"Boleh merasa menyesal itu manusiawi, yang tidak boleh adalah terlalu larut dalam penyesalan itu sendiri."
Hari minggu menjadi hari yang paling dinanti oleh siapa saja, terkhusus bagi para pekerja kantoran yang hanya dihari itu saja mereka bisa sejenak melepas penat dari rutinitas kesehariannya. Namun tidak bagi Ale, Ellea, dan kini bertambah lagi satu orang yakni, Airin. Dihari itu mereka akan sibuk dimulai dari pagi hari, Ellea yang bertugas mendata list belanjaan, sedangkan Airin bertugas mengemasnya. Adapun Ale, tentu saja dia bagian pengangkutannya, untuk memasukkan barang-barang itu ke dalam mobil.
Disaat semua orang mungkin masih bergelung di balik selimut tebalnya, mereka sudah disibukkan dengan kegiatan sosial yang memang hanya bisa mereka lakukan pada hari minggu saja. Karena hanya di hari itu mereka libur bekerja, kegiatan yang rutin dilakukan oleh mereka. Terkhusus Ale, dialah orang yang menggagas acara ini dan sudah
"Aku mau pernikahan kita dipercepat!"Untuk sejenak Elang menghentikan kegiatannya. Menoleh ke arah sumber suara yang tengah melontarkan kata sakral tersebut. Menikah? Bahkan tidak ada dalam pemikiran Elang saat ini, apalagi dengan Zia, gadis yang teramat jauh dari kriterianya."Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan itu?""Sangat sadar, makanya aku minta pernikahan kita sebaiknya dipercepat. Kalau bisa barengan bulan depan setelah aku wisuda!""Jangan mimpi, Zia! karena aku tidak akan pernah mau melanjutkan hubungan ini sampai tahap seserius itu!""Kenapa?""Karena aku tidak ingin.""Aku nggak mau tahu, pokoknya bulan depan kita akan menikah!""Sampai kapan pun aku nggak akan pernah bersedia untuk melakukannya! Jadi, mending buang jauh-jauh rencana nggak guna kamu itu.""Apa karena perempuan itu?"Elang
"Bu, sudah bertemu sama manager marketing yang baru belum?"Lina membuka obrolan di tengah kegiatan makan siang mereka di kantin, Ellea yang semula asyik menekuri piring lantas mendongak menatap sekertarisnya itu."Belum, bukanya acara penyambutannya baru dilakukan besok, ya?" jawabnya lantas menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sembari menunggu kata selanjutnya yang akan keluar dari Lina."Benar Bu, tapi tadi pagi Pak Keneth sudah membawanya berkeliling kantor untuk memperkenalkan manager baru itu.""Tidak heran sih, dia kan memang seperti itu, selalu mendahului aturan yang berlaku.""Dengar-dengar dia lulusan terbaik dari Harvard lho Bu, ih, makin bertambah kan nilai plusnya dia.""Jangan terlalu memuji Lin, banggalah sama diri sendiri jangan bangga sama apa yang orang lain punya. jatuhnya seperti kamu nggak menghargai diri kamu sendiri.""Tapi dia bener
Acara penyambutan manager baru tengah berlangsung, semua orang terkhusus karyawan perempuan merasa senang akan itu. Penyebabnya adalah sosok yang menjabat sebagai manager baru itu sendiri, yang tak lain ialah, Alano Dirgantara Ryder. Apalagi melihatnya dengan jarak sedekat itu, tidak ada yang bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Alano. Terkecuali Ellea, yang sejak acara berlangsung sama sekali tidak menampakan ekspresi sukanya.Berbeda dengan yang dirasakan oleh Alano, dia bahkan sudah ingin menyapa Ellea secepat mungkin. Sejak pertemuan singkat mereka kemarin petang, Alano sama sekali tidak bisa berhenti untuk tidak memikirkan gadis yang dulu begitu dekat dengannya.Sampai pada waktu acara itu selesai dan seluruh karyawan perlahan meninggalkan ruangan satu persatu. Sama halnya dengan Ellea yang langsung segera undur diri, mungkin karena Ellea yang tidak terlalu suka berdesak-desakan akhirnya mengalah dan memilih barisan paling akhir.
"Dek, ayah drop kamu bisa nggak jenguk ayah sebentar saja? Kakak mohon."Pesan itu sudah hampir satu minggu di terima oleh Ellea dari sang kakak, tetapi sampai saat ini masih belum di balasnya. Ketika akan membalas dengan kata 'iya' entah mengapa Ellea selalu ragu dan berakhir menghapusnya kembali. Begitu terus dan itu dilakukan Ellea berulang-ulang, dia terlihat bimbang mengenai keputusannya antara bersedia ataukah tidak menjenguk ayahnya.Aksi yang dilakukan Ellea menyita perhatian dari orang yang sedari tadi memperhatikan kegiatannya, membuka layar ponsel lalu setelahnya mematikan kembali ponsel itu dengan diiringi helaan napas berat. Seakan-akan Ellea tengah mengalami masalah yang begitu rumit."Ada masalah El, aku perhatikan kamu sibuk menatap layar ponselmu sedari tadi. Sedang menunggu kabar dari seseorang?"Lagi.Ellea menghela napasnya sebelum menggelengkan kepala pelan, "
"Elang! Apa kamu sadar siapa yang sudah kamu bawa ke sini?" Sintia, menyambut kedatangan kedua anaknya dengan raut tidak sukanya. Bahkan itu ditunjukkan Sintia, secara terang-terangan di hadapan Ellea. Mendapatkan respon penyambutan yang seperti ini, sudah membuat Ellea miris. Ini baru ibunya sedangkan di dalam sana pasti masih banyak lagi bagian dari keluarganya yang sudah bisa ditebak oleh Ellea, jika respon semuanya pasti tak jauh berbeda dari sang ibu. "Aku yang minta Adek buat datang, Bu. Apa salahnya, toh dia juga ingin melihat keadaan ayah." "Dan siapa yang mengijinkan kamu untuk itu, Elang! Jadi selama ini kamu sudah tahu keberadaan anak sialan ini?!" "Jaga bicara Ibu!" Elang, tanpa sengaja meninggikan suaranya di depan ibunya. Sintia tentu saja kaget, sebab ini pertama kalinya dia mendengar Elang membentaknya. "Kak, jangan menjadi orang jahat hanya karena me
"Keputusan ada di tanganmu, Elang. Jika kamu setuju kami akan membebaskan dia, dan membiarkannya pergi.""Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mau menikahi Zia!""Tidak masalah artinya kami harus melanjutkan pernikahan Ellea yang tertunda dulu. Bukankah Pak Abraham masih menginginkan Ellea untuk menjadi istri mudanya?""Aku tidak menyangka jika ayah mampu berbuat seperti ini, bahkan menyewa orang untuk terus memantau setiap pergerakanku. Sebenarnya apa arti kami bagi ayah? Apa hanya sebagai alat untuk menebus perusahaan ayah itu?!""Anggap saja seperti itu, kamu tahu Lang, untuk membangun perusahaan itu tidaklah mudah, dan kamu juga tahu bagaimana mereka mengambil paksa perusahaan ayah dengan cuma-cuma. Hanya karena anak sialan itu pergi dan menggagalkan pernikahan yang sudah ayah rencanakan delapan tahun silam."Hendrik beranggapan jika putrinya sudah tidak ada masa depan lagi sehingga
Sunyi, bagai raga tanpa nyawa yang kini Ellea lalui. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain meratap diri. Entah takdir seperti apa yang akan dijalani. Ellea tak punya kuasa untuk memilih. Bahkan untuk bernapas, sangat sulit untuk dilakukannya. Dadanya terasa sesak, seperti terhimpit beban berat. Di sini, di tempat ini, menjadi saksi bisu hancurnya jiwa dan raganya. Bukan hanya dirinya, bahkan calon anaknya pun melebur jadi satu di ruangan ini.Sudah hampir satu minggu dirinya terkurung di neraka yang diciptakan oleh keluarganya. Selama itu pula Ellea tidak mampu untuk menutup mata. Sebab jika itu dilakukannya, entah disengaja atau tidak bayangan kejadian kelam yang dialaminya dulu menyeruak tanpa permisi. Terlebih bayangan ketika melihat cairan merah pekat mulai membanjiri lantai kamarnya, itu semakin membuat Ellea merasakan sakit yang teramat. Satu tragedi yang tak akan pernah bisa dilupakan dalam sejarah kehidupnnya."Non, bibik bawakan
"To-tolong!" Sintia berikut Karin berupaya melepaskan Zia, dari cengkeraman Ellea. Namun usaha mereka sia-sia, sebab hanya dengan sekali sentakan Ellea mampu menumbangkan keduanya.Entah setan apa yang telah merasuki Ellea, sehingga begitu mudahnya mengalahkan kekuatan tiga orang tersebut. "Kenapa harus minta tolong? Kau, takut denganku, Zia!" Sedetik kemudian tawa Ellea menggema di setiap sudut ruangan, bagi yang tidak tahu keadaan di dalam sana menganggap tawa itu normalnya suara tawa pada umumnya. Namun tidak bagi ketiga perempuan yang kini nampak kacau, lengkingan tawa Ellea terdengar begitu menakutkan. Diantara semuanya Zia yang paling terlihat mengenaskan, karena sejak awal dia sudah mengibarkan bendera peperangan dengan Ellea. Yang tidak disangka oleh Zia, ternyata Ellea mampu melakukan perlawanan dan membalasnya dengan begitu kejam. Semua dendam dan amarah Ellea kepada Zia, seakan me
"Non Ellea kami di suruh Tuan Abraham untuk membantu Nona berkemas." Dua pelayan memasuki kamar Ellea dengan menyeret satu koper berukuran sedang."Memang saya mau di suruh kemana?" tanya Ellea yang dibalas gelengan kepala oleh dua pelayan tersebut.'Apa Pria tua itu sungguh-sungguh ingin mengirimku ke Bandung? Dan kembali bersama Kak Ale?' Ellea menduga-duga.'Ini tidak bisa dibiarkan. Bagaimana mungkin pria itu bisa bertindak semaunya seperti ini kepada dirinya.'Dan saking penasarannya ia bangkit dari atas tempat tidurnya untuk menemui Abraham langsung. Sayang aksinya itu terhalang oleh bodyguard yang berjaga di depan kamar pribadi Abraham."Ada perlu apa, Nona? Tuan sedang tidak bisa diganggu.""Aku ingin bertemu dan bicara dengannya. Jadi, buka pintu dan biarkan aku masuk.""Maaf Nona, saya hanya menjalankan perintah dari Tuan jika tidak ada yang boleh masuk ke kamar beliau.""Tapi aku calon istrinya, bukan orang lain lagi bagi Tuanmu itu!" Ellea tetap kekeh dan berusaha membuka
Tiga jari menjelang hari pernikahannya tanpa alasan yang jelas Abraham tiba-tiba membatalkan niatannya untuk menikahi Ellea. Hal itu membuat Ellea berang, entah apa yang sebenarnya sedang direncanakan oleh Ellea sekaligus pria tua itu. Yang awalnya Abraham bernapsu sekali ingin sesegera mungkin menikahi Ellea, tapi mendekati hari H Abraham justru membatalkan niatannya. Pun dengan Ellea yang semula menolak keras bahkan sampai pada insiden kabur dari rumah, lalu diselamatkan oleh Alano dan berakhir dirinya yang tertangkap oleh anak buah Abraham. Namun kini tidak ada yang tahu akan rencana apa yang ada di kepala Ellea. Keadaan seolah terbalik bahwa kini justru Ellea lah yang begitu ingin segera dinikahi oleh pria tua julukannya.Di saat Ale dan Esta yang mendapat kabar itu merasa senang bukan main tapi tidak bagi Ellea. Gadis itu terlihat tidak suka dengan keputusan Abraham yang menurutnya tidak masuk akal olehnya.Bahkan Abraham t
Sementara di lantai dasar sebuah butik yang didatangi oleh Ellea, dua wanita yang masih tidak menyangka jika Ellea mampu mendapatkan keistinewaan dari pria tua yang sialnya terlihat begitu memuja Ellea. Keduanya jelas merasa iri, karena sampai kapan pun keduanya tidak akan pernah bisa mendapatkan perlakuan seperti yang Ellea dapatkan."Kak, jangan diam saja lah. Kita juga ingin menemui desainernya langsung seperti jalang kecil itu.""Tutup mulut sialanmu itu, Zia! Kau, segera selesaikan urusanmu di sini karena waktuku terbuang sia-sia demi untuk menuruti kemauanmu yang tidak penting ini.""Kenapa kamu marah? Bukan kah apa yang aku ucapkan itu kenyataanya, Kak. Buktinya adik kesayangan Kakak itu berbuat seperti itu, 'kan? Apa masih kurang jelas apa yang terlihat saat ini?"Tidak ingin meladeni bualan Zia, Elang memutuskan untuk kembali ke tempat semula dan disusul juga dengan Alano. Menun
"Apa bos premanmu sedang tidak di tempat?""Bu Didi ada di ruangnya, Tuan."Tanpa membalas ucapan si pegawai butik, Abraham membawa Ellea memasuki ruangan si pemilik butik. Mengabaikan dua pasang manusia yang masih berdiam diri di tempat. Dan Abraham tentu tidak sebaik itu untuk mengajak serta mereka semua.Dengan lancangnya Abraham sengaja menggunakan lift khusus untuk mengantarkannya ke ruangan yang dituju. Tidak dihiraukan larangan akan pengunjung yang tidak diperbolehkan menggunakan lift pribadi tersebut. Karena hanya sang pemiliknya lah yang punya akses untuk itu. Abraham tidak perduli, dia hanya ingin secepatnya sampai dan menemui desainer preman yang sialnya sangat terkenal itu.Ini kali pertama seorang Abraham menemui seseorang, sebab biasanya Abraham lah yang memungkinkan untuk ditemui bukan menemui. Siapa lagi kalau bukan Ellea yang perlahan tapi pasti dapat merobohkan dinding keangkuhan seorang
"Apa itu artinya kau akan menunda pernikahan lagi, Pak Tua?" "Dan kenapa jadi kamu yang ngebet ingin saya nikahi, Penggoda Cilik!" balas Abraham. "Tentu saja bukan kah itu juga yang kau tunggu dari delapan tahun yang lalu Pria Tua untuk bisa menikahiku?" Entah apa yang sebenarnya direncanakan oleh Ellea, sejak Abraham membatalkan acara pernikahan mereka yang seharusnya dilangsungkan tiga hari yang lalu. Ellea terlihat semakin gencar sekali mendekatkan diri pada sosok Abraham Smith. Pria tua yang sudah sepantasnya menjadi ayah bagi Ellea karena jarak usia mereka yang teramat jauh. "Ah, aku jadi batal pakai gaun rancangan dari Diandra Salim. Kau tahu Pak Tua dia adalah desainer terkenal yang diidolakan setiap wanita." "Jadi kamu ngebet pengen cepat-cepat saya nikahi hanya karena ingin pakai pembungkus badan dari butik wanita preman itu?" "Wanita preman siap
"Kebaikan apa yang dulu aku perbuat, sehingga kedatangan tamu dari pewaris Ryder, juga Hartono Grup." "Berhenti membual Abraham Smith, sebutkan berapa yang kau butuhkan untuk membebaskan Ellea." "Jadi kalian juga mengincarnya? Cukup menarik, rasanya untuk seorang gadis yang sangat banyak peminatnya saya tidak ingin rugi. Karena sudah selapan tahun lamanya saya menanti dirinya. Tapi jika tawaran yang kalian ajukan menguntungkan saya bisa saja menyeragkan gadis itu untuk kalian." Emosi Ale terpatik mendengar itu, tapi berusaha diredamnya. Terlebih dia datang untuk sebuah misi penyelamatan. Salah sedikit akan berakibat fatal, dan, Ale tidak inhin jika Ellea yang akan menanggung akibatnya. "30 persen saham keluarga Ryder." Ucap Ale lantang. Dia tidak memikirkan dampak apa yang akan terjadi dengan keluarga itu, mau hancur pun Ale sudah tidak perduli lagi. Yang terpenting dia bisa menyelama
"Terima kasih." Ucap Ellea tulus. "Silahkan dinikmati nona, maaf jika tidak sesuai dengan selera anda." "Jangan terlalu formal, aku tidak seningrat itu untuk anda panggil nona. Panggil Ellea, hanya Ellea tanpa embel-embel apapun di depannya." "Maaf Nona, saya tidak bisa melakukan itu. Anda calon Nyonya di rumah ini, sudah sepantasnya bagi kami untuk memperlakukan anda dengan sebaik mungkin." "Apa pria tua itu yang menyuruh mu?" "Tidak, dan jangan panggil beliau dengan sebutan itu. Saya tahu mungkin tuan sudah bersikap kurang baik terhadap anda, tapi bagaimana pun beliau tetap tuan kami." "Meski pun orang itu telah berbuat jahat, apa kalian akan tetap membelanya?" Orang itu terdiam mungkin meresapi kata yang diucapkam Ellea, sedangkan Ellea menatap penuh iba sosok wanita yang sudah sepantasnya beristirahat dimasa tuanya. Namun dia masih sibuk mencari
"Makan, El. Kamu pikir dengan mogok makan aku akan langsung membebaskanmu? Jangan mimpi!""Sebenaranya apa mau Kakak? Jika itu uang aku akan berikan itu, berapa pun Kakak minta.""Lebih dari itu, Ellea. Apa kamu sanggup untuk memberikannya padaku?""Katakan!""Aku ingin kejujuran darimu, Ellea. Seperti yang sudah aku katakan sejak awal bertemu, apa dulu pernah terjadi sesuatu antara kita? Sumpah aku benar-benar tersiksa, El. Hidup dengan dihantui rasa bersalah tapi aku sendiri tidak tahu tentang apa itu, yang nampak hanya bayangan wajahmu yang berteriak minta tolong. Sebenarnya apa yang sedang aku alami?""Mungkin otak Kakak yang bermasalah, mending cepat diobati sebelum bertambah parah.""Ya, kamu benar, El. Sudah lama aku berobat dan dari semua dokter yang menanganiku tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menyembuhkannya.""Hah! Jadi benar otak Kakak
Setelah mengirim pesan kepada Genta, untuk lebih dulu menuju markas. Ale memilih mengikuti sang ayah pulang. Sesuai permintaannya, dan yang pasti dengan sebuah tujuan. Ale memang tidak dekat dengan sang kakek dulu, karena kesibukannya yang sangat jarang berada di rumah. Hanya sang nenek lah, yang dulu sering menjaga dan menemani Ale kecil saat orang tuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Memilih untuk tetap diam dan menatap manik sayu pria yang sudah teramat ringkih, jauh berbeda sekali saat terakhir Ale melihatnya. Sosok di depannya ini, sudah nampak renta dimakan usia. Rambutnya pun sudah memutih, dengan kulit yang juga mulai mengisut. Hanya satu yang masih melekat pada diri Rustam, yakni tatapan elang yang dimiliki masih mampu membuat lawan bicaranya tak berkutik. "Tidak kah kau rindu dengan laki-laki tua ini, cucuku?" Melihat Ale yang hanya diam, membuat Rustam berinisiatif menyapanya t