Tangannya yang keriput digenggam. Semuanya tahu melodi kesedihan yang berada di ruangan ini telah menciptakan keheningan. Suara detik dari cardiograph tetap tak bisa dihentikan bagaimanapun juga. Terlebih ketika suara napasnya yang lemah terdengar sesak. Kayla sangat sayang kepada wanita yang ada di hadapannya ini. Bahkan orang tuanya pun mengijinkannya untuk menemani di saat-saat terakhir.
Memang tak ada harapan. Dokter mengatakan kalau wanita tua itu telah terkena komplikasi. Dari penyakit diabetes, jantung dan stroke. Seminggu lalu dia terjatuh, kejadian itu langsung saja membuat Kayla terpukul. Dia langsung tidak masuk sekolah dan lebih memilih untuk menemani neneknya.
Semua tahu Kayla cucu kesayangan. Sejak kecil dia sangat dimanja neneknya. Bagaimana pun juga waktu tak bisa diputar. Ia akan terus berjalan maju tanpa kita tunggu, tanpa kita suruh. Semua juga tahu meskipun Kayla nakal dan terkesan pemberontak, tapi dengan neneknya ia sangat patuh. Maka dari itulah, seandainya kali ini wanita yang sangat disayanginya itu pergi, entah bagaimana lagi caranya untuk bisa mengendalikan Kayla. Dia sangat tidak bisa diatur.
Sebenarnya Kayla merasa aneh dengan perilaku sang nenek. Dua hari sebelum beliau jatuh tidak sadarkan diri sampai sekarang, beliau berpesan sesuatu. Ada pertengkaran hebat antara Kayla dan kedua orangtuanya. Pertengkaran yang hebat bahkan sampai membuat barang-barang di rumahnya pecah berantakan. Kayla mengamuk. Saat itu neneknya kebetulan berkunjung dan mendapati Kayla seperti itu. Melihat neneknya datang Kayla langsung menyambut neneknya serta langsung mengadu kepadanya.
“Nenek, lihat tuh. Mama ama Papa ingkar janji. Padahal mereka sudah berjanji dan selalu, selalu dan selalu berjanji tapi tak pernah ditepati. Aku hanya ingin ponsel baru, teman-temanku sudah punya ponsel baru. Sedangkan papa dan mama hanya bilang ‘nanti’ dan ‘nanti’. Nenek, bujuk Papa ama Mama dong. Pleaseeee!” ucap Kayla.
Sang nenek memulai dengan senyuman hangatnya. Ia hampir saja bicara tetapi putranya bicara lebih dulu.
“Nah, sekarang ada nenekmu. Merengek saja ke nenekmu, dasar cucu kesayangan!” ucap Brian sang ayah.
“Nenek...!” Kayla mulai merajuk.
Sang nenek hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendengus. Dia lalu mengusap kepala Kayla sambil berkata, “Kayla, cucu kesayangan nenek, jangan begitu. Tidak baik marah-marah seperti itu kepada papa dan mamamu. Coba lihat rumah ini! Berantakan sekali bukan?”
“Itu semua gara-gara Papa dan Mama yang ingkar janji,” jawab Kayla membela dirinya.
“Sayang, kami janji tapi tidak sekarang. Keuangan kita sekarang ini sedang membengkak, Papa ama Mama perlu memotong pengeluaran ini dan itu,” jelas Brian.
“Pokoknya Kay nggak mau tahu. PAPA PEMBOHONG!” bentak Kayla.
“Kay!” tiba-tiba sang nenek menggenggam pergelangan tangan Kayla dengan kasar.
Ini baru pertama kali di dalam hidup menggenggam tangannya sekasar itu. Dia tentu saja terkejut melihat perlakuan neneknya yang tidak biasa. Dahinya mengernyit berusaha mencerna apa yang terjadi.
“Jangan kau tinggikan suara kepada kedua orang tuamu!” perintah neneknya. “Kau harus mengerti mereka.”
Mata Kay tiba-tiba berkaca-kaca. Dia mencoba menahan amarah yang sekarang ini sudah menguasai hatinya. Ia memberontak. Dia segera pergi begitu saja menuju ke kamarnya, lalu dengan amarah yang meledak ia banting pintu kamar dengan sekeras-kerasnya.
“Kay!?” panggil Brian.
Sang nenek memberi isyarat agar Brian tenang. “Biarkan dia sebentar. Aku akan bicara kepadanya.”
Brian hanya bisa mengangguk. Tampak ibunya berjalan menuju ke meja makan yang ada di dapur. Dia membawa sebungkus buah mangga yang dibelinya dalam perjalanan menuju ke rumah. Langkah berikutnya ia menuju ke kamar cucu tersayangnya.
Beberapa ketukan lembut terdengar di daun pintu. Kay membenamkan wajahnya di bantal. Ia menjerit sekeras-kerasnya di dalam bekapan bantalnya. Ia juga menangis. Saat-saat seperti ini dia merasa tak ada yang sayang lagi kepadanya, bahkan termasuk sang nenek yang biasanya memanjakannya. Kenapa sang nenek malah membela kedua orangtuanya? Ini tidak adil bagi Kay.
Lagi sang nenek mengetuk pintu kamar Kay sambil memanggilnya lembut. “Kay, buka pintunya nak?”
Tak ada balasan. Perlahan-lahan sang nenek pun membuka pintu kamar tersebut. Tampaklah tubuh Kay yang tengkurap dengan membenamkan kepalanya ke bantal ada di atas ranjang. Sang nenek berjalan perlahan-lahan hingga akhirnya duduk di sebelahnya. Tangannya yang keriput mulai membelai rambut cucu kesayangannya. Dia menghela napas dalam-dalam.
“Kayla, maafkan nenek yang tadi agak kasar kepadamu. Hanya saja, nenek tidak bermaksud seperti itu. Sebagai orang tua sudah menjadi kewajiban bagi Papa dan Mamamu untuk bisa menasehati anaknya, untuk bisa mengatur anaknya meskipun keadaan mereka tidak memungkinkan untuk itu. Kedua orang tuamu sangat menyayangimu melebihi apapun di dunia ini. Iya, mereka mungkin berusaha menepati janji tetapi ada kalanya mereka tak bisa. Apakah selama ini Papa dan Mamamu selalu mengingkari janjinya kepadamu?” terdengar suara neneknya sangat lembut.
Kayla masih terisak. Dia belum menjawab.
“Jawablah nenek. Apakah selalu mereka mengingkari janjinya?” tanya sang nenek.
Kayla mulai mengangkat wajahnya. Dia menggeleng.
Sang nenek tersenyum kemudian menggenggam tangan Kayla. “Nenek hanya ingin kamu tidak berbuat seperti itu lagi kepada kedua orang tuamu. Mereka sudah bersusah payah untuk selalu menuruti apa yang menjadi keinginanmu. Dan kamu sebagai anaknya harus mengerti akan hal itu. Nenek juga dulu seperti dirimu, rasanya ketika orang tuaku tidak menurutiku sepertinya dunia mau berakhir. Rasanya tak ada lagi yang sayang kepada kita. Tapi nyatanya, sampai dewasa pun kita masih membutuhkan mereka. Apa sih yang kamu inginkan? Ponsel baru?”
Kayla mengangguk.
“Maasyaa Allah, itu perkara mudah Kay. Tak perlu nangis dan merengek bahkan sampai melempari barang-barang. Apakah kamu diejek ama teman-temanmu karena ponselmu masih jadul?”
Sekali lagi Kayla mengangguk.
Sang nenek mendesah. “Memangnya kalau kamu punya ponsel jadul kasih sayang nenek akan berkurang kepadamu? Kasih sayang kedua orang tuamu juga berkurang?”
Kayla tak menjawab. Ia berpikir keras.
“Ponsel itu hanyalah benda biasa. Yang mana kalau rusak kau pasti juga akan membuangnya. Tetapi kasih sayang kedua orang tuamu tidak akan pernah bisa hilang sampai kapanpun. Demikian juga sayangnya nenek kepadamu tak akan bisa hilang sampai kapanpun. Apakah harus kasih sayang itu hilang hanya gara-gara benda bernama ponsel?”
Kayla menangis lagi. Dia sepertinya menyadari kesalahannya selama ini. Dia pun bangkit kemudian langsung memeluk neneknya. Tangisnya pecah dalam pelukan sang nenek. Sang nenek pun tersenyum.
“Maafin Kay nek. Maaf,” ucapnya singkat, tetapi tangisnya yang panjang.
Kayla ingat saat-saat itu. Rasanya ia akan merindukan lagi pelukan neneknya. Dokter sudah berkata kalau tak ada lagi harapan untuk wanita yang ia sayangi itu. Tubuh yang terbaring lemah itu kini hanya tinggal menunggu waktu. Setidaknya Kayla ingin bisa melihat saat-saat terakhir neneknya menghabiskan waktu di kehidupan ini, meskipun kedua matanya tidak akan pernah bisa melihat dunia lagi.
Memang benar. Setelah itu Kayla hanya bisa menyaksikan sang nenek pergi saat cardiograph memperlihatkan flatline. Kayla sangat bersedih melebihi siapapun. Dia merasa berdosa sekali kepada neneknya dan ingin sekali menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan wanita yang paling baik kepadanya itu. Tetapi akankah bisa?
Sebuah arloji kecil kuno berwarna coklat tergeletak di meja. Arloji itu masih berfungsi meskipun usianya sudah tua. Benda kesayangan neneknya itu selalu dibawa kemana-mana seolah-olah benda itu merupakan nyawanya. Benda itu masih terus berdetak sambil menyaksikan orang-orang yang berada di ruangan rumah sakit bersedih atas pemiliknya yang sudah meninggalkan dunia ini. Benda ini pun kemudian diraih Kayla.
* * *
Malam ini udaranya tak sesejuk malam-malam sebelumnya. Iskha mengeluh karena gerah. Tak mengerti kenapa Tuhan memberikan malam ini lebih gerah daripada malam-malam lainnya. Dia menyalakan kipas angin yang berada dekat dengan meja belajarnya. “Ini malam kok panas banget sih?” keluhnya. Dia masih harus mengerjakan dua halaman lagi dari lembar buku LKS yang harus dikumpulkan besok. Segera saja ia beranjak dari kursi kesayangannya menuju ke jendela kamar. Digesernya kain gorden jendelanya lalu dia membuka daun jendela kamarnya. Udara sejuk segera masuk ke dalam kamarnya
Arief merupakan rekan sekelas mereka yang sangat pintar. Kepintarannya tentu saja diketahui dengan selalu menjadi juara kelas, selain itu pula cowok ganteng maksimal ini juga salah satu pengurus OSIS dan juga ketua kelas. Banyak cewek-cewek yang mengidam-idamkan cowok ini jadi pacarnya, termasuk Lusi dan Iskha yang sebenarnya sudah naksir berat sejak tahun pertama mereka masuk sekolah. Mereka bahkan sering ngomongin si Arief ini untuk jadi bahan khayalan. Misalnya saja berkhayal andainya Arief jadi pacar mereka, kira-kira bagaimana keadaan mereka nantinya. Hal itu mereka anggap sebagai hiburan yang menggelikan. “Ah, sudah pasti bakalan banyak yang ngantri,” kata Iskha sambil kembali duduk di meja makan
“Thank’s yah!?” ucap Iskha sambil tersenyum ke cowok itu.“Sama-sama,” balas Arief singkat. Iskha berjalan perlahan ke tempat duduknya. Rasanya aneh saja mendapatkan balasan “sama-sama” tanpa sesuatu yang lebih. Apa gitu, misalnya udah sarapan belom? Ke sekolah naik apa? Gimana kabarnya? Terlalu lempeng. Herannya hal-hal yang semacam itu disukai cewek-cewek seperti Iskha, Lusi dan yang lainnya.
Hal yang paling membuat semua penghuni kelas XI-3 cemburu yaitu ketika akhirnya Kayla duduk di sebelah Arief. Demi apa murid baru cewek itu bisa mendapatkan tempat duduk di sebelah Arief? Oh, baiklah. Itu karena wali kelas mereka menyuruh Kayla untuk duduk bersebelahan dengan Arief, tapi itu bukan berarti yang lain tidak boleh duduk di sebelahnya, hanya saja mana pantas?!“Hai? Aku Kayla, panggil saja Kay,” ucap Kayla kepada Arief. Keduanya pun bersalaman. “Aku.... Arief,” kata Arief.
“Diketahui f(x) | x-7 dan g(x) | x2+ x, tentukan (fxg)(x)!” ucap Bu Tatik. Iskha mengernyitkan dahi. Dia mencoba menulis apa yang didiktekan, ia saja tak faham apa yang didiktekan. Ia pun menulis sebisanya, hasilnya tak sesuai yang diharapkan. Dia menulis “fungsi fx | x-7 & fungsi gx | x2+ x”
Akhirnya Iskha pun mengantar Kayla untuk berkeliling sekolah. Mereka menyusuri lorong kelas. Iskha mulai memperkenalkan bangunan-bangunan yang ada di kelas. Mulai dari lapangan, pembagian kelas-kelas, ruang-ruang kelas sepuluh, sebelas dan kelas dua belas. Kayla cukup antusias melihat bangunan kelas yang mungkin usianya sudah tua tapi masih kokoh. Tampak kayu-kayu jati yang menjadi rangka bangunan sekolah itu juga terlihat masih kuat. Sekolah ini memiliki empat lapangan outdoor dan satu lapangan indoor. Lapangan itu terdiri dari dua lapangan basket, satu lapangan futsal dan satu lapangan bola voli yang juga terkadang digunakan untuk badminton. Satu-satunya lapangan indoor digunakan untuk beladiri ataupun gymanstic. Cukup luas memang. Ada pula alua, empat ruangan laboratorium, yaitu dua ruang laboratorium IPA, kemudian laboratorium seni dan multimedia dan labo
Jam istirahat berakhir. Kayla sudah kembali ke dalam kelas bersama Iskha. Keduanya telah puas melahap semangkok bakso di kantin. Rasa penat pelajaran matematika yang tadi mereka tempuh hilang begitu saja. Kelas pun kembali ramai riuh dengan suara murid-murid. Kayla kembali duduk ke tempatnya. Terlihat Arief sudah ada di sana.“Bagaimana jalan-jalannya?” tanya Arief. Kayla mengangguk-angguk. “Sekolahnya ternyata luas. Ekstrakurikulernya juga banyak, fasilitasnya lengkap. Aku suka.”
Untuk beberapa saat Agus berpikir. Sampai sekarang memang benar kalau Faiz tidak pernah mencatat di buku tulisnya. Apa benar Faiz ini mengingat segala hal? Tidak mungkin. Orang yang bisa mengingat segala hal biasanya memiliki ingatan fotografis atau memang memorinya sangat kuat. Hanya saja, orang-orang seperti itu biasanya spesial. Tetapi Faiz tidak terlihat spesial. Nilai rapornya juga pas-pasan, ia hanya bagus di satu hal saja yaitu olahraga. Agus meragukan ucapan temannya. Dia pun akhirnya membiarkan Faiz tenggelam dalam mimpinya. Sudah menjadi kebiasaan kalau meja yang mereka tempati pasti basah karena ilernya Faiz. Tetapi Faiz bukan cowok yang jorok, ia pasti membersihkan mejanya karena tahu ia tak sendirian menggunakan meja tersebut.
Arief menurutinya lalu duduk di kursi yang ada di seberang Ihsan. Dia melihat kiri kanan, ada banyak anak buahnya di sini. Apakah mereka orang suruhan pamannya? Dia tak tahu bagaimana cara pamannya berbisnis, yang jelas ia tahu pamannya orang yang sangat berpengaruh di Wijaya Group. Hampir sebagian besar usaha di Wijaya Group ini dikuasai oleh pamannya.“Aku ingin tahu dimana Kayla?” tanya Arief.Ihsan memberi isyarat menunjuk ke papan catur. “Kalau kau bisa mengalahkanku dalam permainan ini aku akan memberitahu dimana dia.”“Om, hentikan semua ini kalau ayah tahu, maka Om tahu apa yang akan terjadi,” ancam Arief.“Arief, kau itu masih naif. Kau kira aku menyuruhmu kemari tanpa persiapan? Bahkan ayahmu tak akan mampu berbuat apa-apa,” jawab Ihsan.Arief mengamati papan catur yang ada di hadapannya. Papan catur itu sudah dimainkan, posisi bidak putih tampak lebih unggul daripada bidak hitam. Tetapi bid
“Arief! Arief!? Arief!?” panggil Faiz. Dia menampar-nampar pipi saudaranya itu.Arief yang setengah sadar membuka matanya lalu tiba-tiba langsung terbangun. Dia menerkam Faiz, hampir saja ia kalap kalau Faiz bukan seorang ahli bela diri pasti sudah terjerembab oleh terjangan Arief tadi. “Kayla! Kayla!”“Woy! Sadar! Ini aku Faiz!” ucap Faiz. Segera ia mendorong Arief. Cowok itu pun berusaha berdiri.“Mana? Mana Kayla?!” tanya Arief.“Woy! Sadar! Kamu barusan pingsan di tengah lapangan basket,” jawab Faiz.Arief melihat sekelilingnya. Ada Faiz, ada Iskha dan Lusi. Dia tak melihat Kayla. Kemudian di dekat tempat dia berdiri ada ponsel yang tadi diberikan oleh orang berbaju hitam. Segera dia mengambil ponsel itu. Arief membuka kontak yang ada di dalam ponsel tersebut. Hanya ada satu nomor. Nomor itu bernama BOSS.“Kayla diculik,” ucap Arief.“Iya, kami tahu dia
“Kayla? Itu kau kan?” sekali lagi Arief memanggilnya.“Iya, ini aku,” jawab Kayla.“Ah, syukurlah. Kau membuatku gila. Kau mengerti? Kau membuatku gila. Aku kira kau itu tidak ada tetapi perasaanku mengatakan lain, kau itu ada,” ucap Arief.Kayla tersenyum. “Iya, beberapa saat lalu aku memang menghilang, tetapi sekarang aku kembali.”“Aku ingin kau ikut denganku!” pinta Arief.“Ikut kemana?” tanya Kayla.Arief tiba-tiba menggandeng tangan Kayla. Dia menarik lengan gadis itu sehingga Kayla tak bisa melawannya. Cowok itu mengajak Kayla menjauh dari keramaian, hingga akhirnya mereka sampai di lapangan basket. Suasana di lapangan itu gelap karena tak ada cahaya. Cahaya yang ada di lapangan itu hanya didapat dari koridor kelas yang ada di sekitar pinggir lapangan. Malam makin larut dan bintang-bintang mulai muncul menghiasi langit.Tangan Kayla di lepaskan. Kayla tahu
“Kau mengambilnya, sebab itulah aku bisa kembali ada,” ujar Kayla. “Aku tak percaya bisa bertemu nenek lagi.”“Kau mengatakan aku nenekmu?” tanya Iskha.“Iya, kau nenekku, kau juga sahabatku yang terbaik yang pernah ada. Aku melakukan kesalahan sebelum akhirnya kau pergi untuk selamanya. Aku kemudian ingat pesanmu ada seorang sahabat yang namanya mirip seperti namaku yang memberikan arloji itu kepadamu. Aku menyelidikinya dan tak kutemukan orang dengan nama seperti namaku di masa ini, di tempat ini. Dari situ aku sadar akulah yang kamu maksud, aku dari masa depan,” jelas Kayla. “Misiku hampir gagal. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak mengerti kenapa aku sampai menghilang?”“Mungkin saja, itu karena hal itu. Waktu itu...aku mendengar Faiz mengucapkan perasaannya kepadamu. Aku kira, aku kira Faiz menyukaimu,” terang Iskha. “Tetapi benarkah kau cucuku dari masa depan?”&ldq
“Kau belum menjawabku,” lanjut cowok itu.Iskha lalu mendorong pemuda itu sambil berusaha merebut coklatnya. “Itu coklat milikku, balikin!”Faiz mengangkat sebungkus coklat itu tinggi-tinggi. Lucu saja melihat kedua tingkah polah dua insan ini. Iskha berusaha meraih coklatnya, tetapi Faiz yang lebih tinggi mengangkat tangannya tinggi-tinggi akhirnya Iskha seperti kucing melompat-lompat ingin meraih sesuatu. Teman-temannya tertawa melihat hal itu.“Kalau melihat mereka kok rasanya dejavu ya?” gumam Sandi.“Oh, jangan-jangan kertas ini...,” Reno menunjuk gulungan ke kertas yang ada di ransel mereka.“AAHHHH!!” keempat anggota band berseru bersamaan.Lusi terkejut ketika keempat orang itu berseru. Dia tak mengerti apa yang terjadi. Tiba-tiba keempat anggota band tadi tertawa terbahak-bahak.“Oh, jadi begitu ceritanya. Baiklah,” gelak Ucup.“Tapi boleh ju
Arief mendesah lagi. Dia masih berada di sekolahan bersama dengan pengurus OSIS lainnya sedang mengatur dekorasi panggung. Tetapi pekerjaannya sudah selesai malam itu. Dia dan teman-temannya sedang beristirahat sambil makan-makan dari nasi kotak yang sudah disediakan untuk panitia. Meskipun makanannya tak begitu mewah, hanya berupa ayam bumbu rujak dengan sambal lalu nasi putih plus acar itu saja sudah membuatnya kenyang. Setelah makan dia duduk di sudut panggung sambil melihat teman-temannya yang asyik berkelakar di antara kursi-kursi yang sudah diatur. Dia menebak, kursi-kursi itu tak akan ada gunanya besok, karena para penonton lebih suka melihat pertunjukan itu sambil berdiri.“Pastikan ya gaes sebelum pulang, tak ada kesalahan. Sound system, lighting dan lain-lain!” ujar Arief dari kejauhan.“Sudah pasti, tenang aja! Pulang aja, Rief. Kamu sudah dari pagi di sini. Biar yang lain gantiin!” ucap salah satu panitia yang juga beristirahat.
Malam itu Iskha senyum-senyum sendiri. Setidaknya sekarang ia lega kalau Faiz memang menyukainya. Semua pertanyaannya selama ini telah terjawab. Tetapi masih ada misteri yang belum terpecahkan. Di mana Kayla? Bagaimana ia bisa menghilang begitu saja? Kenapa juga semua orang tak ingat dengan Kayla dan hanya dia sendiri yang bisa mengingatnya? Misteri ini memang belum terjawab, namun pasti ada jawabannya. Sementara itu ponsel Iskha berkali-kali berdering, serta Faiz yang mengiriminya chat dengan pertanyaan berkali-kali agar Iskha menjawabnya. Tetapi Iskha membalasnya dengan balasan yang singkat, “besok aja”.Dia merasa menang telak kali ini membuat Faiz was-was. Pasti sekarang ini Faiz tidak bisa tidur memikirkan jawaban yang akan diberikannya besok. Melihat ekspresi wajah Faiz sejak kembali ke kelasnya membuat dia senang sekali. Lusi saja sampai bingung dengan tingkah polah dua orang ini. Iskha tampak senang dengan ekspresi penuh kemenangan, sedangkan Faiz seperti
Faiz menatap mata Iskha. Dia bingung ingin mengekspresikan perasaannya. Kedua insan itu hanya terdiam sambil saling menatap mata. Tetapi Faiz yang mengalah, “Ah, sudahlah. Ngomong-ngomong besok kamu mau tampil?”Iskha benci hal ini. Kenapa Faiz tak menjawabnya. Dia mendengus kesal. “Iya.”“Kalau misalnya aku pergi, kau kehilangan tidak?” tanya Faiz tiba-tiba membahas sesuatu yang tidak pernah dia sangka sebelumnya.“Pergi? Pergi kemana?” tanya Iskha.“Yah, ke tempat yang jauh gitu,” jawab Faiz. “Kira-kira kau akan merasa kehilangan tidak?”“Tempat yang jauh itu banyak, emangnya kau mau kemana? Ada kompetisi di luar kota?” tanya Iskha yang mengetahui kalau ekstrakurikuler pencak silat di sekolahnya mengikuti kompetisi di luar kota.Faiz menggeleng. “Bukan itu, kalau itu semua juga tahu.”“Lalu apa?”“Aku mau kuliah d
Ternyata Iskha membawa Faiz ke ruang UKS. Di sana ia segera masuk dan meminta minyak kayu putih untuk dioleskan di tempat yang gosong tadi. Faiz dipaksa duduk di kursi sementara Iskha mengambil minyak lalu menaruh sedikit di tangannya, setelah itu dia mengoleskan minyak itu ke luka gosong yang ada di perut Faiz. Berkali-kali Iskha menelan ludah saat mengolesinya. Ini pertama kali ia melihat perut seorang lelaki dan entah kenapa jantungnya berdegup lebih kencang.“Hati-hati! Sakit tahu!” ucap Faiz.“Kalau kamu berisik aku tambah lagi,” ancam Iskha.“Iya, iya. Nggak, nggak kok,” ucap Faiz sambil mengangkat kedua tangannya. Dia kapok mengusili Iskah lagi.“Nah, cukup!” ucap Iskha setelah selesai mengolesinya. Matanya menatap tajam ke arah Faiz. Faiz merinding melihat tatapan itu. Dia mengembalikan minyak tersebut ke tempatnya sambil berterima kasih kepada penjaga UKS.“Hei, mau kemana?” tanya