Punggung tangan nan putih tengah mengapung di udara. Urat-uratnya yang hijau menyembul seperti akar pohon tua. Tulang dan buku jarinya sedikit menunjukkan eksistensi karena minimnya daging dan lemak.
Tidak lama berselang, tangan itu disambut tangan lain yang warnanya sangat kontras. Tangan itu terlihat jauh lebih kokoh dari tangan yang dijabat.
“Semoga awet, ya, Mas,” kata si pemilik tangan kurus dan putih yang tidak lain adalah Afi. Bibirnya tengah tersenyum sosial kepada lawan bicara.
“Kalau enggak awet boleh saya balikin?” tanya pria berkacamata yang balas tersenyum padanya. Tentu saja hanya bercanda.
“Jangan, dong, Mas! Kalau Mas balikin, harganya saya kurangi separo, loh,” ancam Afi yang juga dalam mode bercanda.
Keduanya baru saja menyelesaikan transaksi jual-beli mobil di parkiran rumah sakit. Afi menerima transferan sebesar puluhan juta sebagai pengganti kunci dan mobilnya yang kini berpindah tuan.
Afi menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Tangannya menggenggam handle pintu kamar, tapi ragu untuk menurunkannya.Lima menit yang lalu, Afi baru sampai di rumah Egi. Dia berpapasan dengan Ani dan Yati yang hendak pulang. Wajah keduanya tampak kusut seperti orang yang tertekan.“Kenapa baru pulang, Bu?” tanya Afi sambil menatap keduanya bergantian.Setahu Afi, jam kerja keduanya hanya sampai jam lima sore. Sementara ketika itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.“Kita dipecat, Mbak,” jawab Yati dengan wajah murung.“Dipecat?”Tentu saja Afi terkejut. Alasan apa yang membuat Egi memecat asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan selama bertahun-tahun? Bukankah sewaktu dia di Kalimantan, mereka tetap bekerja di rumah ini meskipun hanya untuk bersih-bersih dua kali sehari?“Katanya Mas Egi mau pindah ke luar negeri. Rumah ini mau dijual,” terang Ani yang wa
“Saya enggak butuh ini semua, Om.”“Egi. Mulai sekarang saya melarang kamu memanggil saya Om. Panggil saya dengan nama. ‘Sayang’ juga boleh.”Egi merogoh saku celana dan mengeluarkan dua gelang hitam. Dia meletakkan salah satunya di laci. Kemudian meraih pergelangan kiri Afi.“Perhiasan yang itu boleh kamu pakai dan lepas kapan aja. Tapi, kalau yang ini ...,” Egi memberi jeda sebentar ketika fokus mengunci gelang, “enggak boleh dilepas.”Dia tersenyum memandangi gelang yang warnanya sangat kontras dengan kulit pergelangan Afi. “Kalau kamu tanya kenapa,” dia berhenti sebentar untuk mengecup bagian dalam pergelangan tangan yang putih dan mulus itu, “karena saya juga pakai gelang yang sama.”Kemudian Egi mengambil gelang yang satu lagi, lalu memberikannya kepada Afi. “Help me!” pintanya sambil mengulurkan pergelangan tangan kiri dalam keadaan terbalik.
Afi menuruni tangga rumah sambil memeriksa chat. Matanya hanya terpaku pada layar gawai. Bukan pada undakan yang bisa saja membuatnya terguling jika salah memijak.Dua jam yang lalu--tepatnya sebelum pulang kantor--dia mendapatkan chat dari Egi. Katanya, pria itu sudah sampai di bandara dan on the way menuju rumah.Tentu saja Afi antusias. Dia bergegas pulang. Bahkan ikut memasak bersama Yati dan Ani untuk menyambut kepulangan pria itu.Anehnya, sejak setengah jam yang lalu, chat pertanyaan tentang sudah sampai di mana Egi sekarang masih centang dua. Belum biru. Entah sudah dibaca melalui pop bar, tapi tidak dibuka di aplikasi atau pria itu memang belum menyadari balasannya.Afi merasa eneh. Pasalnya, jarak antara rumah dan bandara tidak lebih dari 8 kilometer. Satu setengah jam seharusnya sudah cukup untuk Egi sampai ke rumah ini. Namun, kenyataannya pria itu belum juga tiba.Awalnya, Afi berniat menelepon. Tidak enak rasanya memendam kekhawatiran
“Are you okay?” tanya Egi. Mukanya pucat pasi. Tangannya gemetaran saat mengusap kepala Afi yang masih berada dalam dekapannya.Alih-alih menjawab, Afi malah menangis keras. Dia sampai meremas dada yang terasa sangat sakit.Egi memahami bahwa Afi belum bisa diajak bicara. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah mendekap erat tubuh yang menggetar itu sambil mengecup puncak kepalanya. Dengan penuh rasa sesal, dia merapalkan permohonan maaf dalam bentuk bisikan.“Kamu ngapain, Gi? Ngapain?” tanya Afi yang masih menangis.Rasa kesal yang menyesakkan dadanya membuat Afi refleks menganyunkan kepalan tangan, memukuli dada Egi. Bukan jenis pukulan keras. Bahkan bagi Egi, pukulan itu tidak terasa sama sekali.“Kamu tau, ‘kan, saya butuh orang untuk melampiaskan sesuatu dalam diri saya?” Egi menjawab dengan pertanyaan retoris. “Saya enggak bisa melakukan itu ke kamu, jadi ....”
Egi dan Afi sampai di lantai dua ruko. Berbeda dengan lantai dasar, di ruangan ini sangatlah sepi. Hanya ada suara dialog sinetron dan kucing anggora putih yang tidur di depan pagar tangga.Ruangan itu lega tanpa sekat. Terdapat TV LED yang menempel di dinding, sofa L yang menghadap TV, meja kaca berkaki pendek, kulkas di sudut ruangan, dispenser, lemari kecil, dan ranjang hitam seperti di tempat pijat atau spa.Pada salah satu sofa, duduklah seorang pria yang langsung menangkap kedatangan mereka. Pria itu tersenyum lebar, lalu beranjak mendatangi keduanya.“Halo, Mas!”Egi mengulurkan tangan kepada pria yang tubuhnya dipenuhi seni warna-warni. Pria itu balas menjabat tangan Egi dengan penuh antusias. Mereka juga membenturkan dada, pelukan ala pria.“Lama banget enggak main ke sini. Dengar-dengar kesasar di Kalimantan, ya?” Pria berkepala licin itu menepuk-nepuk lengan Egi yang berotot.“Iya, Mas. Kemarin belum
Ketegangan yang dialami Afi rupanya dirasakan oleh Egi. Tentu saja. Tangan mereka masih berpagut. Perubahan kecil saja dapat Egi rasakan. Apalagi ketegangan yang sampai membekukan tangan itu.Tidak ingin Afi mencerna pemahaman yang salah, Egi pun buru-buru menjelaskan. “Sama kayak saya, Mas Bara ini langganannya Maddam Jane. Kamu ingat sama Maddam Jane, ‘kan?”Tidak menunggu Afi merespons, Egi lanjut menerangkan. “Yang namanya pelanggan dalam urusan begituan, otomatis kami udah ngerasain banyak perempuan. Mulai dari yang udah bersuami, tapi nekat cari uang tambahan dan kepuasan, sampai anak putus sekolah yang enggak tau bisa kerja apa, tapi mau dapat duit banyak.”“Tapi, seperti yang sudah pernah saya bilang, saya cuma berhubungan sama perempuan yang sama berengseknya dengan saya. Soal anakdi bawah umur, saya enggak pernah tertarik. Mas Bara doang yang doyan sama begituan,” tambahnya yang ditanggapi Bara dengan taw
Goresan tinta hitam saling terangkai, tersambung membentuk dua objek gambar; rumah dan kunci yang terpatri bersebelahan. Di atas keduanya terdapat akronim menarik dan menggelitik. Jodi Ruman.Tiga objek hitam itu terlukis kekal di kanvas berotot. Kanvas yang akan terus dibawa ke mana-mana. Kanvas yang menjadi pelindung organ penting dalam tubuh manusia, yakni hati.“Keren enggak, sih?” tanya si pemilik kanvas yang kini bertelanjang dada. Merangkak di atas ranjang. Mendatangi wanita yang duduk bersila sambil mengasuh bantal dan menopang dagunya.“No comment.”Meskipun menolak menjawab, senyum yang terlukis di wajah wanita itu sudah cukup bagi Egi. Dia merangkul Afi dan memberikan satu kecupan tipis di pelipis.“Saya boleh tanya beberapa hal?” tanya Afi. Dia tidak mempermasalahkan kecupan colongan yang Egi berikan. Ada beberapa hal yang mendominasi pikirannya sehingga masalah kecupan itu berlalu begitu saja.
“Mbak Afi ngapain di situ?” Ani melotot heran melihat Afi makan apel sambil duduk di depan kulkas yang terbuka. Wanita yang menyengir tipis itu masih mengenakan piyama. Rambutnya terkuncir asal-asalan. Maklum, dia baru bangun sejam yang lalu.Yati yang sedang menggoreng bakwan sayur menimpali. “Lagi ‘ngadem’, Ni. Mungkin habis ‘pemanasan’ sama Mas Egi.”“Bu Yati ngomong apaan, sih? Enggak kayak gitu.” Afi membela diri. Dia menyesal tidak langsung menjawab pertanyaan Ani.“Ini memang kebiasaan saya, Bu. Dulu waktu saya tinggal sendirian di rumah, saya kalau bangun tidur, ya, duduknya di sini. Di depan kulkas yang terbuka kayak gini. Kalau ditanya kenapa, saya juga enggak tau. Saya suka aja sama hawa dinginnya. Punggung saya rasa adem,” paparnya cukup rinci agar tidak ada lagi kesalahpahaman yang menyudutkannya.“Kalau gitu habis sarapan kita ke toko elektronik, ya.”
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud