Zola menghabiskan sepanjang hari dalam kegelisahan. Hatinya tidak bisa tenang. Dia seperti seorang siswa yang akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, begitu gugup dan khawatir.Namun, apa yang harus dihadapi pada akhirnya tetap harus dihadapi. Apa pun yang terjadi, Zola tidak bisa menghindarinya selamanya.Zola tidak pergi ke perusahaan selama dua hari. Mahendra juga tidak pernah menghubunginya. Akan tetapi, Mahendra masih pergi dan pulang kerja tepat waktu seperti biasa. Jeni tahu soal itu dari Caca.Jeni pun mengomel di depan Zola, “Aku harus akui kalau Mahendra benar-benar orang yang licik. Kamu lihat saja. Dia sudah lakukan banyak hal, tapi sama sekali nggak merasa bersalah bahkan nggak panik. Dia juga nggak takut ditangkap. Sampai sekarang, nggak ada niat mau melarikan diri. Niatnya apa, sih?”Zola tidak memberikan tanggapan apa pun. Zola masih dalam pergulatan batin. Di satu sisi, Mahendra melakukan semua itu demi dirinya. Meskipun Zola tidak akan pernah terima kebaikan sepe
“Kamu rasa apa lagi yang bisa kita temukan?” Boris tertawa sinis. Seandainya bisa menemukan apa yang ingin dia tahu, pasti sudah ditemukan sejak awal.Boris langsung menutup telepon dan melempar ponselnya ke atas meja. Wajahnya muram dan dingin. Dia bergumam dalam hati, “Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku, Zola?”Boris berdiam diri di ruang kerjanya cukup lama. Sekitar pukul sebelas, Zola mengetuk pintu. Kemudian, dia bertanya sambil berdiri di depan pintu, “Boris, kamu sudah selesai, belum?”“Hmm.” Boris bergumam dengan suara serak.Zola tertegun, lalu bertanya dengan suara pelan, “Kamu kenapa? Nggak enak badan?”Ada yang aneh dengan suara Boris. Zola melihat Boris menutup laptop, lalu berdiri dan berjalan ke arahnya. Pria itu pun berkata dengan santai, “Nggak apa-apa. Sudah mau tidur, ya?”Zola menganggukkan kepala sambil menatap wajah Boris. Namun, tidak ada yang janggal dengan ekspresi pria itu. Jadi Zola juga tidak terlalu memikirkannya.Setelah kembali ke kamar, Zola ber
Tedy hanya ingin mendengar Boris meminta bantuannya dengan cara baik-baik. Namun, terkadang orang tidak boleh berharap terlalu banyak. Kalau tidak, pada akhirnya yang rugi dia sendiri.Setelah Tedy selesai bicara, Boris hanya mendengus sinis, lalu berkata dengan tenang, “Jadi kamu menolak? Oke, yang penting kamu sudah pikir baik-baik sebelum ambil keputusan. Aku harap kamu ingat kata-katamu hari ini. Kalau kelak kamu menyesal, ingat, di dunia ini nggak ada obat untuk penyesalan.”Usai berkata, Boris hendak menutup telepon. Tedy melihat Boris benar-benar serius. Dia pun segera berkata, “Aku nggak bilang nggak mau bantu kamu. Nggak usah terburu-buru dulu. Jangan marah. Mulai besok, aku akan awasi Sedam Residence. Oke?”“Hmm.”Boris menanggapi dengan acuh tak acuh. Tedy merasa antusiasme dirinya dibalas dengan sikap dingin. Namun, karena mereka sudah berteman selama bertahun-tahun lamanya, dia hanya bisa bersabar.“Apa yang akan kamu lakukan, Boris? Kamu bisa bocorkan sedikit ke aku. Biar
Boris memasang wajah datar, sorot matanya juga tenang. “Sekitar dua atau tiga hari. Sekarang belum pasti.”“Kalau begitu hati-hati, jaga diri baik-baik. Nanti aku akan kemaskan barang-barang bawaanmu,” ujar Zola dengan suara pelan.Boris hanya mengiyakan dengan bergumam pelan. Kemudian, Zola bangun dan cuci muka dulu. Setelah itu mulai mengemasi barang bawaan Boris. Usai sarapan, Boris langsung pergi. Setelah melihat Boris masuk ke dalam lift, Zola baru menutup pintu apartemennya.Boris turun dari apartemen dengan lift. Jesse sudah menunggunya di tempat parkir. Begitu melihat koper di tangan Boris, dia segera turun dari mobil dan mengambil koper Boris.Setelah masuk ke dalam mobil, Jesse baru bertanya, “Sekarang kita pergi ke mana, Pak?”“Cari hotel dekat Morrison Group. Kamu langsung beritahu kantor sekretaris tentang rencana perjalananku. Kalau ada yang tanya, suruh mereka langsung umumkan kalau aku sedang dalam perjalanan bisnis ke Kota Sabota.”Usai berkata, Boris menyipitkan mata
Sekitar satu jam kemudian, Zola mencoba menelepon Boris lagi. Namun, dia baru menyadari kalau ponselnya tidak ada sinyal.Zola mengerutkan kening dan berjalan ke depan jendela, tapi masih tidak ada sinya. Zola merasa aneh. Dia langsung menggunakan telepon Sedam Residence, tapi dia mendengar bunyi bip dari telepon.Zola semakin bingung. Dia memanggil pelayan dan bertanya, “Kenapa nggak ada sinyal? Boris matikan jaringan di rumah?”“Saya juga nggak tahu, Bu,” jawab si bibi.Zola merasa tidak berdaya. Dia segera berjalan ke pintu, hendak keluar untuk mencoba apakah ponselnya tetap tidak ada sinyal.Namun, Zola baru saja membuka pintu, kakinya bahkan belum melangkah keluar. Tiba-tiba. Ada dua pengawal yang langsung datang menghentikannya.“Maaf, Bu Zola nggak boleh keluar.” Si pengawal menundukkan kepala dan berkata dengan sangat sopan.Namun, Zola tidak senang. Dia langsung bertanya, “Apa maksudmu aku nggak boleh keluar?”“Bu Zola, jangan persulitkan kami. Kami juga hanya ikuti perintah P
Zola mengernyitkan kening. Wajahnya tampak pucat pasi. Ditambah lagi, sepanjang hari ini dia memang tidak makan banyak. Jadi si bibi langsung menganggukkan kepala dan bergegas turun ke lantai bawah.Zola menutup pintu dan berbaring di tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamar tanpa bergerak, menunggu Guntur datang dengan tenang.Sekitar setengah jam kemudian, suara mesin mobil terdengar di luar jendela. Zola langsung bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar bahkan tanpa memakai sandal. Zola turun ke lantai bawah. Baru sampai di belokan tangga, dia melihat dokter yang masuk dari luar.Si bibi hendak membawa dokter ke atas. Begitu mendongak, dia melihat Zola berdiri di sana. Si bibi langsung bertanya, “Dokter sudah datang, Bu. Mau periksa di bawah atau di kamar saja, Bu?”Zola melirik dokter yang berdiri di sebelah si bibi. Zola tidak pernah melihat dokter itu sebelumnya.“Boris yang suruh dia datang?” tanya Zola.“Bu Zola, Pak Jesse yang suruh saya ke sini. Bu Zola sakit perut?”
Namun setelah membuka pintu, Boris perlahan-lahan menjadi tenang kembali. Hasil pemeriksaan kehamilan Zola selama ini selalu sangat bagus. Biasanya juga tidak apa-apa. Jadi seharusnya Zola baik-baik saja.Namun, Boris tetap tidak bisa menganggap enteng. Jadi dia memilih menghubungi Guntur dan menyuruh Guntur untuk atur salah satu dokter pergi ke sana. Kemudian, Boris bertanya kepada Guntur, “Di usia kehamilannya sekarang, seharusnya nggak apa-apa, kan?”“Pada dasarnya nggak akan kenapa-napa. Dilihat dari data pemeriksaan, kamu bisa tenang. Tapi aku akan atur salah satu muridku pergi ke sana untuk periksa. Kamu juga bisa yakin.”“Oke.”Ekspresi Boris masih tegang. Setelah menutup telepon, dia berdiri di depan jendela dengan tangan terlipat di depan dada. Wajah tampannya tampak begitu tegang.Boris tetap seperti itu sampai Guntur meneleponnya. Setelah mendapat jawaban Guntur, Boris baru merasa lega. Pada saat yang sama, amarah meluap di dalam lubuk hatinya. Perlahan-lahan, emosi mengambi
“Ini aku.”“Hmm. Ada apa?”Percakapan keduanya sangat dingin. Si pria berkata dengan suara berat, “Kamu lagi cari Zola, ya?”“Kamu tahu dia pergi ke mana?” tanya Jeni dengan nada mendesak.“Nggak tahu, tapi dia baik-baik saja. Sementara kamu jangan ikut campur dalam masalah ini dulu. Zola istrinya Boris, sekarang di sedang hamil. Hal yang kamu khawatirkan nggak akan terjadi,” kata si pria.Telepon itu dari Tedy. Meskipun Tedy seolah-olah tidak mengatakan apa pun, itu sudah termasuk jawaban bagi Jeni. Yang penting Zola baik-baik saja.Jeni pun memiliki gambaran kasar di benaknya. Dia mengerti mengapa Zola tiba-tiba tidak dapat dihubungi. Antara Zola sudah mengaku kepada Boris tentang Mahendra, atau Boris sendiri yang sudah mengetahuinya.Apa pun itu, ini adalah masalah antara Zola dan Boris. Jadi Jeni hanya bisa menunggu kabar dari Zola. Setelah Jeni mendengar jawaban Tedy, dia terdiam sebentar, lalu bergumam pelan. Kemudian, tidak ada yang bicara.Keduanya menunggu satu sama lain untuk
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum