Gadis kota secantik ini mau berteman denganku? batinnya tak percaya. Aku hanyalah seorang perempuan desa yang pernah dipenjara. Apa istimewanya menjalin pertemanan dengan Nilam, mantan narapidana sebuah kasus pembunuhan?
Jessica yang menyaksikan keragu-raguan Suster Nilam segera mengeluarkan ponselnya. “Nomor HP Suster Nilam 081…,” pancingnya seraya mengetikkan ketiga angka itu di depan mantan perawat Wanda tersebut.
Mau tak mau sang suster menuruti permintaan gadis cerdik itu. “Bukan 081, Non. Tapi 08…,” katanya memberitahu nomor ponselnya. Jessica segera mengetik nomor itu dan meneleponnya guna memastikan nomor itu benar adanya.
Terdengar suara ponsel berbunyi. Suster Nilam segera mengeluakan alat komunik
Keesokkan paginya ketika Jessica sudah berada di kantor, Moses meneleponnya. “Nanti sekitar jam 12 siang kujemput kamu di kantor. Aku mau mentraktir makan siang. Tadi ada telepon dari broker properti kantor lain mengajukan penawaran atas kavling tanah yang udah lama kupegang dan nggak laku-laku. Waktu kusampaikan harga yang diajukan calon pembeli pada pemilik tanah, dia kedengarannya senang sekali. Cuma menaikkan harga sedikit di atas penawaran yang diajukan. Feeling-ku tanah ini bakal laku hari ini,” kata laki-laki itu penuh percaya diri.Jessica tersenyum lebar. Begitulah sahabatnya ini kalau bekerja. Sangat percaya diri. Namun firasatnya berkali-kali terbukti. Properti-properti yang lama tidak laku memang kadangkala terjual secara tak disangka-sangka.“Traktirannya nunggu kalau udah transaksi a
Dipelototinya Moses. “Kamu…kamu sengaja?” tanyanya geram. Laki-laki yang sedang menyetir itu nyengir sambil mengangguk. “Buat balas dendam.” “Balas dendam apa?” tanya si gadis tak mengerti. Tiba-tiba mobil Rush yang dikemudikan Tommy berhenti di depan sebuah rumah mungil bercat putih dengan satu lantai di sebuah komplek perumahan baru. Laki-laki itu tersenyum puas melihat bangunan model minimalis itu. Ia berkata dengan ceria, “Kita sudah sampai, Cantik.” “Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ses,” sahut Jessica sebal. Dia tak senang ucapannya tidak diindahkan. “Pertanyaan yang mana, sih?” balas laki-laki itu seraya berpaling pada gadis itu dengan raut wajah be
Dibukanya gembok pagar. Lalu didorongnya sedikit hingga menyisakan ruang kosong yang cukup untuk dilewatinya bersama Jessica.Gadis itu menurut saja diajak masuk ke halaman. Dirinya diam saja melihat Moses mengunci gembok itu kembali. Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah masuk ke dalam rumah mungil bernuansa serba putih itu.“Rumah ini memang kecil, Jess. Ukuran kavlingnya cuma sembilan kali lima belas meter. Tapi cukup buat tempat tinggal kita berdua kalau sudah menikah nanti,” kata laki-laki itu menjelaskan.Kepala Jessica tiba-tiba terasa pening. Menikah dengan Moses? Alangkah bahagianya diriku kalau hal itu sampai terjadi! batinnya pedih. Ingatannya kembali pada peristiwa saat dirinya berjanji akan menjaga Tommy di hadapan
Lelaki di depannya termenung sesaat. Kemudian keluar pertanyaan penting dari mulutnya, “Lalu bagaimana dengan Tommy? Seharusnya dia juga tidak boleh menghubungimu selama dua bulan ke depan,” selorohnya meminta keadilan. Gadis di depannya mengangguk. “Aku juga akan memberlakukan hal yang sama untuk Tommy. Dua bulan tanpa telepon, sms, chat WA, email, apalagi ketemuan. Dia pasti tidak keberatan.” “Bagaimana kau tahu?” tanya Moses penasaran. “Karena Tommy sering menuruti apa yang kukatakan.” “Dia takut padamu ya, Jess?” ejek laki-laki itu mencibir. “Tidak seperti aku yang bandel ini.” &n
Semenjak kepergian kakaknya, Jessica mulai rajin pergi ke supermarket membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti deterjen cair untuk mesin cuci, cairan pembersih lantai, mie instan, dan lain sebagainya. Biasanya Jenny yang menyiapkan semua itu. Jessica tinggal memberikan uang belanja saja. Namun keadaan sudah berubah. Gadis itu sekarang tinggal seorang diri. Jadi dia mulai mandiri memantau dan melengkapi benda-benda yang dibutuhkan sehari-hari.Saat melewati lorong yang berisi aneka pembalut wanita, Jessica tiba-tiba teringat sudah lama tidak datang bulan. Padahal biasanya lancar-lancar saja. Coba nanti kuperiksa kalender di rumah tanggal berapa aku terakhir mens, putusnya dalam hati. Diambilnya sebungkus pembalut yang biasa dipakainya dan dimasukkannya ke dalam troli belanjanya. Dia membelinya untuk berjaga-jaga kalau stoknya di rumah sudah menipis.&nb
Air mata mengalir membasahi pipinya yang mulus. “Jangan berpura-pura baik padaku,” cetusnya tajam. “Kalau kau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku, kau pasti akan menertawakanku!”“Mel, aku berjanji takkan melakukannya,” kata Jessica bersungguh-sungguh. “Ayo kita pergi ke suatu tempat untuk bicara baik-baik. Mobilku akan membuntutimu dari belakang. Percayalah, aku akan membantumu sebisaku.”“Mengapa kau mau melakukannya?” tanya Melani heran. “Bukankah kita bermusuhan?”Lawan bicaranya meringis. “Aku tak pernah memusuhimu. Cuma keadaan yang membuat kita berada pada posisi yang berseberangan. Tapi sekarang Tante Wanda sudah tiada. Buat apa kita tetap berseteru?&
Malam harinya Jessica duduk termangu di atas tempat tidurnya. Jam dinding telah menunjukkan pukul sebelas malam, namun gadis itu belum merasa mengantuk. Pikirannya kacau. Teringat olehnya betapa Melani berkeluh-kesah tentang nasibnya yang malang.“Aku hamil anak Tommy, Sica…,” aku gadis itu setelah puas menangis dalam pelukan Jessica di kafe.“Sudah kuduga,” sahut Jessica singkat. Namun tak urung dia merasa cemas juga. Bagaimana caranya meminta Tommy bertanggung jawab, ya? pikirnya bingung. Masih segar dalam ingatannya betapa pemuda itu menampar dan mengusir Melani begitu menyadari dirinya telah dijebak untuk berhubungan intim.“Kalau kau berada dalam posisiku, apa yang akan kau lakukan?” tanya gadis m
Jessica lalu menguraikan persyaratan yang dikehendakinya, “Akan kuadopsi anakmu dengan sah secara hukum. Kau tak berhak lagi atas dirinya. Tapi jangan kuatir. Kelak aku pasti akan memberitahunya tentang jati dirinya yang sebenarnya. Sampai waktu itu tiba, tolong jangan dekati dia kecuali atas persetujuanku. Bagaimana?”“Deal,” jawab gadis di depannya setuju. “Tapi apa yang bisa menjadi jaminan bahwa kau akan menepati ucapanmu?”“Jaminan? Apa maksudmu?” tanya Jessica tak mengerti.“Bagaimana kalau setelah aku mempertahankan kandunganku sampai besar ternyata kau berubah pikiran dan tak jadi mengadopsinya?”
“Lukisannya sebenarnya sudah agak pudar dan plafond ada yang bocor. Maklum sudah hampir delapan tahun tidak pernah dipugar sama sekali. Akhirnya kuminta temanku untuk merenovasi ulang tanpa mengubah tata letak rumah ini. Lukisan itu benar-benar baru, Jess. Aku kan masih menyimpan foto lamanya. Tapi kuminta warnanya lebih menyolok dibandingkan dulu. Terus….” “Ditambahi pelangi,” sela lawan bicaranya menimpali. “Betul,” kata sang tuan rumah membenarkan. “Aku yang memintanya.” “Buat apa? Malah kelihatan rame. Norak,” komentar Jessica menusuk hati. Moses melongo mendengarnya. “Jadi kamu nggak suka? Ya udah, nanti biar kucari orang lain saja yang suka.”
Karena tak tahan menghadapi kebawelan putranya yang ingin segera bertemu dengan Moses, Jessica terpaksa menelepon pria itu. Jantungnya berdegup kencang ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya menyapa ramah, “Halo, Jess.”“Ehm…, ini Nathan mau ngomong,” jawabnya cepat-cepat. Disodorkannya ponselnya pada sang anak yang menerimanya dengan wajah berseri-seri.“Halo, Om Moses?” sapa bocah itu ceria. “Om sekarang berada di mana? Nathan kangen pengen ketemu.”Jessica menyibukkan diri dengan mengetik di laptop. Tak diacuhkannya anaknya yang asyik ngobrol di telepon dengan om-nya tercinta. Tak lama kemudian Nathanael mengembalikan ponselnya.&nb
Dia menawari Moses untuk menginap di rumahnya daripada menghabiskan uang bermalam di hotel. Rumah laki-laki itu masih disewa orang dan baru satu bulan lagi selesai masa sewanya.Moses menerima tawaran itu. Dia tidur di kamar tamu lantai bawah. Kehadirannya membuat Nathanael agak terhibur. Pria itu sering menemaninya bermain dan bercanda sehingga tak bersedih terus-menerus akibat kehilangan ayah kandungnya.Satu minggu telah berlalu. Jenazah Tommy telah dimakamkan di pemakaman umum Surabaya Timur. Jessica agak bingung menghadapi Moses sekarang. Seminggu terakhir ini dia memperlakukan Moses layaknya sahabat lama yang datang berkunjung dan berbelasungkawa atas kepergian suaminya.Sekarang segala urusan mengenai Tommy sudah selesai. Wanita itu menjadi bimbang. Tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap pria
Tiba-tiba pintu apartemennya terbuka. Seorang remaja laki-laki yang parasnya mirip dirinya muncul sambil membawa tas ransel di punggung. Dia adalah William, putra semata wayangnya. Ini hari Jumat, waktunya remaja itu menginap di apartemen ayah tercinta.Pemuda kelas tiga SMP itu sudah biasa naik ojek ataupun taksi online sendiri untuk menuju kediaman Moses. Terkadang ibu kandung atau ayah sambungnya yang mengantarnya dengan mobil sampai ke depan pintu lobi.“Hai, Pa,” sapa William ramah. “Lagi mikirin apa? Kok kelihatannya serius gitu? Kita nanti malam jadi makan di resto all you can eat yang baru buka itu, nggak?” cecarnya bertubi-tubi.Sang ayah mendesah panjang. Dia menatap buah hatinya dengan perasaan sayang. “Duduklah dulu, Nak. Ada hal penting yang mau Papa bicarakan,” ucapnya dengan ekspresi serius.“Heh? What’s wrong?&
“Tidak lagi, Sayang,” jawab suaminya sambil tersenyum. “Di Jakarta Moses merintis pekerjaannya dari awal sebagai agen properti. Setiap hari dihabiskannya dengan bekerja, nge-gym, dan bermain dengan anaknya. William namanya. Sekarang sudah berumur enam belas tahun dan mau masuk SMA. Anak itu sering bertanya kapan papanya menikah lagi. Mamanya sendiri sudah lama membentuk keluarga baru. Tapi Moses cuma ketawa dan bilang sudah tidak tertarik pada wanita.”“Homo, kali!”kata sang istri cuek.“Hush! Nggak boleh sembarangan ngomong,”kata Tommy sembari mengelus-elus pipinya yang tadi ditampar Jessica. Sang istri jadi panik. “Masih sakit, ya?” tanyanya kuatir. “Sebentar kuambilkan waslap dan es batu buat kompres.”&n
Sore harinya waktu suaminya pulang, Jessica bersikap biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia melayani pria itu makan dan minum. Sama sekali tak ditanyakannya hasil pertemuan Tommy dengan pebisnis asal Cina di Jakarta. Justru suaminya itu yang bercerita sendiri tentang pembicaraannya dengan orang asing tersebut.“Sepertinya aku nggak jadi berbisnis dengan orang itu, Sica. Bahasa Inggrisnya parah sekali dan nggak pakai penerjemah. Aku yang cuma bisa sedikit-sedikit bahasa Mandarin kesulitan berkomunikasi dengannya. Daripada di belakang nanti ada apa-apa, lebih baik kuurungkan niatku menjalin kerja sama.”Jessica menatap suaminya tajam. Hebat sekali kamu berbohong, Suamiku Tercinta, sindirnya dalam hati. Dan begonya aku sudah berhasil kau tipu selama ini. Benar-benar tolol kau, Jessica Irawan!&nb
Karena tidak mau bertengkar dengan sang suami, dia akhirnya mengalah. Nah, sekarang tiba-tiba Tommy bilang mau pergi ke Jakarta besok untuk urusan bisnis. Sang istri kuatir pendamping hidupnya itu akan terserang sakit kepala lagi di perjalanan. “Aku temani kamu, ya,” pintanya dengan sorot mata memohon. “Nanti kalau sakit kepalamu kumat lagi bagaimana?” “Aku akan mengajak sopir kita. Dia akan menjagaku. Tapi sebenarnya yang kubutuhkan adalah doamu agar pembicaraan bisnis ini berhasil, Sayang.” “Kamu kan tahu aku selalu mendoakanmu dalam segala hal. Termasuk sakit kepalamu itu. Kubawakan minyak atsiri, ya. Jangan lupa dihirup sesering mungkin. Oleskan juga di dahi dan pelipis untuk mencegah sakit kepala. Kalaupun sakitnya masih muncul, seti
Dua minggu kemudian Tommy pergi menemui pengacaranya. Pria tua yang sudah puluhan tahun menjadi kuasa hukum keluarganya itu menatapnya serius. “Apakah sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu ini, Tom? Perusahaan itu adalah peninggalan keluargamu. Warisan buat anakmu kelak,” nasihatnya gundah. Bagaimanapun juga dia sudah lama sekali menangani aset keluarga Saputra. Ada ikatan antara dirinya dengan keluarga itu yang tak bisa dinilai dengan uang.Tommy tersenyum yakin. “Kesehatan saya tak memungkinkan untuk terus menjalankan perusahaan itu, Pak. Saya juga tidak mau memaksakan istri saya untuk meneruskan bisnis yang tak diminatinya. Dia pernah membantu saya di perusahaan sebelum Nathanael lahir. Selama berbulan-bulan itu saya bisa menilai bahwa minatnya bukan di bisnis pengalengan ikan.”“Kamu k
Gadis itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan rupawan. Mata Jessica berbinar-binar melihatnya. Tommy tersenyum bahagia. Benar kata Moses, batinnya menyadari. Sica sangat mendambakan seorang anak. Berbulan-bulan dia mencari-cari nama yang pas buat calon anak mereka. Kebetulan Melani sudah mengirimkan kabar bahwa janin yang dikandungnya berjenis kelamin laki-laki.“Akhirnya kau beri nama siapa, Sayang?” tanya Tommy sembari merangkul mesra sang istri. Dengan wajah berseri-seri Jessica menjawab, “Nathanael. Artinya hadiah dari Tuhan.”Sang suami mengangguk setuju. Bayi ini memang hadiah dari Tuhan untuk mengisi kekosongan dalam hati istrinya sekaligus menyempurnakan kebahagiaan perkawinan mereka.***Tujuh tahun telah berlalu. Nathanael tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas, baik hati, dan sangat menyayangi kedua orang tuanya. Jessica sudah tidak bekerja di perusaha