“Mbak Afi!” pekik Ani dengan mata terbelalak. Sapu di tangannya dilempar begitu saja. Dia berlari menuruni tangga teras untuk membantu Dian yang memapah Afi berjalan.
“Mbak kenapa? Kok, bisa kayak gini?” tanyanya sambil memindai kaki Afi. Dimulai dari paha sampai ujung kaki yang sudah tidak memakai sendal.
Baru saja Afi hendak menjawab, suara lain yang jauh lebih besar dan sedikit serak menginterupsi perhatiannya. “Oleh-oleh dari mana itu?” tanya pria itu sambil menuruni tangga tergesa. Raut wajahnya tidak santai sama sekali. Gurat kekhawatiran menghambur di mana-mana.
Sama seperti yang dilakukan Ani, pria itu memindai kaki Afi penuh ketelitian saat mereka berhadapan. Bedanya, Egi memindai mulai ujung kaki hingga paha.
“Jadi ini alasan kamu enggak jawab pertanyaan saya di telepon?” Egi mulai menyerang Dian yang mengangguk apa adanya.
Egi membuang napas sambil meraup kasar wajahnya. Sebenarnya dia ingi
“Mas cuma mau kasih tau kalau malam ini Mas nginap di rumah Om Egi. Afi lagi sakit.” Dian sedang menelepon istrinya sambil mengelus kepala Afi yang sudah tertidur.“Loh? Sakit apa, Mas?” Suara wanita di seberang sana terdengar cemas.Dian menceritakan kronologi kejadian versi dirinya. Banyak bagian yang miss karena dia sendiri tidak menyaksikan bagaimana kaki Afi bisa terperosok di papan kayu. Dia juga tidak sempat menanyakan apa pun kepada Afi terkait penyebab pasti patahnya papan.“Aku boleh ke sana enggak, Mas? Aku pengin jenguk,” rengek wanita di seberang sambungan.“Jangan, Sayang!” Dian melarang dengan lembut. “Udah malam. Mending kamu istirahat aja.”“Kalau gitu besok boleh, ya.”“Iya.”“Terus sekarang Afinya gimana? Udah mendingan?”Dian melirik adiknya yang tertidur dengan mulut sedikit terbuka. Kernyitan tipis di dahinya me
Afi meringis sambil mencengkeram lutut yang membentang lurus. Badannya bengkok ke kanan dalam keadaan tegang.“Perih banget, Bang,” keluhnya dengan mata terpejam erat.“Namanya juga luka, Dek. Ya, pasti perih, lah, kalau dikasih obat merah.”Dian bukan tipe pria yang akan mengumbar kata-kata prihatin untuk menenangkan istri atau adiknya yang sakit atau terluka. Dia memilih melontarkan kalimat realistis agar mereka sadar bahwa keluhannya sia-sia.Lagipula tidak ada gunanya mengumbar kata seperti ‘bertahanlah’ atau semacamnya. Menurutnya, kata sejenis itu tidak akan membawa dampak apa pun bagi orang yang sedang kesakitan.“Ya, Abang pelan-pelan, kek, ngolesnya. Jangan ditekan-tekan kayak gitu,” protes Afi.“Enggak ada yang nekan, Fidyana Rosmalina .... Ini Abang ngolesnya udah selembut mungkin, loh! Kamunya aja yang lebay.”Dian tetap fokus memoles obat merah di permukaan luka
Banyaknya pertanyaan yang masuk tidak membuat Egi kebingungan untuk menjawabnya. Hanya saja, dia perlu waktu menyusun kalimat yang jelas dan lugas agar ke depannya tidak menimbulkan kesalahpahaman. Itulah sebabnya dia menggumam panjang sambil menggaruk pelipis.“Kalau soal--”“Dek!”Perhatian Egi dan Afi bermigrasi ke pintu. Dian melongokkan kepalanya di celah pintu yang tidak terbuka lebar.“Abang tinggal sebentar enggak apa-apa, ‘kan? Kakak sama keponakan kamu minta jemput. Katanya mau nengokin kamu juga.”‘Kakak’ berarti istri Dian. Afi hanya memiliki satu abang, yakni Dian. Afi terbiasa memanggil istri abangnya dengan sebutan ‘Kakak’. Menurutnya, panggilan ‘Mpok’ terkesan terlalu tua untuk perempuan yang usianya hanya beda beberapa bulan darinya.Afi segera mengangguk. Berharap bahwa abangnya bergegas pergi. Dia sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban dari se
Rentetan rasa sesal dan keluhan yang dicetuskan Egi membuat Afi terpangah. Bukan karena dia tidak menyangka kalau dosanya sebanyak itu. Namun, dia lebih terkejut karena ternyata Egi seekspresif itu mengungkapkan emosi. Cenderung menyerupai wanita.“Kalau saya minta maaf, apa kamu bisa maafin?” tanyanya ragu.“Kok, kamu nanyanya kayak gitu? Kayak enggak serius gitu pengin minta maaf.”Benar, ‘kan? Dia seperti wanita yang sedang merajuk.“Saya tanya kayak gitu karena saya pikir kesalahan saya mungkin enggak bisa dihapus hanya dengan kata maaf.”“Memangnya kamu sadar kalau itu salah?”Afi terdiam sejenak. Raut mukanya tetap tenang. “Awalnya enggak,” ungkapnya jujur.“Nah, ‘kan? Kalau gitu ngapain minta maaf kalau enggak merasa salah? Percuma!”“Berarti benar, ‘kan, kalau kesalahan saya enggak bisa dihapus hanya dengan permintaan maaf?&r
Jika momen mendebarkan dan menyulut api gairah diinterupsi, kelanjutannya tidak akan sama lagi. Meskipun debaran masih ada, tapi api gairahnya telah padam. Tergantikan oleh tawa geli, bercampur sesal dan malu.Ya, bagaimana tidak malu jika bercumbu, tapi dipergoki pembantu? Namun, insiden barusan merupakan pembelajaran. Jika ingin sosor-menyosor, kuncilah pintu terlebih dahulu.“Saya sebenarnya mau lanjut, tapi kamu belum sarapan. Takutnya kalau disedot terus, kamu malah semaput gara-gara kehabisan tenaga,” kata Egi yang tentu saja hanya bercanda.Afi hanya menanggapinya dengan tawa. Membiarkan Egi keluar sebentar dan membawa masuk rak troli stainless berisi ragam menu sarapan. Mulai dari yang sweet sampai savory, berkabohidrat hingga junk food.“Banyak banget,” komentarnya sambil tertawa. “Kita cuma mau sarapan berdua, loh. Bukan makan siang sekeluarga besar.”“Saya enggak tau kamu lagi pengin makan apa. O
“Pelan-pelan, Gi. Jangan buru-buru! Kamu, sih, enak. Nah, saya?”“Iya-iya. Ini saya pelanin, ya, biar kita sama-sama keenakan.” Pria itu mendesah dengan bibir gemetar.Melihat tingkah konyol pria yang sedang memapahnya keluar kamar, kedua alis Afi pun berkumpul menjadi satu. Ekspresi geli dan tidak habis pikir terpajang di wajahnya.“Kamu ngapain, sih?”“Gara-gara kamu ngomong pelan-pelan dan bahas enak, saya jadi ngebayangin make out sama kamu,” ungkap Egi dengan jujur.“Astaga ....” Afi menggeleng-gelengkan kepala. Menatap miris pada pria yang membantunya duduk ke sofa. “Kayaknya kamu enggak bisa lepas dari seks bebas, ya.”Egi tersenyum. Tidak menganggap kalinat Afi barusan sebagai penghinaan. Dia malah mengacak-acak rambut Afi seraya meminta pengertian.“Mohon dimaklumi, ya. Orang yang udah kecanduan rokok aja berhentinya harus bertahap. Apalagi saya yan
“Kamu enggak menganggap Ayah ini sebagai orang tua kamu?”Ketegangan masih berlanjut. Sulit menghentikan orang tua yang kekesalannya sudah tersulut.“Bukan begitu, Yah. Ayah satu-satunya orang tua yang Egi punya.” Egi meraih tangan tua itu dan menciumnya lagi. Kali ini cukup lama tangan keriput itu bertahan di permukaan bibirnya.“Egi minta maaf udah salah ngomong. Egi juga minta maaf jarang nengokin Ayah. Egi cuma ... malu ketemu Ayah,” tuturnya jujur tanpa melepaskan tangan itu.“Malu apa lagi? Kamu itu cuma banyak alasan!”Meskipun terdengar tidak sudi memaafkan, Ginanjar tidak sekalipun mencoba menarik tangannya. Penglihatannya yang tak lagi jernih mencoba memandangi helaian rambut Egi yang terkuncir rapi.“Egi tau Ayah selalu memantau apa yang Egi lakukan di luar sana. Ayah pasti tau Egi sering main-main sama banyak perempuan.”“Jangankan di luar sana, affair kamu
Keramaian di rumah Egi nyatanya tidak berlangsung sejam-dua jam. Bahkan satu per satu sepupu Afi berdatangan.Hingga menjelang makan siang, satu keluarga besar yang terdiri dari 18 orang telah berkumpul dengan dua alasan; pertama menengok Afi yang tertimpa dua musibah besar dalam satu minggu, dan ke dua bersilaturahmi dengan Egi.“Apes banget, ya, nasib kamu, Mbak. Rumah ludes kebakar. Sekarang malah kakinya luka-luka kayak gini.”Sepupu Afi yang bernama Dara berucap prihatin. Dia tengah memapah Afi berjalan menuju ruang makan.“Enggak apes-apes banget, kok, Ra.” Egi yang mengekor di belakang keduanya lantas menyahut. “Bahkan musibah yang menimpa dia jadi berkah buat orang lain,” tambahnya.“Siapa yang dapat berkah, Om? Apotek? Pak RT yang makan duit sumbangan? Enggak ada, ya, istilahnya musibah membawa berkah. Itu cuma ucapan orang biar enggak sedih aja.”Egi sempat panik karena kelalaian Dara
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud