“Aku bukan istri aslimu, Ga.” Ucapku mengingatkannya agar dia sadar diri.
“Aku tahu, tapi bagaimana pun tubuh yang kamu gunakan itu adalah tubuh istriku,” jawab Rangga.”jadi apapun yang kamu gunakan dan kamu makan dari uangku, toh juga akan kembali ke tubuh yang sedang kamu gunakan itu kan?”
Aku menghela napas. Tak berapa lama kemudian, terdegar suara bel berbunyi. Rangga langsung berjalan ke arah pintu masuk. Aku mengikuti langkahnya. Sampai di sana rupanya yang datang adalah sebuah mobil pick up yang mebawa kardus-kardus yang aku tak tahu isinya apa. Setelah kardus-kardus itu kami buka, rupanya isisnya adalah pakaian perempuan, handphone dan leptop merek mahal. Aku heran.
“Ini buat siapa?” tanyaku pada Rangga.
“Ini semua buat kamu,” jawab Rangga.
Mataku terbelalak saat melihat pakaian yang berjumlah banyak itu di hadapanku.
“Kau tahu ukuran pakaianku dari mana?” tanyaku penasaran.
“Aku sudah mengenal Nayara. Aku ingin k
“Aku nggak tau,” jawab Rangga. “Aku juga nggak tau,” ucapku. Sesaat kemudian, kulihat Rangga tampak berpikir. Dia berdiri lalu menoleh padaku. “Kamu tahu alamat kantor Mas Bimomu itu?’ tanya Rangga. Aku mengangguk. “Besok kita harus ke sana,” ucap Rangga. Aku mendengarnya dengan heran. “Untuk apa?” tanyaku. “Kita harus menjelaskannya bersama-sama. Mungkin Mas Bimo akan mempertimbangkan kebenarannya kalo aku juga ikut menjelaskan semuanya,” pinta Rangga. Aku kira itu solusi yang bagus untuk kami. Besoknhya, aku dan Rangga pergi ke kantor Mas Bimo. Karena aku dan Rangga memakai pakaian yang pantas dan terlihat mewah, satpam tak lagi mencegat aku untuk memasuki kantor itu. Kami pun berhasil duduk menunggu di ruangan Mas Bimo. Tak lama kemudian sekretarisnya datang kepada kami lalu menyuruh kami masuk. Kami pun masuk ke ruangan Mas Bimo. Mas Bimo tampak heran melihatku, mungkin karena dia masih mengi
Rangga menoleh padaku lagi. “Kalau seandainya jiwa kalian tidak bisa bertukar lagi, maukan kamu untuk terus bersamaku?” tanya Rangga. Aku diam tak bisa menjawab karena aku yakin jiwaku pasti akan bertukar lagi dengan Nayara.Rangga kembali melanjutkan kata-katanya,”Aku akan buat kamu seneng. Aku akan ganti semua hal yang hilang dari hidup lamamu. Kamu jangan khawatir soal harta atau apapun itu. Aku bisa ngasih semuanya ke kamu asal kamu mau hidup sama aku layaknya suami istri sesungguhnya,” ucap Rangga dengan tatapan mata yang serius. Aku tak bisa bernapas lagi mendengarnya. Aku tak bisa menjawabnya sekarang.“Aku belum bisa menjawabnya sekarang, Ga.” Ucapku. Setelah itu Rangga kembali melajukan mobil itu. Saat kami sudah tiba di rumah, Rangga duduk dengan gelisah. Aku heran melihatnya. Tak lama kemudian dia berdiri. “Aku harus ketemu Indah lagi,” ucapnya padaku. Aku kaget mendengarnya. “Jangan
Ya, aku pun sudah lama tidak menyentuh minuman haram itu. Terakhir aku minum bersama Isabel saat kuliah. Itupun terjadi saat kami tak sengaja akrab dengan seorang mahasiswi baru bernama Viona. Awalnya aku dan Isabel sangat anti minum-minuman keras, tapi perlahan Viona mempengaruhi kami berdua hingga dia mengenalkan tempat dugem pada kami dan hasilnya kami jadi sering ke sana untuk mabuk-mabukkan. Namun saat papahku dan ayah Isabel tahu, kami benar-benar dimarahi dan dihukum dengan memblokir kartu kredit yang kami miliki. Setelah itu kami jauhi Viona saat kami tahu kalau Viona adalah gadis malam yang kerap menjual diri kepada om-om kaya. Dan sejak itu juga aku tidak menyentuh lagi minuman haram itu. Namun saat mendengar Rangga ingin minum, aku tak mau hal jahat terjadi pada dirinya. Aku pun menatap wajah Rangga dengan mantap. “Jangan,” pintaku. “Kenapa?” tanya Rangga. “Itu nggak akan nyelesain masalah dan malah bakal nambahin masalah,” jawabku.
Setelahnya aku merasa berdiri di kamarku di Pondok Indah – rumah papah mamahku. Di sana aku melihat Mas Bimo sedang berbaring tanpa mengenakan sehelai benang pun. Kulihat tubuhku sedang melumat benda yang ada di tubuh Mas Bimo sambil merapihkan rambut panjangnya. Mas Bimo mendesah. Tubuhku dengan beringas menikmati benda yang tak pantas kulihat di tubuh Mas Bimo itu. Aku terbelakak dan berteriak padanya. “Hentikan! Jangan lakukan itu Nayara!” teriakku. Aku ingin berlari dari tempat itu, namun tubuhku tak bisa aku gerakkan. Aku terpaksa harus menyaksikan mereka melakukan sesuatu yang membuat hatiku sakit.Tak berapa lama kemudian Mas Bimo mendesah hebat, sepertinya dia berada di puncaknya. Tubhku itu kulihat melepaskan benda di tubuh Mas Bimo yang berdiri tegak itu lalu memuntahkan seuatu dimulutnya. Aku menangis cemburu melihat itu.Lalu aku terbangun. Rupanya aku bermimpi. Rangga duduk di dekatku dengan heran. “Indah, kamu kenapa?” tanya Rangga.
“Kemarin aku lihat ada pengumuman soal dibukanya penanam saham di perusahaan papahmu,” ucap Rangga. “Terus?” “Aku berniat menanam saham di sana, lalu nanti aku kirim kamu untuk menjadi direksi di perusahaan papahmu itu, dengan begitu kamu bisa mengawasi perusahaan orang tuamu,” jawab Rangga. Aku sangat senang mendengar ide itu darinya. Namun sesaat aku berpikir, darimana Rangga mendapatkan uangnya. “Memangnya kamu punya uang untuk menanam saham di sana?” tanyaku tak percaya.“Kamu tenang saja. Di sini aku memang lagi merintis usaha baru, usaha dibidang penerbitan novel online. Aku memang tak cerita banyak soal pekerjaanku sama kamu karena kita terlu sibuk dengan urusan pertukaran jiwamu. Tapi aku punya simpanan uang yang cukup dari usahaku membuat aplikasi game online beberapa tahun lalu,” ucap Rangga. Aku tercengang mendengar itu. Rupanya Rangga orang hebat. Dia memang tak pernah bercerita padaku soal itu. Mungkin dia p
Sesampainya kami di sana. Kulihat Bibi berdiri cemas menungguku. Aku pun segera turun dari mobil dan menemuinya. Rangga menunggu di dalam mobil dengan gusar. “Ada apa, bi?” tanyaku dengan penasaran. Bibi melihat ke Rangga sebentar. Sepertinya dia ingin Rangga jangan mendengar apa yang akan dia bicarakan padaku. “Tidak apa-apa, Bi. Dia ada dipihakku,” ucapku pada bibi. Bibi Sarinah tampak lega. Lalu dia menarik napas dan memandangiku dengan aman. “Non di rumah sepertinya menggunakan ilmu hitam,” ucap bibi. Aku terkejut mendengarnya. “Ilmu hitam bagaimana, bi?” tanyaku heran. “Semalam bibi liat dia membakar kemenyan di kamarnya. Dia merapal mantra-mantra lalu seperti kemasukan setan,” jawab bibi. Aku terbelalak mendengarnya. “Serius, bi?” Bibi mengangguk dengan serius. Lalu bibi mengeluarkan bungkusan kain putih padaku. “Ini ambillah,” pinta bibi. Aku heran apa yang diberikan bibi i
Aku mengangguk. Tak berapa lama kemudian, mobil derek yang dihubungi Rangga datang. Rangga pun menghampiri mereka. Dia meminta mereka untuk membawa mobilnya ke bengkel langganannya. Saat mobil itu dibawa mobil derek. Aku tercengang saat melihat sosok perempuan berada dalam mobil Rangga. Mendadak aku merinding. Perempuan itu duduk membelakanginku di dalam mobil. Sesaat kemudian perempuan itu menoleh. Astaga, kenapa wajahnya mirip sekali dengan wajah almarhum Lastri? Saat dia tersenyum padaku aku pun langsung berteriak dan memeluk Rangga. Senyum yang sangat menakutkan. Rangga heran. “Kamu kenapa, Indah,” tanya Rangga heran. “Aku nggak tahu, apa aku salah lihat atau karena kebayang omongan nenek tadi aja, aku ngeliat almarhum Lastri di mobil kamu tadi, Ga.” Taksi yang dipesan Rangga datang. Rangga menenangkanku,”sudah, kamu mungkin terlalu stress... nanti kita bicarain di rumah setelah kita meeting di kantor papahmu ya,” pinta Rangga. Aku
Mobil yang kami naiki melaju di jalan tol. Rangga begitu fokus menyetir. Sementara aku masih berkutat dengan pikiranku sendiri. Banyak hal yang aku pikirkan. Pertama tentang Mas Bimo yang kini sudah dimiliki oleh Nayara. Kedua tentang penglihatan orang-orang yang bertukar jiwa. Bagaimana pun, sekali lagi aku katakan, aku tak mau melihat hantu. Membayangkannya saja aku takut, apalagi jika itu sudah terjadi.Rangga menoleh padaku. Dia mungkin heran melihatku murung begini.“Jangan terlalu dipikirin,” pinta Rangga.Aku menoleh padanya,”Gimana nggak dipikirin kalo semuanya ada di kepalaku,” jawabku.“Nanti kamu sakit,” ucap Rangga yang peduli padaku. Sejujurnya khawatir juga bisa terjebak cinta pada lelaki yang berwajah Jepang ini. Bagaimana pun kebersamaan kami sudah cukup lama. Walau kami sudah menjaga batas sebaik-baiknya, tapi dia sangat baik dan penuh perhatian. Wajahnya juga sangat tampan. Walaupun hatiku masih dipenuhi dengan Mas Bimo, dia lelaki yang
“Apa harus aku lakukan ketika menghadapnya?” tanyaku. “Kau akan mendapatkan kekuatan yang luar bisa. Kau akan mengurus mereka-mereka yang menjadi pengikut setia Tuan Raja di alammu. Kau akan menjadi dukun yang sangat sakti,” ucapnya. “Apa yang harus aku lakukan jika aku menjadi dukun sakti?” tanyaku penasaran. “Nanti kau akan tahu sendiri jika sudah menghadap Tuan Raja,” ucapnya. Lalu kuda yang membawa kereta kencana yang kunaiki perlahan mendekati sebuah gerbang istana. Di sana kulihat banyak pengawal seram yang menjaga gerbang itu. Pengawal itu langsung membuka gerbang istana untuk kami. Kami pun masuk ke dalam gerbang itu. Kulihat istananya begitu megah terbuat dari batu. Aku seperti melihat banyak candi di sana. Peri-peri kulihat beterbangan di atasnya. Tak lama kemudian kuda itu berhenti. “Turunlah dan masuklah ke dalam istana itu,” pinta perempuan yang sangat meny
Saat Mobil itu melaju kencang di jalanan. Kulihat Mas Bimo menangis. Aku ikut menangis melihatnya.“Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu masih setia sama aku,” ucapku.Sekarang aku benar-benar yakin kalau Mas Bimo memang sangat mencintaiku. Lelaki mana yang masih setia pada istrinya yang sudah gila dan akan menunggunya sampai sembuh, meski tak ada yang tahu apakah istrinya itu benar-benar bisa sembuh atau tidak?Mobil yang kami naiki tiba-tiba berhenti di depan rumahku. Aku heran kenapa Mas Bimo ke sini. Aku pun turun bersama Mas Bimo lalu masuk ke dalam rumah. Papah dan Mamahku menyambut Mas Bimo dengan hangat. Aku kembali menangis melihat mereka. Mereka pasti sangat sedih melihatku kini sudah gila.“Apapun yang terjadi, aku akan tetap cinta sama Indah, Mah, Pah,” ucap Mas Bimo pada mereka.Mamah dan Papah menangis mendengarnya.&ldqu
Tak lama kemudian, tubuhku keluar bersama tiga perawat itu dari dalam ruangan itu. Dia tampak diam dengan tatap kosong. Dia juga tidak bisa melihat kehadiranku. Lalu tubuhku dibawa kembali oleh mereka ke ruangan tempat tubuhku tadi. Ketika kami sudah sampai di sana, kulihat Mas Bimo datang membawa makanan, mendekati tubuhku yang tersenyum-senyum sendiri.“Itu siapa?” tanya arwah perempuan itu padaku.“Itu suamiku,” jawabku.Arwah perempuan itu tampak heran.“Suamimu tampan!” pujinya.Mas Bimo duduk di dekat tubuhku.“Sayang, ini aku bawain kamu makanan. Kamu makan ya?” pinta Mas Bimo pada tubuhku.Aku menangis haru melihat itu. Rupanya Mas Bimo masih sayang padaku meski tubuhku sekarang sudah sudah gila.Tubuhku melihat ke arah Mas Bimo dengan marah.
Bus yang aku naiki tiba di sebuah halte dekat apartemenku. Aku turun dari sana. Tak ada satupun manusia yang bisa melihatku. Aku pun memasuki lobby apartemen dan berdiri di depan lift, menunggu mereka yang naik ke lantai yang sama dengan apartemenku. Saat ada dua sepasang kekasih memencet lantai yang sama dengan apartemenku, aku buru-buru masuk ke dalam. Dua sepasang kekasih itu saling melihat.“Kok aku merinding ya, yang?” tanya perempuan itu pada lelakinya.“Aku juga sama, kayaknya emang angker apartemen ini,” jawabnya.Aku diam saja. Aku tak peduli obrolan mereka. Saat pintu lift itu terbuka. Aku ikut keluar dan segera menembus pintu apartemenku. Aku mencari-cari Mas Bimo di dalam sana. Di dua kamar yang aku masuki aku tak menemukan Mas Bimo. Tiba-tiba aku mendengar kucuran air di dalam kamar mandi. Aku masuk ke dalam sana. Aku menangis saat mendapati Mas Bimo sedang telanjang menyandar di dind
Aku mengangguk. Ya, aku tak tahu sudah berapa lama aku di sana. Setipa kali pintu sering terbuka dan dua lelaki seram datang menyuruh kami kerja paksa untuk membangun istana mereka. Entah sudah berapa bulan lamanya hingga tubuhku sangat kurus dan rambutku terlihat acak-acakan. Tapi suatu hari, keajaiban datang. Kudengar di luar sana seperti terjadi peperangan. Lelaki itu berdiri dengan senang.“Mereka sudah datang!” ucapnya.Aku pun berdiri. Kami menempelkan telinga ke arah pintu gua yang tertutup. Sekarang terdengar jelas suara pedang yang beradu dan suara teriakan kesakitan. Tak lama kemudian, pintu gua terbuka. Benar saja, makhluk berjubah putih yang bercahaya terang itu masuk ke dalam gua dan menyuruh kami keluar dari sana. Aku dan lelaki itu pun keluar. Di depan gua, kulihat banyak sekali makhluk-makhluk yang menyeramkan terkapar di atas tanah dengan bersimbah darah. Burung-burung besar dan bersayap itu berdatangan. Mereka m
Aku pun terpaksa bersimpuh di hadapannya.“Tolong aku! Aku janji akan membantumu asal kembalikan aku ke tubuhku!” pintaku lagi.Makhluk seram itu tidak menggubrisku. Dia melihat ke dua lelaki seram yang berdiri di belakangku.“Kurung dia sekarang juga!” pintanya pada mereka.Akupun di tarik oleh dua lelaki yang menyeramkan itu.“Tolong! Aku janji akan menuruti kemauanmu! Aku janji tak akan berniat lagi untuk mengeluarkan ilmuku! Jangan kurung aku!” isakku.Makhluk menyeramkan dan memiliki dua tanduk itu tak menggubris permohanku. Dua lelaki itu terus saja menyeretku, lalu aku dimasukkan ke dalam gua yang sempit dan berpintu.“Keluarkan aku! Aku mau kembali ke tubuhku! Jangan kurung aku!” teriakku sambil terisak. Aku pun teruduk menyandar di dinding gua. Aku tak menyangka kalau akhirnya nasib
Kami pun tiba di rumah sakit. Mas bimo menggotong bibi Sarinah. Beberapa perawat langsung mengurus bibi Sarinah dan membawanya ke ruang ICU. Aku dan Mas Bimo duduk menunggu di depan ruang ICU. Mas Bimo menoleh padaku lalu memegangi tanganku.“Sabar, ya. Mas yakin bibi nggak akan kenapa-napa,” ucap Mas Bimo menenangkanku.Aku mengangguk. Mas Bimo memelukku.“Kamu tenang, aku yakin pasti ada jalannya untuk mengeluarkan ilmu di dalam tubuhmu,” ucap Mas Bimo.“Iya, Mas,” jawabku mencoba untuk tenang.Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang ICU. Aku dan Mas Bimo langsung menghampiri dokter itu.“Gimana keadaan bibi Sarinah, dok?” tanyaku sedikit khawatir.Dokter itu tersenyum padaku.“Dia sudah sadar, sekarang kalian sudah boleh kalau mau menjenguknya,” jawab
“Nggak apa-apa, biar aku aja,” ucapku lalu berjalan ke arah dapur. Bibi Sarinah mengikutiku.Saat aku sudah memasukkan makanan itu ke dalam kulkas, aku menoleh pada bibi Sarinah yang berdiri di dekatku.“Bi,” panggilku.Bibi Sarinah menatapku dengan heran.“Kenapa?” tanyanya.“Aku minta maaf,” ucapku.Bibi Sarinah semakin heran.“Minta maaf kenapa?”“Ternyata ucapan bibi bener,”“Ucapan yang mana?”Aku menangis. Bibi Sarinah semakin penasaran padaku.“Ada apa, Non. Cerita ke bibi,” pintanya.“Kakek yang aku temuin itu ternyata iblis,” ucapku.Bibi Sarinah tercengang mendengarnya.“A
“Kenapa?” tanyanya.Tiba-tiba kudengar suara arwah pengantin perempuan itu.“Jangan khawatir! Aku tak akan melihat kalian bermesraan. Itu malah akan membuatku sial jika melihatnya,” ucap arwah pengantin perempuan itu. Entah sekarang dia berada di mana. Aku lega mendengarnya. Akhirnya kutarik tangan Mas Bimo ke dalam kamar.Sesampainya kami di dalam kamar. Mas Bimo hendak menciumku. Aku menghindar.“Nanti aja, Mas,” ucapku.Mas Bimo heran, “Kenapa?”“Aku harus menemui kakek lagi. Aku harus mengakhiri semua ini,” ucapku.“Yaudah,” ucap Mas Bimo sedikit kecewa.Akhirnya aku duduk di atas kasur. Seperti biasa aku meminta Mas Bimo menjagaku. Akupun memejamkan mata. Akhirnya aku kembali berada di pinggir sungai itu. Sekarang aku lega sudah melihat kakek