Rosita mengangguk tanda mengerti, tapi jauh di lubuk hatinya dia merasa kalau Mahendra agak sulit diajak bergaul. Jadi dia tidak mau banyak bicara, tidak ingin menimbulkan masalah pada Zola.Sesampainya di kantor Zola, Zola segera berdiri dan menyambut Rosita. “Ma, lain kali Mama langsung ke sii saja. Nggak perlu tunggu di bawah. Kalau aku lagi sibuk, Mama bisa tunggu sambil duduk di sini.”“Kalau begitu aku boleh sering-sering datang ke sini?”“Tentu saja boleh.”“Zola benar-benar baik.” Rosita menatap Zola sambil tersenyum. Wajahnya penuh dengan kasih sayang, bahkan bisa dirasakan dengan jelas oleh orang luar seperti Caca. Siapa bilang ibu mertua dan menantu sudah pasti tidak bisa akur? Hanya tidak cocok saja.Caca tidak mengganggu mereka. Dia pun berkata dengan suara pelan, “Bu Zola, Bu Rosita, kalian ngobrol dulu. Saya pergi kerja dulu.”“Baik, terima kasih, ya,” jawab Rosita dengan sopan.Hati Caca meleleh karena sikap ramah Rosita. Dia segera meninggalkan ruangan itu dan menutup
Entah Boris takut atau tidak, tapi dia sungguh tidak menganggapnya serius. Rosita tidak membalas pesan Boris lagi. Karena Zola sudah selesai kerja. Zola sedang mengemas barangnya, lalu melihat ke arah Rosita.“Ma, Mama sudah pikirkan nanti mau makan di mana?” tanya Zola.Rosita mengangguk. “Bagaimana kalau kita makan di restoran Barat? Kita sesama perempuan juga ingin makan di tempat yang romantis.”Kata “kita sesama perempuan” yang keluar dari mulut Rosita membuat Zola spontan tertawa. Ibu mertuanya ini sungguh supel. “Oke, terserah Mama,” kata Zola.Zola bergelayut di tangan Rosita sambil berjalan keluar dari ruangannya. Kemudian, dia pesan kepada Caca, “Nanti sore aku mungkin nggak kembali ke sini lagi. Kalau ada apa-apa, cari Pak Mahendra saja.”Caca mengangguk dan berkata ya. Saat melewati ruangan Mahendra, Zola melihat pintu ruangan pria itu terbuka. Dia pun berkata pada Rosita, “Ma, tunggu sebentar.”“Oke,” jawab Rosita.Zola berjalan ke depan pintu ruangan Mahendra dan mengetuk
Si penelepon mungkin mengatakan sesuatu yang membuat Rosita puas. Rosita langsung tersenyum. “Oke, kalau begitu aku terpaksa terima. Nanti aku hubungi lagi.”Kemudian, Rosita mengakhiri panggilan. Dia meletakkan ponselnya dengan senyum lebar merekah di wajahnya. Dia menatap Zola dan memulai topik yang menjadi tujuannya menemui Zola hari ini.“Zola, kamu terbiasa tinggal di luar?” tanya Rosita.Zola menatap ibu mertuanya. Sudah beberapa hari sejak dia pindah. Tidak mungkin keluarga Morrison tidak tahu soal itu. Hanya saja, baik Hartono maupun Rosita tidak menanyakan hal itu pada Zola. Jadi Zola juga tidak berinisiatif membicarakan hal itu. Sebenarnya, Zola sedikit bingung ketika mendengar pertanyaan ibu mertuanya.Zola mengerutkan bibir dan bertanya, “Ma, Mama dan Kakek akan menyalahkan aku, nggak?”“Tentu saja nggak, Sayang. Kenapa kamu berpikir seperti itu? Memangnya biasa aku jahat sama kamu, ya?”Rosita tersenyum tipis. Dari kata-katanya ada kelembutan. Zola segera menggelengkan kep
orang itu adalah Selena dan Lydia. Selena memakai pakaian yang membuatnya terlihat lembut dan bermartabat. Tutur kata dan tingkah lakunya menunjukkan aura seorang perempuan dari keluarga terhormat. Dia tersenyum lembut dan menyapa, “Tante.”Kemudian, Selena melihat ke arah Zola. Bukannya menyapa, dia malah memberitahu ibunya. “Ma, ada Tante Rosita dan Zola.”Lydia segera menoleh ketika mendengar perkataan Selena. Dia pun tersenyum. “Lama nggak jumpa. Kebetulan bisa bertemu di sini hari ini.”“Iya, kebetulan sekali. Aku nggak menyangka akan bertemu dengan kamu dan Selena di sini.” Rosita bersikap biasa-biasa saja, tidak terlalu ramah juga tidak terlalu ketus.Lydia hanya tersenyum. Setelah berbasa-basi dengan besannya, dia baru berkata dengan nada tidak senang, “Zola, kenapa kamu nggak sopan sekali? Lihat aku sama sekali nggak panggil.”Suasana hati dan ekspresi Zola telah kembali normal. Dia melihat Lydia dan memanggilnya, “Ma ....”Melihat situasi ini, Rosita segera berkata, “Jangan t
“Lihat, Selena benar-benar pengertian.” Hanya ada sedikit pujian dalam kata-kata Rosita, sama sekali berbeda dengan pujiannya terhadap Luna.Boris juga mengerti maksud ibunya. Tentu saja dia tidak akan membantah perkataan ibunya. Dia hanya bertanya dengan suara pelan, “Bukannya mau beli sesuatu?”“Kalau begitu ayo kita pergi dulu.”Usai berkata, Rosita meraih tangan Zola dan membawanya keluar. Setelah keluar dari toko, dia baru menjelaskan dengan lembut kepada Zola.“Zola, bukannya Mama sengaja sembunyikan dari kamu. Mama hanya ingin dia yang bayar belanjaan kita hari ini. Kamu jangan marah sama Mama, ya?”Rosita sudah berkata seperti itu. Bagaimana Zola masih bisa benar-benar marah? Tentu saja Zola tidak bisa marah.“Mama mau beli apa?” tanya Zola.“Kita pergi lihat-lihat dulu,” kata Rosita sembari menunjuk ke arah toko barang mewah tidak jauh dari mereka.Rosita adalah seorang kolektor perhiasan terkenal di kalangannya. Dia memiliki berbagai perhiasan edisi terbatas dan yang sudah ti
Boris menyipitkan matanya sedikit. Ada sedikit kelembutan di raut wajah serta tatapannya. “Kalau Mama merasa cocok berarti cocok.”“Lihat saja, Boris juga ngomong seperti itu. Zola, kamu masih mau tolak?” kata Rosita sambil tersenyum.Zola juga melihat ke arah Boris. Dia mengulurkan tangan dan menarik sudut baju Boris, lalu berkata dengan suara pelan, “Boris, cepat bilang ke Mama, aku benar-benar nggak butuh.”Bagaimanapun juga, tidak lama lagi mereka akan bercerai. Jadi rasanya lebih tidak pantas lagi Zola menerima gelang itu. Namun, Boris malah meraih tangan Zola dan berkata, “Kalau Mama kasih, kamu terima saja. Lagi pula, dia punya banyak perhiasan.”Usai berkata, Boris memakaikan gelang itu ke pergelangan tangan tanpa menunggu jawaban Zola lagi. Kulit Zola begitu putih. Gelang giok memberikan kesan klasik dan bermartabat. Namun, Zola memiliki aura yang dingin dan bersinar. Saat Zola memakai gelang itu, ternyata begitu cocok.Rosita sangat senang melihat adegan itu. “Zola, meskipun
Tyara pergi ke Morrison Group untuk mencekal Boris dengan alasan mau menemui psikiater. Setelah susah payah, akhirnya dia berhasil mencekal Boris. Dia pun mengikuti pria itu sampai ke mobil.Boris tidak menunjukkan emosi apa pun juga tidak berkomentar mengenai perbuatan Tyara. Tyara mengerutkan bibir dan bertanya dengan suara pelan, “Boris, kamu kelihatannya nggak senang. Aku sudah buat kamu marah, ya?”Boris melirik Tyara sekilas. Sorot matanya begitu dingin, membuat nyali Tyara seketika menciut. Tyara memberanikan diri untuk terus berkata, “Boris, aku bukannya sengaja mau ganggu kamu. Aku hanya nggak sabar ingin berbagi denganmu saran yang diberikan dokter padaku setelah aku ngobrol dengan dokter. Dokter bilang keadaanku nggak akan selalu seperti ini. Selama aku terus jalani pengobatan, aku pasti akan membaik.”“Hmm.” Boris hanya bergumam pelan.Ekspresi Tyara sedikit melembut. Dia menatap Boris sambil tersenyum tipis. “Boris, kamu kenapa? Kamu kelihatannya lagi nggak senang. Apakah
Mobil Boris sudah berada di bawah gedung perusahaan Zola. Dia mematikan mesin dan berhenti di pinggir jalan. Sesaat, dia menatap pintu gedung sambil melamun.Saat ini, sosok yang dikenalnya keluar dari gedung dengan senyum gembira di wajahnya. Sekalipun Boris tidak tahu apa yang orang itu bicarakan dengan pria di sebelahnya, Boris dengan jelas merasakan betapa bahagianya perempuan itu saat ini.Mata Boris menyipit. Tanpa sadar tangannya di setir mobil menegang. Dia pun mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Zola.Boris melihat dengan mata kepalanya sendiri Zola mengeluarkan ponselnya, lalu senyuman di wajahnya tiba-tiba sirna. Setelah itu, dia mendengar suara perempuan itu. “Halo?”“Kamu lagi di mana?” tanya Boris.“Baru pulang kerja, mau pergi makan. Ada apa?” Nada bicaranya datar, hampir tidak ada gejolak emosi.Hal itu membuat Boris mendengus sinis. “Kalau nggak ada apa-apa aku nggak boleh telepon kamu?” tanya Boris lagi.“Boris, bukan itu maksudku.” Zola mengerutkan bibirnya dan
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me