Zola terkejut seketika. Dia bertanya, “Tyara bersama dengan kakakmu?”“Tentu saja nggak,” jawab Audy segera menyangkal.“Lalu apa maksudmu?” tanya Zola lagi.“Aku hanya nggak ingin dia terlalu dekat dengan kakakku. Aku nggak mau melihat mereka memiliki interaksi apa pun.” Emosi Audy jadi makin menggebu tanpa disadari. Dia tidak ingin Mahendra jatuh cinta pada wanita lain lagi. Satu Zola saja sudah cukup membuatnya jengkel dan pusing, dia tidak ingin hal itu terjadi lagi.Namun, dia juga tidak ingin bertindak secara langsung, karena dia tidak ingin melakukan apa pun yang membuat Mahendra tidak senang. Jadi, Zola adalah pilihan terbaik. Selama Zola menjauhkan Tyara dari sisi Mahendra, maka dialah yang akan menjadi pemenang terakhir.Memikirkan hal itu membuat Audy tidak bisa menahan senyum di wajahnya. Dia berkata, “Zola, ini mudah untukmu. Kamu hanya perlu memberi tahu kakakku bahwa kamu nggak menyukai Tyara dan tidak ingin dia sering berhubungan dengannya. Kakakku pasti akan mendengark
Namun, hal ini tidak semudah yang dibayangkan. Pagi tadi, setelah mengikuti Mahendra, agar tidak ketahuan, Zola dan Jeni harus berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.Sekitar pukul tiga sore, lelaki itu kembali dengan membawa buah dan kue, lalu langsung menuju ke kantor Zola. Mahendra berkata, “Aku membelikanmu sedikit makanan.”Zola menerimanya dan bertanya, “Kenapa beli sebanyak ini? Urusanmu sudah selesai?”Dia menatap mata Mahendra dengan saksama, tidak melewatkan sedikit pun ekspresi lelaki itu. Mahendra mengangguk dan menjawab, “Ya, sudah selesai.”Zola hanya berdeham dan tidak berkata apa pun lagi. Mahendra juga tidak lama mengganggunya dan hanya berkata, “Bagikan makanan ini dengan Jeni, aku sengaja membelikan lebih banyak untuk satu orang lagi.”“Baik.” Zola mengangguk dan kemudian berkata, “Kalau begitu, aku nggak usah mengucapkan terima kasih.”Mahendra hanya tersenyum, tampaknya puas karena perempuan itu tidak mengucapkan terima kasih. Setelah Mahendra keluar, senyum di
Zola menggigit bibirnya pelan dan bertanya dengan suara rendah, “Kamu pergi ke mana? Kenapa nggak pulang untuk makan malam?”“Aku piker, ke mana pun aku pergi nggak penting, lagipula sepanjang hari nggak ada telepon atau pesan untukku, ‘kan?” balas Boris dengan nada sinis.Zola tersenyum tidak berdaya dan berkata, “Tapi kamu juga nggak meneleponku, ‘kan?”“Jadi, harus aku yang menghubungimu lebih dulu? Kenapa kamu nggak bisa mencariku duluan?” Dia menyipitkan mata, bertanya dengan nada dingin.Zola tidak menjawab dan hanya bertanya, “Boris, apakah kamu benar-benar ingin terus berbicara seperti ini denganku?”Tatapan Boris tersentak dan kemudian dia menatap wanita yang duduk di sofa itu. Wajah Zola memberikan kesan lembut, tetapi sebenarnya ketika dia bersikap tegas, tidak ada yang bisa menandingi dirinya. Terutama memikirkan bahwa di hati perempuan itu ada orang lain, membuat Boris merasa marah.Matanya menyipit dan dia berkata dengan suara rendah, “Sudah malam, mandi dan istirahatlah
"Baik." Dia mengangguk, "Terima kasih, Boris."Dia menyipitkan mata menatapnya, suaranya dalam dan berkata, "Kalau benar-benar ingin berterima kasih, jangan sering membuatku marah, ya?"Zola sedikit terkejut. Setelah lelaki itu menatapnya dalam-dalam, dia berbalik dan berjalan ke arah pintu. Suara pintu tertutup terdengar, dan barulah Zola perlahan tersadar. Dalam hatinya dia merasa sedikit bingung dan bertanya-tanya. Sejak kapan dirinya sering membuatnya marah?Bagaimanapun juga, ini bisa dianggap sebagai kemajuan.Sebenarnya, Zola tidak harus meminta bantuan Boris. Dia bisa saja menggunakan sumber dayanya sendiri untuk menyelidiki asal usul topi itu. Namun, setelah dipikirkan dengan matang, akhirnya dia memutuskan untuk meminta bantuan Boris saja.Jesse segera menghubunginya dan merekomendasikan seorang desainer barang mewah, seorang desainer perempuan yang memiliki koneksi dan hubungan baik dengan berbagai merek ternama. Zola juga tahu tentang orang ini, namanya Lusi.Dengan Boris s
Ulang tahun Zola sekitar setengah bulan lagi, tetapi dia jarang merayakan ulang tahunnya. Dulu, ketika masih di Jantera, dia akan makan bersama Jeni atau Mahendra. Setelah kembali ke Kota Binru, ulang tahun pertamanya dirayakan setelah menikah dengan Boris dan dia melewatinya sendirian.Hari itu, Boris sibuk dengan pekerjaannya dan Zola juga tidak mengatakan apa-apa. Dia masih ingat bahwa Mahendra sangat marah karena itu. Dia merasa bahwa Boris tidak melakukan tugasnya sebagai suami. Jika bukan karena dia menghentikannya, lelaki itu mungkin akan menemui Boris untuk meminta penjelasan.Memikirkan semua ini membuat hati Zola merasa tidak nyaman. Meskipun saat ini kelihatannya Mahendra memang melakukan kesalahan. Orang lain boleh menyalahkannya, tetapi hanya Zola yang tidak bisa.Zola tidak segera memberi jawaban kepada Jeni dan hanya berkata, "Lihat saja nanti, hari ini kita sudah lelah, mari pulang lebih awal."Keduanya membereskan barang-barang mereka dan keluar dari kantor. Di luar su
Meskipun tujuan sebenarnya adalah mencari catatan pembelian Audy, Zola dan Jeni memutuskan mengeluarkan sebuah kalung agar alasan untuk hal ini lebih masuk akal. Jadi jawaban Zola tidak dianggap sebagai kebohongan. Setelah mendengarnya, Boris hanya mengangguk dan berkata,"Kalau ada yang dibutuhkan, langsung saja hubungi Jesse, dia akan mengaturnya, oke?""Oke." Zola juga tidak ragu untuk mengangguk, tetapi dia tidak tahan untuk bertanya, "Apakah ini termasuk menggunakan koneksi orang dalam?"Boris tersenyum tipis dan bertanya, "Menurutmu?""Seharusnya nggak, ‘kan?""Kenapa? Takut aku minta imbalan?"Wajah tampannya dan bibir tipisnya mengisyaratkan senyum lembut yang memberi kesan menenangkan seperti angin musim semi. Malam itu, saat berbaring di tempat tidur, Boris yang jarang tidak membaca buku malah sibuk dengan ponselnya. Zola penasaran dan bertanya, "Sedang berbincang tentang apa?"Lelaki itu langsung menyerahkan ponselnya pada Zola. Layar memperlihatkan percakapan dengan Tedy. D
Zola terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan sedikit kaku. Dia berkata, "Baik, aku mengerti."Boris memandangnya sejenak, lalu mengangkat dagunya sedikit dengan jarinya. Lelaki itu menundukkan untuk mencium bibirnya. Baru setelah itu dia merasa puas dan berbalik untuk keluar dari rumah.Namun, Zola hanya terdiam saja. Ucapan Boris tadi membuatnya merasa sedikit gugup. Apakah lelaki itu tengah memberikan isyarat tentang sesuatu?Namun, kemudian dia merasa itu tidak mungkin. Jika dia tahu sedikit saja, dia pasti akan menyelidikinya, dan tidak hanya memberi isyarat secara samar. Pemikiran tersebut membuat Zola merasa lega.Pagi itu, setelah tiba di kantor, Zola mulai sibuk bekerja. Dia memeriksa hasil sketsa kreatif dari Caca dan dua temannya. Ada dua ide desain yang cukup bagus dan bisa digunakan, jadi dia memberikan arahan pada mereka agar mengikuti pemikirannya.Setelah itu, dia mengajari mereka cara memanfaatkan inspirasi yang berguna dan membuang hal-hal yang tidak relevan. Kesibukan i
Zola mengangguk lalu berdiri dan meninggalkan kamar rumah sakit. Namun, tidak lama setelah dia pergi, Boris tiba. Keduanya sama sekali tidak berpapasan, terlewat begitu saja.Melihat Boris, neneknya tersenyum dan berkata, "Apakah kamu sengaja datang saat Zola baru saja pergi?""Dia sudah pergi?"Boris kebetulan sedang bertemu klien kerja sama di dekat situ. Dia tahu Zola berada di rumah sakit, jadi dia sengaja mampir. Mendengar dari Nenek bahwa Zola baru saja pergi, dia segera menghubungi ponsel perempuan itu. Tersambung tetapi tidak diangkat. Matanya menyipit, menunjukkan ekspresi yang samar.“Dia mungkin sedang mengemudi,” kata Nenek. “Di sini nggak ada masalah. Kamu mau mencarinya ke kantornya?”Boris tersenyum lembut dan berkata, “Nggak perlu, aku mau mengobrol dengan Nenek.”“Benaran nggak perlu?” Nenek juga ikut tersenyum.Dia mengangguk menegaskan, “Benar nggak perlu. Bagaimana kondisi Nenek beberapa hari ini?”Boris berbicara dengan Nenek tanpa menunjukkan perasaan yang tidak s
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum