Jesse langsung mengerti maksud Boris. Dia segera menganggukkan kepala tanda mengerti harus berbuat apa.Boris sangat memahami orang seperti Mahendra. Jika Mahendra benar-benar bisa bersabar, maka dia tidak akan menjadi seperti sekarang. Mahendra sombong tapi minder. Dia paling takut orang mengatainya bergantung pada perempuan. Jadi dia butuh Audy untuk melakukan hal-hal yang memungkin dia mencapai tujuannya. Dengan begitu, bisa menunjukkan begitu mampunya dia.Saat ini, hanya Audy yang menjadi kandidat terbaik. Karena perasaan Audy adalah modal bagi Mahendra untuk melakukan apa pun yang dia inginkan.Boris menyipitkan matanya. Seringai sinis merekah di sudut bibir tipisnya. Mahendra ingin menipu semua orang sehingga dia bisa melepaskan diri dari semua kesalahan kali ini. Namun, Boris tidak akan membiarkan tujuannya tercapai.Boris terdiam lama, baru berkata lagi, Mahendra akan tetap diam saja untuk sementara waktu. Tapi nggak menutup kemungkinan dia akan gunakan orang lain untuk buat m
Jadi pasti sudah bukan. Oleh karena itu, Zola langsung patah semangat. Dia pun hanya bergumam pelan.“Bu Zola mau bertemu Pak Jesse?” tanya si bibi.“Bertemu atau nggak sama saja. Dia ngomong apa, nggak?”“Nggak ada, Bu.”“Ya sudah, kalau begitu nggak usah bertemu.”Daripada setelah bertemu Jesse, Zola ingin bertanya pada Jesse kapan Boris akan melepaskannya. Jadi lebih baik tidak usah bertemu. Dengan begitu, Zola juga tidak akan merasa kesal.Jesse sedang menunggu di depan pintu. Setelah si bibi menyampaikan perkataan Zola kepadanya, Jesse hanya berkata, “Minta Bu Zola jaga kesehatan baik-baik. Nenek Bu Zola baik-baik saja, nggak perlu khawatir. Besok Dokter Guntur baru kembali. Kemungkinan operasi nenek Bu Zola akan dilakukan beberapa hari ke depan.”Si bibi bertugas sebagai pembawa pesan. Dia pun menyampaikan perkataan Jesse kepada Zola. Setelah mendengarnya, Zola tidak berkata apa-apa lagi. Dia tidak tahu Jesse mengatakan hal itu karena Boris menyuruhnya atau Jesse sendiri yang ing
Audy menjadi bersemangat. Satu-satunya orang yang terpikirkan olehnya hanyalah Mahendra. Karena selain Mahendra, tidak ada yang akan meneleponnya dengan nomor Kota Binru. Jadi itu pasti Mahendra.Setelah Audy bertanya berulang kali, orang itu baru menjawab, “Iya, ini aku.”Audy mendengar suara pria yang berat dan serak. Audy seketika menangis karena gembira. “Baguslah, kamu masih hidup, Kak. Aku tahu kamu pasti masih hidup.”Dibandingkan Audy yang gugup dan gembira, Mahendra terkesan jauh lebih tenang. “Kamu lagi di Kota Binru, kan?” tanya Mahendra.“Iya, aku lagi di Kota Binru. Kamu lagi di mana? Aku pergi cari kamu. Sekarang juga aku ke tempatmu, oke?”Audy sudah tidak sabar untuk bertemu Mahendra. Namun, Mahendra melarangnya. “Nggak boleh. Sekarang belum saatnya. Jadi kamu belum boleh datang bertemu denganku.”“Kenapa?” tanya Audy tak mengerti.“Kalau kamu datang sekarang, aku akan ketahuan. Aku dijebak Boris. Sekarang aku jadi tersangka. Jadi kamu ingin aku ketahuan dan ditangkap?”
Namun, Mahendra tidak tahu apakah Zola juga terlibat dalam rencana Boris untuk melawannya. Sekarang Mahendra hanya bisa menaruh seluruh harapannya pada Audy.Malam berlalu dengan tenang. Keesokan paginya, Audy bangun sekitar pukul tujuh, lalu memeriksa ponselnya sebentar. Sebenarnya dia ingin menelepon nomor itu. Namun, dia takut akan membuat Mahendra dalam masalah. Jadi dia langsung hapus nomor itu, tapi dia ingat-ingat dalam hati.Audy bangun, mandi sarapan, lalu langsung pergi ke kantor polisi. Dia menjelaskan situasinya kepada polisi seperti yang diperintahkan Mahendra. Pihak polisi bertanya, “Kecelakaan terjadi sejak dua malam yang lalu. Kenapa sekarang baru datang melapor?”“Karena aku ingin tunggu dia pulang. Tapi sampai sekarang dia nggak pulang-pulang. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku nggak punya siapa-siapa di Kota Binru. Aku hanya bisa datang minta bantuan kalian. Aku mohon, kalian harus temukan dia. Nggak peduli kesalahan apa pun yang dia lakukan, selama kalian bisa t
Boris tertawa pelan ketika mendengar ucapan kakeknya. "Aku pulang untuk temani Kakek rapikan tanaman.""Huh, aku nggak mampu bayar gaji kamu." Hartono tidak ingin bertemu Boris."Bukan Kakek yang suruh aku kerja. Aku datang sendiri." Boris juga tidak takut.Boris membantu kakaknya menyiram tanaman. Sikapnya boleh dibilang sangat baik. Apa pun yang kakeknya katakan, Boris tidak akan membantah. Satu jam kemudian, Hartono yang selesai mengurus tanamannya baru buka suara."Katakan saja. Ada apa?"Boris tertawa pelan, lalu dia berkata dengan serius, "Kakek kangen Zola? Bagaimana kalau aku suruh dia ke sini temani Kakek selama dua hari?"Hartono tidak menjawab. Dia hanya menatap Boris dengan dingin. Tatapan matanya seolah berkata, apa lagi yang bocah tengik ini rencanakan?Boris tahu kakeknya tidak senang. Dia pun bertanya, "Ada apa? Memangnya Kakek nggak mau bertemu Zola?""Langsung ke intinya saja. Apa yang ingin kamu lakukan?""Di pikiran Kakek, memangnya aku ini orang seperti apa? Yang b
“Apa maksudmu? Kamu merasa aku baik pada Zola karena ada tujuan lain? Kamu lupa kalau kakeknya pernah bantu aku? Kalau memang harus ada alasan kenapa aku baik padanya, karena kakeknya sudah tiada. Aku mau balas budi kakeknya dengan balas ke dia,” kata Hartono dengan dingin.“Tapi Zola bukan satu-satunya anak di keluarga Leonarto. Jadi Kakek agak pilih kasih.”“Bocah tengik! Coba kamu ngomong sekali lagi?”Hartono marah sampai suaranya berubah. Dia memutar bola matanya. Boris sungguh hanya tahu cara membuatnya marah.Boris terdiam. Dia hanya menatap kakeknya dalam diam. Suasana pun menjadi sunyi. Sejak kecil, Boris selalu memiliki pendirian dan pendapatnya sendiri. Jadi keluarganya tidak mengkhawatirkannya dalam banyak hal. Mereka tenang saja membiarkan Boris melakukan segalanya. Sebelum lulus kuliah, Boris sudah membantu ayahnya mengelola Morrison Group. Setelah lulus, dia pun mengambil alih sepenuhnya. Hingga saat ini, Morrison Group berkembang dengan sangat baik.Boris hampir tidak
Wanto menundukkan kepalanya, tidak tahu harus berbuat apa. Setelah terdiam sejenak, dia baru berkata dengan suara pelan, “Saya tahu masalah ini sudah mengakibatkan banyak kerugian bagi Morrison Group. Saya juga mengerti nggak ada yang perlu dikasihani dari dia. Saya hanya kasihan orang tua dan anak istrinya. Selama ini dia kerja di bawah bimbingan saya. Sejujurnya, saya juga bertanggung jawab karena dia berubah menjadi seperti ini.”Meskipun Wanto tahu dia tidak seharusnya memohon keringanan untuk Ales, Wanto tidak bisa duduk diam saja. Selama bicara dengan Boris, Wanto sudah bersikap sangat merendah. Dia terus menundukkan kepala dan bicara dengan tulus. Sama sekali tidak ada sikap melawan.Namun, Boris tidak akan melepaskan siapa pun yang mencelakai Morrison Group. Jadi pada akhirnya, dia tetap menolak. Wanto yang sudah pupus harapannya tidak berkata apa-apa lagi. Sejak awal dia memang mencoba, tidak berekspektasi tinggi.Akan tetapi, tepat ketika Wando berdiri dan hendak pamit pergi,
“Oke, kamu perhatian sekali. Kemarin Dokter Guntur juga datang dan beritahu Nenek.”Sang nenek tersenyum, matanya dipenuhi kelegaan. Tentu saja dia tahu semua ini karena Zola. Dia berpikir sejenak, lalu berkata kepada Boris, “Setiap operasi ada risiko. Aku nggak tahu apakah aku bisa bertahan di ruang operasi. Boris, kalau terjadi sesuatu pada Nenek, kamu harus beritahu Zola, jangan sedih, juga jangan merasa bersalah. Dia sudah penuhi baktinya.”“Nenek, Zola nggak mau dengar Nenek ngomong seperti itu. Jadi Nenek jangan ngomong seperti itu lagi, oke?”Boris langsung memotong dengan sikap serius. Nenek Zola hanya tersenyum, tapi matanya sedikit berkaca-kaca. Bagaimanapun juga, dia sudah tua. Tetap saja ada rasa tidak aman. Namun demi bisa hidup beberapa tahun lagi, dia akan berusaha bertahan dan bertaruh.Boris menemani nenek Zola makan malam. Sebelum pergi, dia berjanji pada sang nenek kalau Zola akan datang ke rumah sakit. Nenek Zola menganggukkan kepala. Setelah keluar dari bangsal, Bo
Mahendra tidak langsung menjawab, dia hanya bertanya dengan suara pelan, “Kamu benar-benar ingin bantu aku?”Audy segera menganggukkan kepalanya dengan tanpa ragu. Mahendra baru berkata dengan tenang, “Aku butuh uang untuk bangun perusahaan baru, lalu lawan Morrison Group secara diam-diam. Aku yakin dengan kemampuanku, perusahaan ini akan berjalan dengan baik. Setelah berhasil kalahkan Boris, aku juga jadi punya prestasi. Itu akan jadi bentuk ketulusanku untuk lamar kamu. Gimana menurutmu?”Wajah Audy tiba-tiba memerah. Dia pun berkata dengan malu-malu, “Apa yang kamu bicarakan, Kak? Sekarang aku hanya tanya kamu gimana cara kamu hadapi Boris. Kenapa kamu malah bicarakan hal itu?”“Memangnya kamu nggak mau nikah sama aku?”“Mau, tentu saja aku mau.” Audy cepat-cepat menjawab sambil menatap Mahendra dengan malu-malu, seperti seorang gadis remaja yang baru jatuh cinta.Keduanya bersitatap, Mahendra membelai pipi Audy dengan lembut. Kemudian, dia membungkuk dan mencium kening Audy.“Audy,
Jadi Audy tidak berani menuntut terlalu banyak dari Mahendra. Dia takut akan merusak hubungan di antara mereka. Namun setelah itu, Zola datang ke kehidupan Mahendra. Audy tahu Mahendra menyukai Zola. Audy dikuasai oleh rasa cemburu. Sejak itu, hubungan di antara Audy dan Mahendra perlahan-lahan mulai berubah.Suasana saat ini membuat Audy merasa seakan-akan kembali ke masa sebelum Mahendra mengenal Zola. Mahendra kembali ke dirinya yang lembut dan penuh perhatian.Audy mengerutkan bibirnya, lalu bertanya, “Kak, apakah di hatimu masih ada Zola?”Kelopak Mahendra berkedut. Kemudian, dia mengalihkan tatapannya dan berkata dengan suara lembut, “Aku hanya tertarik padanya sesaat di awal pertemuan. Kami sama-sama nggak punya perasaan terhadap satu sama lain.”Mereka berdua tidak memiliki perasaan terhadap satu sama lain. Apakah mereka berdua menyukai orang lain? Jadi Mahendra tidak menyukai Zola?“Bukannya kamu suka sama Zola?” tanya Audy yang tampak kurang yakin.“Tentu saja nggak,” jawab M
“Nggak akan,” jawab Mahendra. Kemudian, dia mengganti topik pembicaraan. “Kamu sudah ke kantor polisi.”“Sudah. Awalnya mereka menyalahkan aku karena lambat sekali baru pergi melapor. Tapi aku sudah ngomong sesuai yang kamu suruh. Mereka pun nggak menyulitkan aku lagi. Sebaliknya, mereka malah hibur aku dan bilang akan berusaha keras untuk cari kamu.”Audy menceritakan semua kepada Mahendra tentang apa yang terjadi ketika dia pergi ke kantor polisi. Setelah mendengar cerita Audy, Mahendra tidak banyak berkata. Dia hanya berkata, “Terima kasih.”Namun, kedua kata tersebut membuat orang merasa asing. Jadi Audy langsung menangis dan bertanya, “Apa maksudmu, Kak? Sekarang kamu anggap aku orang luar?”Mahendra mengulurkan tangan untuk menyeka air mata Audy sambil menatapnya dengan lembut, “Aku nggak anggap kamu sebagai orang luar. Aku hanya takut buat kamu terlibat.”Audy menangis kian menjadi. Hatinya penuh dengan perasaan haru. Terutama saat dihadapkan dengan sikap lembut Mahendra. Dia su
“Oke, kamu perhatian sekali. Kemarin Dokter Guntur juga datang dan beritahu Nenek.”Sang nenek tersenyum, matanya dipenuhi kelegaan. Tentu saja dia tahu semua ini karena Zola. Dia berpikir sejenak, lalu berkata kepada Boris, “Setiap operasi ada risiko. Aku nggak tahu apakah aku bisa bertahan di ruang operasi. Boris, kalau terjadi sesuatu pada Nenek, kamu harus beritahu Zola, jangan sedih, juga jangan merasa bersalah. Dia sudah penuhi baktinya.”“Nenek, Zola nggak mau dengar Nenek ngomong seperti itu. Jadi Nenek jangan ngomong seperti itu lagi, oke?”Boris langsung memotong dengan sikap serius. Nenek Zola hanya tersenyum, tapi matanya sedikit berkaca-kaca. Bagaimanapun juga, dia sudah tua. Tetap saja ada rasa tidak aman. Namun demi bisa hidup beberapa tahun lagi, dia akan berusaha bertahan dan bertaruh.Boris menemani nenek Zola makan malam. Sebelum pergi, dia berjanji pada sang nenek kalau Zola akan datang ke rumah sakit. Nenek Zola menganggukkan kepala. Setelah keluar dari bangsal, Bo
Wanto menundukkan kepalanya, tidak tahu harus berbuat apa. Setelah terdiam sejenak, dia baru berkata dengan suara pelan, “Saya tahu masalah ini sudah mengakibatkan banyak kerugian bagi Morrison Group. Saya juga mengerti nggak ada yang perlu dikasihani dari dia. Saya hanya kasihan orang tua dan anak istrinya. Selama ini dia kerja di bawah bimbingan saya. Sejujurnya, saya juga bertanggung jawab karena dia berubah menjadi seperti ini.”Meskipun Wanto tahu dia tidak seharusnya memohon keringanan untuk Ales, Wanto tidak bisa duduk diam saja. Selama bicara dengan Boris, Wanto sudah bersikap sangat merendah. Dia terus menundukkan kepala dan bicara dengan tulus. Sama sekali tidak ada sikap melawan.Namun, Boris tidak akan melepaskan siapa pun yang mencelakai Morrison Group. Jadi pada akhirnya, dia tetap menolak. Wanto yang sudah pupus harapannya tidak berkata apa-apa lagi. Sejak awal dia memang mencoba, tidak berekspektasi tinggi.Akan tetapi, tepat ketika Wando berdiri dan hendak pamit pergi,
“Apa maksudmu? Kamu merasa aku baik pada Zola karena ada tujuan lain? Kamu lupa kalau kakeknya pernah bantu aku? Kalau memang harus ada alasan kenapa aku baik padanya, karena kakeknya sudah tiada. Aku mau balas budi kakeknya dengan balas ke dia,” kata Hartono dengan dingin.“Tapi Zola bukan satu-satunya anak di keluarga Leonarto. Jadi Kakek agak pilih kasih.”“Bocah tengik! Coba kamu ngomong sekali lagi?”Hartono marah sampai suaranya berubah. Dia memutar bola matanya. Boris sungguh hanya tahu cara membuatnya marah.Boris terdiam. Dia hanya menatap kakeknya dalam diam. Suasana pun menjadi sunyi. Sejak kecil, Boris selalu memiliki pendirian dan pendapatnya sendiri. Jadi keluarganya tidak mengkhawatirkannya dalam banyak hal. Mereka tenang saja membiarkan Boris melakukan segalanya. Sebelum lulus kuliah, Boris sudah membantu ayahnya mengelola Morrison Group. Setelah lulus, dia pun mengambil alih sepenuhnya. Hingga saat ini, Morrison Group berkembang dengan sangat baik.Boris hampir tidak
Boris tertawa pelan ketika mendengar ucapan kakeknya. "Aku pulang untuk temani Kakek rapikan tanaman.""Huh, aku nggak mampu bayar gaji kamu." Hartono tidak ingin bertemu Boris."Bukan Kakek yang suruh aku kerja. Aku datang sendiri." Boris juga tidak takut.Boris membantu kakaknya menyiram tanaman. Sikapnya boleh dibilang sangat baik. Apa pun yang kakeknya katakan, Boris tidak akan membantah. Satu jam kemudian, Hartono yang selesai mengurus tanamannya baru buka suara."Katakan saja. Ada apa?"Boris tertawa pelan, lalu dia berkata dengan serius, "Kakek kangen Zola? Bagaimana kalau aku suruh dia ke sini temani Kakek selama dua hari?"Hartono tidak menjawab. Dia hanya menatap Boris dengan dingin. Tatapan matanya seolah berkata, apa lagi yang bocah tengik ini rencanakan?Boris tahu kakeknya tidak senang. Dia pun bertanya, "Ada apa? Memangnya Kakek nggak mau bertemu Zola?""Langsung ke intinya saja. Apa yang ingin kamu lakukan?""Di pikiran Kakek, memangnya aku ini orang seperti apa? Yang b
Namun, Mahendra tidak tahu apakah Zola juga terlibat dalam rencana Boris untuk melawannya. Sekarang Mahendra hanya bisa menaruh seluruh harapannya pada Audy.Malam berlalu dengan tenang. Keesokan paginya, Audy bangun sekitar pukul tujuh, lalu memeriksa ponselnya sebentar. Sebenarnya dia ingin menelepon nomor itu. Namun, dia takut akan membuat Mahendra dalam masalah. Jadi dia langsung hapus nomor itu, tapi dia ingat-ingat dalam hati.Audy bangun, mandi sarapan, lalu langsung pergi ke kantor polisi. Dia menjelaskan situasinya kepada polisi seperti yang diperintahkan Mahendra. Pihak polisi bertanya, “Kecelakaan terjadi sejak dua malam yang lalu. Kenapa sekarang baru datang melapor?”“Karena aku ingin tunggu dia pulang. Tapi sampai sekarang dia nggak pulang-pulang. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku nggak punya siapa-siapa di Kota Binru. Aku hanya bisa datang minta bantuan kalian. Aku mohon, kalian harus temukan dia. Nggak peduli kesalahan apa pun yang dia lakukan, selama kalian bisa t
Audy menjadi bersemangat. Satu-satunya orang yang terpikirkan olehnya hanyalah Mahendra. Karena selain Mahendra, tidak ada yang akan meneleponnya dengan nomor Kota Binru. Jadi itu pasti Mahendra.Setelah Audy bertanya berulang kali, orang itu baru menjawab, “Iya, ini aku.”Audy mendengar suara pria yang berat dan serak. Audy seketika menangis karena gembira. “Baguslah, kamu masih hidup, Kak. Aku tahu kamu pasti masih hidup.”Dibandingkan Audy yang gugup dan gembira, Mahendra terkesan jauh lebih tenang. “Kamu lagi di Kota Binru, kan?” tanya Mahendra.“Iya, aku lagi di Kota Binru. Kamu lagi di mana? Aku pergi cari kamu. Sekarang juga aku ke tempatmu, oke?”Audy sudah tidak sabar untuk bertemu Mahendra. Namun, Mahendra melarangnya. “Nggak boleh. Sekarang belum saatnya. Jadi kamu belum boleh datang bertemu denganku.”“Kenapa?” tanya Audy tak mengerti.“Kalau kamu datang sekarang, aku akan ketahuan. Aku dijebak Boris. Sekarang aku jadi tersangka. Jadi kamu ingin aku ketahuan dan ditangkap?”