan telepon. Soal KB, Afi tidak perlu berkenalan. Obat semacam itu sudah sering berlalu-lalang di telinganya. Dia tahu betul apa fungsinya. Namun, tidak pernah terlintas di pikirannya untuk menggunakan obat semacam itu. Sekarang Afi paham, momok menakutkan apa yang membuatnya enggan berhubungan badan. Ini bukan soal kehamilan. Apalagi adat-istiadat. Ini perkara kesetiaan. Dia takut ditinggalkan ketika hatinya mulai terikat. “Kamu enggak perlu cemas soal pengetahuan. Egi itu jam terbangnya udah tinggi. Dia pasti bakal
“Maaf, ya, Mbak. Wa Jenggot, tuh, termasuk orang tua yang masih menjunjung tinggi adat istiadat dan norma agama. Laki-laki dan perempuan yang bukan siapa-siapa yang enggak boleh tinggal seatap. Apalagi tidur sekamar. Jadi, saya terpaksa bilang kalian suami-istri supaya dia enggak sewot,” papar Ani ketika Afi mendatangi dapur.Wanita itu baru saja berganti pakaian. Untungnya pakaian kemarin yang sudah dicuci masih tersimpan di ruangan khusus tempat penampungan pakaian bersih yang akan disetrika. Afi jadi tidak perlu kembali ke kamar untuk mengambil pakaian.Sebenarnya Afi sudah melupakan ucapan Ani di kamar. Dia ke dapur hanya untuk mengambil air putih. Haus.“Emmm, sebenarnya tadi saya juga bingung, sih, mau jawab apa.” Afi memindahkan kursi di meja makan ke kitchen island. Dia duduk di sana supaya lebih dekat dengan Ani dan Yati yang sedang berkutat dengan peralatan masak.“Kalau Bu Ani enggak bantu jawab, mungkin saya bakal
Kala itu, langit masih gelap. Lampu di setiap rumah dan jalanan masih menyala. Kendaraan pun masih sepi meskipun ada beberapa yang melibas dalam kecepatan tinggi. Namun, dua orang wanita yang mengenakan kapucong tengah berlari teratur di trotoar.“Kamu kerja di mana?” Wanita yang mengenakan hoodie merah muda bergambar minnie mouse bertanya kepada wanita di belakangnya. Setiap kata yang terucap dari bibirnya berkejaran dengan napasnya.“Rumah sakit. Bagian IT,” jawab wanita ber-hoodie putih polos. Pertukaran napasnya terdengar begitu payah. Bahkan orang yang mendengarnya saja dapat mengetahui, seberapa tipis stok oksigen yang tersisa dalam paru-parunya.Rupanya bukan hanya napasnya yang begitu sumbang, langkah kakinya pun tinggal menunggu waktu untuk tumbang. Kaki itu mengayun lambat. Terlihat berat. Bahkan terkadang doyong ke kiri dan kanan. Nyaris kehilangan keseimbangan.“Jabatannya? Masih staf?” tanya wanita itu lagi
Langit mulai terang. Pemotor pun sudah ramai berlalu-lalang. Beberapa orang bergerumul, mengitari gerobak bubur ayam yang parkir di pinggir jalan. Bukan jalan raya, melainkan jalan kompleks yang luas sehingga kerumunan itu tidak menyebabkan kemacetan.Melewati orang-orang itu, Afi teringat dengan janji Tiara soal membelikannya bubur terenak di dekat rumah. Sayangnya, wanita itu ingkar. Dia pulang lebih dulu setelah perdebatan mereka berakhir.Sebenarnya tidak bisa dibilang berakhir. Bahkan belum selesai. Tiara meninggalkannya setelah mengeluarkan sumpah serapah penuh kebencian.“Egi?”Afi tersenyum tipis melihat pria yang berjalan di seberang jalan dengan arah yang berlawanan. Tidak seperti biasanya, pria itu membiarkan rambut sebahunya terurai. Tampak berantakan. Namun, hal itu tidak mengurangi tingkat ketampanannya.“Dari mana, sih?” tanya pria itu dengan suara keras. Garis wajahnya menunjukkan kekesalan tingkat tinggi.
Tanpa nurani, pria itu mengempaskan kantong plastik transparan berisi dua kotak styrofoam ke lantai. Rahangnya mengeras.Sejak melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Afi ditampar, rona wajahnya berubah menjadi merah padam. Matanya menatap nyalang ke arah si pelaku.“Kesalahan apa yang dia perbuat sampai kamu merasa berhak menampar dia?” tanyanya sambil melangkah lebar-lebar.Situasi ini jelas tidak menguntungkan bagi Tiara. Dengan statusnya sebagai mantan, apa pun yang akan dia katakan, Egi pasti akan membela wanitanya yang sekarang. Terlebih lagi dia memang salah.Tiara cukup merasa lega untuk sementara waktu karena ternyata Egi berhenti dan memeriksa pipi Afi. Ya, meskipun iri, tetap saja dia sedikit bersyukur. Setidaknya dia punya waktu untuk memikirkan alasan yang bagus terkait tamparan barusan.“Aish! Sialan!” Egi mendesis kesal mendapati merah di pipi Afi. Dia tidak perlu berbasa-basa, seperti menanyakan apaka
Punggung tangan nan putih tengah mengapung di udara. Urat-uratnya yang hijau menyembul seperti akar pohon tua. Tulang dan buku jarinya sedikit menunjukkan eksistensi karena minimnya daging dan lemak.Tidak lama berselang, tangan itu disambut tangan lain yang warnanya sangat kontras. Tangan itu terlihat jauh lebih kokoh dari tangan yang dijabat.“Semoga awet, ya, Mas,” kata si pemilik tangan kurus dan putih yang tidak lain adalah Afi. Bibirnya tengah tersenyum sosial kepada lawan bicara.“Kalau enggak awet boleh saya balikin?” tanya pria berkacamata yang balas tersenyum padanya. Tentu saja hanya bercanda.“Jangan, dong, Mas! Kalau Mas balikin, harganya saya kurangi separo, loh,” ancam Afi yang juga dalam mode bercanda.Keduanya baru saja menyelesaikan transaksi jual-beli mobil di parkiran rumah sakit. Afi menerima transferan sebesar puluhan juta sebagai pengganti kunci dan mobilnya yang kini berpindah tuan.
Afi menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Tangannya menggenggam handle pintu kamar, tapi ragu untuk menurunkannya.Lima menit yang lalu, Afi baru sampai di rumah Egi. Dia berpapasan dengan Ani dan Yati yang hendak pulang. Wajah keduanya tampak kusut seperti orang yang tertekan.“Kenapa baru pulang, Bu?” tanya Afi sambil menatap keduanya bergantian.Setahu Afi, jam kerja keduanya hanya sampai jam lima sore. Sementara ketika itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.“Kita dipecat, Mbak,” jawab Yati dengan wajah murung.“Dipecat?”Tentu saja Afi terkejut. Alasan apa yang membuat Egi memecat asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan selama bertahun-tahun? Bukankah sewaktu dia di Kalimantan, mereka tetap bekerja di rumah ini meskipun hanya untuk bersih-bersih dua kali sehari?“Katanya Mas Egi mau pindah ke luar negeri. Rumah ini mau dijual,” terang Ani yang wa
“Saya enggak butuh ini semua, Om.”“Egi. Mulai sekarang saya melarang kamu memanggil saya Om. Panggil saya dengan nama. ‘Sayang’ juga boleh.”Egi merogoh saku celana dan mengeluarkan dua gelang hitam. Dia meletakkan salah satunya di laci. Kemudian meraih pergelangan kiri Afi.“Perhiasan yang itu boleh kamu pakai dan lepas kapan aja. Tapi, kalau yang ini ...,” Egi memberi jeda sebentar ketika fokus mengunci gelang, “enggak boleh dilepas.”Dia tersenyum memandangi gelang yang warnanya sangat kontras dengan kulit pergelangan Afi. “Kalau kamu tanya kenapa,” dia berhenti sebentar untuk mengecup bagian dalam pergelangan tangan yang putih dan mulus itu, “karena saya juga pakai gelang yang sama.”Kemudian Egi mengambil gelang yang satu lagi, lalu memberikannya kepada Afi. “Help me!” pintanya sambil mengulurkan pergelangan tangan kiri dalam keadaan terbalik.
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud