“Masalah hari ini yang paling bertanggung jawab besar adalah aku, jadi ….”Zola bergegas memotong ucapan Caca dengan berkata, “Saya memberi tahu kalian membuat kalian merasa tertekan. Saya hanya mau bilang jangan kehilangan semangat dan jangan merasa nggak percaya diri karena masalah ini. Kalau ada kompetisi serupa di kemudian hari, tetaplah berjuang.” Dua lelaki itu berpikiran lebih terbuka, sedangkan Caca masih kecil dan mudah terjebak dalam pikiran negatif dan mungkin akan menyalahkan semua kesalahan pada dirinya sendiri. Tentu saja itu bukan hal yang ingin dilihat oleh Zola. Setelah penjelasan dari Zola, suasana hati Caca juga menjadi jauh lebih baik.Saat itu, hasil pertandingan pun diumumkan. Dari dua puluh desainer yang terpilih, ada juga Lucia dan Zola. Dia terpilih sebagai yang kesembilan belas dan hampir saja tidak terpilih.Ini jelas merupakan kabar baik, dan semua orang bersorak girang. Namun, Caca dengan tidak senang berkata, “Kenapa Lucia bisa terpilih? Dia hanya mengand
Itu adalah telepon dari Boris. Zola menatap Jeni dan berkata, “Kalau itu Audy, berarti masuk akal. Karena dia nggak suka denganku dan menganggapku selalu mengejar Mahendra.”“Mereka bersaudara benar-benar sakit jiwa. Sudah, kamu cepat angkat teleponnya.” Jeni memang tidak pernah menyukai Mahendra dan Audy. Mendengar itu Zola hanya tersenyum tipis sambil menekan tombol terima panggilan. Suara hangat lelaki itu terdengar seketika. Dia bertanya, “Kamu minta Jeni naik mobil kantormu kembali.” “Hmm?” Zola langsung memandangi sekitar dan menemukan plat mobil familiar di kejauhan. Suara di telinganya kembali terdengar, “Kamu naik mobilku, ya?” Suara lelaki itu terdengar lembut dan penuh nada permohonan. Zola tersenyum karena teringat kembali dengan perkataan lelaki itu ketika di ruangan istirahat tadi dan membuat hatinya tersentuh. Dengan suara rendah, dia menyetujui permintaan lelaki itu. Setelah sambungan terputus, Jeni memutar bola matanya dan berkata, “Romantisnya nggak bisa disembu
“Kalau nggak, aku melihat dia menindasmu?” “Boris, kamu baik sekali.” Perempuan itu tersenyum tipis. Boris mendengus dan berkata, “Sekarang baru merasa aku baik?” Senyuman di bibir Zola semakin lebar. Dia tidak menjawab dan hanya berkata, “Terima kasih.” Boris tidak menjawabnya karena dia tidak ingin mendengar kata itu. “Hari ini kamu tampil dengan baik. Kali ini, keberhasilanmu lolos seleksi awal nggak ada hubungannya denganku, itu sepenuhnya karena kemampuanmu sendiri. Aku sama sekali nggak terlibat dengan para juri, jadi kemenanganmu benar-benar murni."Zola langsung terdiam. Kalimat lelaki itu seolah tengah menebak isi hatinya. Zola memang sudah memikirkan kemungkinan terburuk, tetapi Boris justru meyakinkan dia bahwa ini semua karena berkat kemampuannya sendiri. Zola menunduk sesaat dan kemudian dia mengangguk. Boris menatapnya dalam-dalam, dan pada saat itu lampu hijau menyala. Dia melepaskan tangannya dan dengan serius mengemudi lagi.Setelah mengantarkan perempuan itu kem
"Siapa yang tahu? Bagaimanapun, orang seperti kamu bisa melakukan apa saja."Audy tidak mau mengakui, sementara Zola hanya menatapnya dengan tenang dan lekat. Dengan suara dingin Mahendra berkata, “Audy, sekarang di sini hanya ada kita bertiga. Kalau kamu jujur dan mengakuinya, kamu ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Atau kamu berharap semua orang tahu?” "Kak, jadi kamu nggak percaya sama aku? Aku sudah bilang, aku nggak melakukannya. Aku nggak serendah itu untuk memperhatikan urusannya. Kalau kalian nggak percaya, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Kalau kalian punya bukti, tunjukkan saja!"Audy yakin mereka pasti tidak ada bukti. Kalau ada bukti, mereka juga tidak akan bertanya padanya. Audy merasa yang paling penting adalah melihat Zola dalam kesulitan, sisanya bukan hal yang penting. Audy menatap Zola dengan sorot sedikit mengejek, seolah-olah mengatakan, "kalau punya bukti, tunjukkan. Kalau nggak, jangan menuduh sembarangan."Zola hanya menyipitkan mata sedikit dan terseny
“Audy, kamu ….” Alis mata Mahendra menyatu, dahinya mengerut dengan dingin.“Kamu mau pukul aku lagi? Tapi jelas-jelas kamu ….” “Cukup!” Mahendra memotong ucapan Audy dengan wajah kaku. Setelah itu dia menoleh ke arah Zola dan berkata, “Zola, menurutmu ….” Dengan suara tenang Zola berkata, “Kamu karena membenciku, jadi rela melakukan hal yang melanggar hukum? Audy, sejujurnya, itu nggak sepadan. Kalau aku jadi kamu, aku akan langsung cari Lucia dan meminta dia mundur dari kompetisi ini dan minta maaf secara terbuka. Setelah itu, aku nggak akan melanjutkan masalah ini.” Bagaimana pun, sekarang dirinya juga masih dalam masa kompetisi dan tidak ingin membuat masalah ini menjadi besar. Namun, Audy tidak bersedia dan berkata, “Kamu hanya ada obrolan ini saja dan nggak bisa dijadikan bukti. Aku bisa bilang kalau kamu sendiri yang buat dan menuduhku.” Zola tersenyum dan dengan sorot penuh arti berkata, “Jadi sekarang kamu sedang nggak mengakuinya?” “Bukan aku yang melakukannya, kenapa a
“Jangan tanya kenapa, lakukan saja apa yang kuminta. Banyak sekali pertanyaanmu?” Wajah Lucia tampak keruh sambil masuk dalam akun halaman sosial medianya dan menuliskan beberapa patah kata di sana. “Maaf, aku memutuskan untuk mundur dari kompetisi karena karya yang aku gunakan untuk lolos bukanlah miliku karena aku mencurinya. Rasa bersalah dan nggak tenang yang membuatku memutuskan untuk mengakuinya secara terbuka. Mohon maaf, semoga kalian bisa memaafkan. Aku akan selalu mengingat agar nggak mengulangi kesalahan yang sama.”Lucia memiliki banyak pengikut di sosial media miliknya. Unggahannya tersebut membuat banyak orang marah dan tidak terima. Banyak yang mulai berspekulasi siapa sebenarnya desain yang dicuri oleh Lucia. Nama Zola sempat disebut, tetapi tidak ada yang menjawab dan mengakui. Semua orang hanya bisa sibuk menebak-nebak saja. Sikap Lucia langsung mendapat respons dari penyelenggara kompetisi dan mengeluarkan pernyataan resmi. Hal ini menguatkan bahwa Lucia memang me
Kasus pencurian desain sementara bisa diakhiri, dan setelah babak awal kompetisi selesai, babak kedua akan dimulai sekitar 20 hari lagi. Selama waktu ini, selain mempersiapkan karyanya untuk kompetisi, Zola juga harus melanjutkan proyek dari Morrison Group.Zola sudah hamil empat bulan lebih, kalau yang tidak tahu dia hamil, tidak akan ada yang menyadarinya. Namun, orang yang tahu akan merasa kehamilan Zola kali ini cukup berat. Untuk meringankan beban kerjanya, Jeni mengambil alih sebagian tugasnya, seperti menyunting sketsa desain dan juga mengawasi perkembangan kerja tim Caca dan dua orang lainnya. Dengan begitu, Zola bisa fokus pada proyek Morrison Group.Setiap pagi, Zola pergi ke lokasi konstruksi untuk berkoordinasi dengan Pak Wanto terkait desain eksterior dan memeriksa bahan-bahan yang diperlukan. Di sore hari, dia akan pergi ke kantor Morrison Group untuk menunjukkan desainnya kepada Boris.Zola yang sudah beberapa hari tidak datang, membuat Jesse sedikit terkejut dengan ked
Ciuman itu berlangsung lama, dari awal yang lembut hingga akhirnya menjadi lebih dalam dan intens. Boris melepas ciumannya ketika Zola hampir kehabisan napas. Napasnya terdengar berat, matanya tampak lebih gelap dan suaranya serak dan rendah."Sejak Jeni datang, kamu terlihat semakin dingin padaku. Malam ini beri tahu dia untuk kembali ke Jantera. Aku nggak ingin melihatnya lagi."Zola menghela napas dan berkata, "Setelah kamu memanfaatkannya, sekarang kamu ingin mengusirnya?""Dia terus lengket denganmu," balasnya dengan nada sedikit sombong.Zola menjawab dengan tenang, "Kami teman baik.""Teman baik sampai harus selalu bersama, ke mana-mana berdua?""Kalau begitu bagaimana denganmu? Kamu juga sering bersama Sandra akhir-akhir ini, bekerja setiap hari bersama, aku nggak pernah mengeluh apa-apa," jawabnya santai.“Kamu cemburu?” balas Boris sambil tersenyum. “Nggak,” jawab Zola menyangkal. Boris menatap wajahnya dengan lembut mencubit dagunya dan senyum tipis menghiasi bibirnya, "Be