Zola keluar dari Restoran Yirna dan masuk ke mobilnya. Saat duduk di dalam mobil, dia merasa sangat tertekan. Dia sudah tidak tahu berapa kali pertemuannya dengan Boris berakhir dengan cara tidak menyenangkan. Sejujurnya, Zola merasa sangat lelah. Lelah fisik dan batin.Jika bisa, Zola sungguh lebih memilih Boris berkata langsung kepadanya, “Zola, aku nggak akan bantu kamu cari Jeni. Aku juga nggak akan bantu kamu bicara di depan Tedy. Kamu menyerah saja.”Dengan begitu, Zola tidak akan menaruh harapan lagi. Dia juga tidak perlu seperti sekarang, selalu merasa Boris akan setuju membantunya selama Zola bisa memuaskan pria itu.Zola menggelengkan kepalanya tak berdaya, dengan senyum getir di bibirnya. Kemudian, dia memacu mobilnya kembali ke perusahaan. Tidak disangka, Juan dari Stonerise dan Zola tiba hampir bersamaan.Juan tampak sangat tidak senang. Nada bicaranya juga begitu ketus. “Zola, aku ingin tahu kenapa kamu masih bisa melanjutkan kontrak sedangkan Stonerise ditendang keluar d
Begitu mendengar suara Boris, Zola menoleh ke arah datangnya suara. Wajah tampan pria itu tampak muram dan dingin. Sorot mata pria itu juga membuat hati Zola mencelos.Zola bertanya dengan suara pelan, “Ke mana? Ada apa?”Boris hanya berkata, “Kita pergi dulu, oke?”Di luar hujan masih turun dengan deras. Zola mengerutkan bibirnya dan tidak berkata apa-apa. Dia ikut Boris keluar dari rumah. Tetesan air hujan membuat pakaiannya basah. Setelah masuk ke mobil, baru saja Zola memasang sabuk pengaman, Boris sudah menginjak pedal gas. Mobil pun melaju dengan sangat cepat keluar dari halaman Bansan Mansion.Zola mengerutkan kening dan bertanya, “Boris, bisa pelan-pelan nggak? Bahaya ngebut saat hujan deras begini.”Boris tidak berkata apa-apa. Dia hanya memegang setir mobil dengan kedua tangannya. Namun, kecepatan mobil tidak berkurang. Hal ini membuat Zola spontan menjadi khawatir. Ada apa sebenarnya?Setengah jam kemudian, mobil berhenti di depan sebuah vila mewah. Sudah ada orang yang menu
Sekarang mereka harus menunggu balasan dari polisi. Jadi mereka bertiga duduk diam di ruang tamu. Tidak ada yang bersuara.Tedy ingin merokok. Jadi, dia berdiri dan berjalan ke teras. Boris ikut Tedy ke teras, lalu berkata dengan wajah muram, “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa di saat seperti ini dia bisa kabur dari balkon kamar?”“Aku nggak tahu.” Tedy mengerutkan kening. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya, ekspresi wajahnya muram dan menakutkan.“Kamu nggak pukul dia, kan?” tanya Boris.“Nggak ....”“Sebaiknya kamu nggak pukul dia. Kalau nggak, Zola nggak akan ampuni kamu,” kata Boris sambil melihat ke arah perempuan yang duduk diam di ruang tamu. Ada rasa kesal dalam nada bicara Boris, “Gara-gara kamu, dia salahkan aku juga.”Tedy menghela napas panjang, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, dia terlihat sangat frustrasi.Dua jam berlalu. Saat ini sudah hampir pukul sebelas. Karena Tedy bahkan tidak makan malam, pelayan di rumah menyiapkan camilan untuknya.“Pak Tedy bel
Zola tertawa sinis. Tanpa menunggu Tedy menjawab, dia pun lanjut berkata, “Bagaimana mungkin kamu bisa menyesal? Tentu saja kamu nggak akan menyesal. Bagaimanapun juga, kamu hanya ingin balas dendam padanya karena sudah meninggalkan kamu, kan? Tapi apa kamu tahu? Dia pergi karena kamu sudah punya tunangan, tapi kamu masih saja ganggu dia. Kalau dipikir-pikir, Jeni sama sekali nggak bersalah. Salah kamu yang terlalu serakah. Karena kamu nggak bisa berikan kebahagiaan, kenapa kamu nggak mau lepaskan dia? Hanya demi harga dirimu sebagai seorang pria, kamu lukai dia sampai seperti itu. Kamu rasa dia akan maafkan kamu?”Setelah Zola selesai bicara, ekspresi Tedy menjadi semakin muram. Dia tertawa, lalu berkata, “Zola, kamu benar-benar bermulut tajam, bisa menusuk hati orang dengan kata-kata yang kamu ucapkan. Sudah cukup sindir aku? Kalau sudah, bisa nggak kamu kasih aku kesempatan untuk temukan dia lebih cepat?”“Aku hanya ngomong sebentar, kamu sudah nggak sanggup dengar lagi?” Zola memas
Tedy tak kuasa menyelesaikan kalimatnya. Suaranya semakin pelan hingga tidak terdengar apa-apa lagi. wajahnya dipenuhi amarah.Boris mengambil kembali ponselnya dan berkata kepada Jesse dengan tenang, “Temukan orang itu secepat mungkin. Kalau sudah ketemu, langsung hubungi aku.”“Baik, Pak Boris.”Panggilan telepon berakhir. Ruang tamu kembali menjadi sunyi. Zola tiba-tiba berteriak, “Tedy, kalau sampai terjadi sesuatu pada Jeni, aku dan keluarganya nggak akan ampuni kamu.”Seiring kata-kata kejam terlontar dari mulut Zola, atmosfer di ruang tamu menjadi semakin berat. Boris melirik Tedy sekilas. Dia pun mengerutkan kening dan berbisik pada Zola, “Jeni akan baik-baik saja. Aku sudah atur orang cari dia. Kamu harus tenang, oke?”“Tenang? Gimana aku bisa tenang? Dia bukan temanmu, nggak ada hubungan apa pun denganmu. Tentu saja kamu nggak merasakan apa pun.”Zola berdiri dan meninggalkan sofa. Dia tidak ingin tinggal di sini lebih lama lagi. Melihat Tedy dan Boris hanya membuatnya semaki
Tedy yang sedang duduk di sofa juga melihat adegan tersebut. Dia spontan mengerutkan alisnya. Raut wajahnya menjadi lebih serius.Dibandingkan dengan reaksi Tedy, Boris justru tampak tidak peduli. Dia tetap mencengkeram tangan Zola, tak berniat melepaskannya. Pupil matanya sedikit menyusut. Sesaat kemudian, dia berkata dengan tenang, “Aku nggak berpikir seperti itu. Siapa pun nggak berharap seseorang mengalami hal seperti ini. Tapi karena semua telah terjadi, bukankah yang harus kita lakukan adalah meminimalisir luka yang akan dialami Jeni? Aku nggak peduli bagaimana sikapmu terhadapku sekarang. Tapi kamu yakin mau alihkan perhatian yang seharusnya bisa aku gunakan untuk cari Jeni ke kamu?”Zola menyipitkan mata dan tidak berkata apa-apa. Panas di telapak tangannya masih jelas terasa. Tamparannya yang terlalu keras meninggalkan rasa panas itu. Dia menundukkan kepala, entah apa yang dia pikirkan. Perasaan khawatir dan frustrasi tersembunyi di wajahnya yang tertunduk.Boris menatapnya d
Saat keduanya tengah mengobrol, Zola bangun dari tidurnya. Dia melihat selimut yang menutupi tubuhnya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Kemudian, dia membuka selimut dan berdiri dari sofa. Dia bertanya kepada pelayan di vila di mana kamar mandi berada. Kemudian, dia pergi ke kamar mandi untuk cuci muka.Zola melihat pantulan dirinya di cermin. Lingkaran hitam di bawah matanya begitu kentara. Wajahnya terlihat lesu. Penampilannya tampak begitu kuyu dan lemas tak bertenaga.Selesai cuci muka, Zola keluar dari kamar mandi. Saat berjalan keluar, dia tiba-tiba mendengar obrolan di koridor yang sepi.“Dengar-dengar, Bu Jeni dibawa pergi pria cabul. Menurut kalian, bakal terjadi sesuatu padanya, nggak?”“Sssttt, pelankan suaramu. Jangan sampai kedengaran Pak Tedy.”“Nggak tahu kemarin Bu Wina datang dan ngomong apa dengan Bu Jeni. Kalau nggak, kenapa Bu Jeni lebih memilih lompat dari balkon kamar untuk pergi? Saat itu kondisinya sedang hujan deras lagi. Entah bagaimana keadaannya sekarang.”
Zola mengangguk sopan kepada si penerima tamu itu, lalu bertanya, “Bu Wina ada di sini?”“Bu Wina Jardi?”“Iya. Dia lagi di mana? Aku sudah buat janji dengannya.”“Bu Wina sedang duduk di aula utama bersama dua temannya.”Begitu si penerima tamu selesai menjawab, Zola pun melangkahkan kakinya ke dalam restoran. Setelah meninggalkan vila Tedy, dia langsung pergi ke perusahaan. Dia menghabiskan cukup banyak waktu baru menemukan keberadaan Wina.Setelah mengetahui keberadaan Wina, Zola bergegas ke sini. Tentu saja, dia tidak bisa bersabar lagi untuk menemui perempuan itu. Setelah sampai di aula utama, masih belum terlalu banyak pengunjung. Karena belum tepat jam makan siang.Setelah menemukan sosok Wina, Zola berjalan ke arahnya dengan perlahan. Pada detik berikutnya, Wina menoleh dan melihat Zola.Wina mengenal Zola karena Boris adalah teman Tedy. Dia segera berdiri lalu tersenyum, hendak menyapa Zola.namun, belum sempat Wina bicara, Zola menarik kerah baju Wina dan memberikan peringata
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me