Zola masih menatap Mahendra. Dia mengangguk pelan dan menjawab, “Hmm, iya.”“Bukannya CCTV di lokasi dihancurkan? Polisi umumkan hasil penyelidikan. Tapi ada banyak orang yang berikan saran. Aku lihat polisi selidiki satu per satu tapi nggak temukan apa pun.”Boleh dibilang hampir tidak ada masalah dalam jawaban Mahendra. Namun, justru karena tidak ada masalah. Itulah masalah paling besar.Zola tidak beranggapan dalam keadaan normal seseorang masih akan menjawab pertanyaan dari orang lain setelah menanyakan pertanyaan kepada orang itu. Jadi, apakah Mahendra mencoba menyembunyikan sesuatu?Hati Zola sedang kacau. Ada perasaan yang terlukiskan dalam hatinya, membuatnya sangat tidak nyaman.Zola mengerutkan bibir dan berkata, “Polisi jelas akan umumkan apa yang bisa diumumkan. Mereka nggak akan umumkan sesuatu yang nggak bisa diumumkan.”Jawaban Zola terkesan samar-samar, seperti sedang menutupi sesuatu, tapi itu justru membuat orang semakin penasaran dan mulai berspekulasi.Namun, Mahend
“Kenapa kamu nggak beranggapan kalau mereka ingin tahan kamu di Kota Binru?” tanya Zola.“Mereka baru berkembang di Kota Binru. Dengan kewaspadaan mereka terhadapku, kamu kira mereka akan biarkan aku menetap dan bangun kerajaanku di sini?”Mahendra tertawa sinis, sarkasme di sorot matanya sangat kuat. Zola spontan mengerutkan kening.“Jangan pesimis begitu, Mahendra. Sekarang belum sampai tahap itu. Tunggu sampai benar-benar harus buat pilihan baru buat rencana.”“Zola, kalau mereka benar-benar suruh aku kembali ke Kota Jantera, apakah kamu akan menyalahkan aku?” tanya Mahendra sambil menatap Zola dengan serius.“Nggak akan. Aku hanya berharap kamu pilih apa yang kamu suka.” Meskipun Mahendra dibesarkan oleh keluarga Cahyono, Mahendra telah melakukan banyak hal untuk keluarga itu. Tentu saja, utang budi itu tidak akan terbayar seumur hidup. Namun, Mahendra juga tidak perlu sampai memaksa diri dalam segala hal, bukan?Terlebih lagi, membuat pilihan yang Mahendra sendiri sukai bukan ber
Mahendra tidak mengakuinya secara langsung, tapi hanya berkata, “Hanya teman.”Apakah teman bisa membuat Mahendra sampai harus mengganti pakaian untuk pergi menemuinya? Zola tidak berpikir demikian.Namun, Zola tidak banyak bertanya agar tidak membuat Mahendra curiga. Setelah pulang karena, karena tahu mobil Zola sedang diservis, Mahendra berinisiatif berkata, “Aku antar kamu dan Jeni pulang, ya.”Mahendra tidak bertanya, tapi membuat pernyataan. Zola juga tidak menolak. “Oke, maaf buat kamu harus antar kami dulu.”“Kamu ini ngomong apa, sih? Nggak ingat apa yang pernah aku bilang ke kamu?”Mahendra sudah mengatakannya berkali-kali, Zola tidak perlu mengucapkan terima kasih padanya.Zola tersenyum, “Oke, aku ingat.”Zola dan Jeni duduk di kursi belakang. Sementara Mahendra mengemudikan mobil di depan. Sepanjang jalan Jeni tetap diam saja. Namun, suasana di dalam mobil tidak boleh terlalu sunyi. Kalau tidak rasanya akan sedikit canggung. Oleh karena itu, Zola hanya bisa terus mencari to
“Hati-hati di jalan, ya,” kata Zola kepada Mahendra.“Oke.”“Hmm, bye.”“Bye.”Keduanya melambaikan tangan, lalu Zola baru keluar dari mobil. Zola tidak langsung masuk ke apartemen. Dia diam di sana melihat Mahendra pergi, sampai mobil Mahendra menghilang di ujung jalan, dia dan Jeni baru masuk ke apartemen.“Tadi kamu kenapa, sih?”“Aku nggak suka saja sama dia.”“Nggak bisa ditahan saja?” tanya Zola dengan suara pelan. Sebenarnya Zola sangat tidak berdaya. “Sepertinya kamu nggak ada masalah dengan dia, kan? Kenapa kamu ketus banget sama dia?”Sebelumnya Jeni telah mengatakan kalau dia hanya tidak terlalu menyukai Mahendra. Meskipun dia tidak banyak kontak dengan Mahendra, dia tetap tidak menyukai pria itu.Jeni menghela napas lalu berkata, “Dulu aku merasa orangnya munafik. Tapi sekarang aku merasa dia sangat jahat. Aku juga ingin kendalikan diri, nggak mau rusak rencanamu. Tapi aku nggak bisa tahan. Selain itu, setelah aku pikir-pikir, kalau perubahan sikapku padanya terlalu jelas,
Zola tidak tahu mengapa Boris begitu pandai berimajinasi. Dia sampai ingin tertawa karena saking marahnya ketika mendengar kata-kata Boris.“Boris, kamu tahu apa yang kamu bicarakan? Aku hanya ikut mobil dia pulang. Lagi pula aku nggak sendirian. Ada Jeni juga!”Boris menyipitkan mata dan tidak bicara, tapi sangat kentara, rasa tidak senangnya tidak berkurang sama sekali.“Sebenarnya apa yang buat kamu marah?” tanya Zola.Zola merasa tidak berdaya, tapi ada beberapa hal yang tidak bisa dia katakan kepada Boris. Setidaknya untuk saat ini. Jadi setelah Boris tak kunjung menjawab, dia pun berhenti bicara.Zola berdiri dan hendak kembali ke kamar. Tiba-tiba Boris berkata, “Sekarang sudah nggak sabar hadapi aku lagi?”Zola, “???”Zola menatap ke arah pria yang duduk di sofa sambil terpelongo. Mengapa dia merasa pria itu sedang merajuk?Zola mengerutkan kening. Ekspresi lembut di wajahnya berubah menjadi dingin. “Boris, kamu nggak merasa seharusnya aku yang tanya seperti itu padamu? Bukannya
Bulu mata Zola bergetar. Boris cemburu? Bagaimana mungkin? Apakah dia tetap bisa cemburu walau tidak mencintai Zola? Itu mungkin juga hanya karena Zola istrinya, bukan?Pemikiran seperti itu rasanya baru masuk akal bagi Zola. Zola menertawakan dirinya sendiri di dalam hati. Perasaan sedih melintas di hatinya. Namun, dia tidak menunjukkan perasaannya kepada si bibi. Dia hanya mengangguk pelan tanda mengerti.Setelah si bibi pergi, hanya tersisa Zola seorang diri di apartemen. Dia duduk di meja makan. Di depannya ada makanan enak, tapi dia tidak nafsu makan sama sekali.Hati Zola terasa hampa. Ada perasaan yang tak terlukiskan. Pada akhirnya, dia tidak berniat makan lagi. Dia kembali ke ruang tamu dan berbaring di sofa, merasa sangat tertekan.Selain Zola, ada Boris yang sedang dalam suasana hati yang buruk juga. Setelah keluar dari apartemen, dia langsung mengajak Tedy dan yang lainnya pergi klub untuk minum. Sejak Zola hamil, Boris jarang keluar untuk minum-minum bersama teman-temannya
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m