Zola berhenti sebentar, tanpa sadar mengerutkan kening sambil menatap pria itu. Kejadian di kamar mandi masih terpatri jelas dalam pikirannya. Oleh karena itu, dia langsung menolak tanpa berpikir, “Aku telepon Jesse, suruh dia ke sini.”Usai berkata, Zola langsung mengulurkan tangan hendak mengambil ponsel. Pada detik berikutnya, dia melihat Boris mengangkat tangan dan menarik kancing kemejanya. Satu per satu kancing jatuh ke lantai, menimbulkan suara yang terdengar jelas di kamar yang sunyi. Sesaat kemudian, Boris juga melepaskan kemeja itu dari tubuhnya.Zola melirik tubuh Boris. Tubuh berotot dengan garis otot yang terlihat jelas terpampang begitu saja di depannya. Selain itu, masih ada tetesan air di wajah tampan Boris, membuatnya terlihat seksi.Meskipun kata seksi lebih banyak digunakan untuk menggambarkan perempuan yang memiliki bentuk badan bagus. Saat ini, Zola merasa itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan Boris. Zola berdehem pelan, lalu segera mengalihkan tatapannya.
Boris mengalami demam tinggi karena berendam dalam air selama beberapa jam. Pikirannya menjadi linglung, dia tidak punya tenaga untuk berpikir. Dia hanya melirik Zola sebentar dan berkata, “Aku nggak mau ke rumah sakit.”Zola mengerutkan kening, “Kalau kamu nggak mau pergi ke rumah sakit dan biarkan demam tinggi begini terus, nanti otakmu rusak.”“Kenapa aku bisa demam?” tanya Boris.Zola langsung membisu. Boris berkata lagi, “Aku demam gara-gara kamu. Kalau begitu, kamu harus rawat aku sampai demamku turun. Zola, kita suami istri. Kalau suami sakit, istri yang harus jaga dia. Bagaimana menurutmu?”Zola hanya menghela napas tanpa suara, tidak sanggup berkata apa-apa. Karena Boris menolak untuk pergi, Zola juga tidak punya cara untuk mengusirnya. Bagaimanapun juga, pria itu demam memang karena kesalahannya. Zola bisa saja tidak merawatnya, juga bisa tidak membiarkan Boris datang ke apartemen. Namun karena Boris sudah berada di apartemennya, juga dalam kondisi mabuk, jadi Zola sudah seha
“Aku akan tinggal di sini selama beberapa hari, sampai demamku turun sepenuhnya,” kata Boris dengan lantang.“Boris, jadi kamu nggak berniat tanya pendapatku dulu? Kamu langsung putuskan secara sepihak nggak peduli aku setuju atau nggak?”Lihat saja, Boris masih saja seperti ini. Zola merasa tidak berdaya, bahkan dia merasa lelah dengan sikap Boris.Boris justru berkata, “Zola, sekarang aku masih demam. Kamu tetap suruh aku pulang dan hidup sendiri? Siapa yang bisa tahu kalau tengah malam nanti aku demam lagi sampai nggak sadarkan diri? Atau kamu merasa nggak masalah kalau aku terkena infeksi yang sampai mengancam nyawa? Kalau benar begitu, aku akan pergi sekarang juga. Aku tahu sekarang aku sudah ganggu ketenanganmu. Jadi aku tinggal di rumah Kakek saja. Kalau Kakek tahu alasan aku demam, dia juga nggak akan salahkan kamu.”“Cukup.” Zola membentak tak berdaya untuk menghentikan Boris bicara lagi. Dia sungguh tak sanggup mendengarnya lagi. Boris hanya demam, bagaimana dia bisa terkena
Zola tertegun sejenak. Meskipun dia memang tidak ingin Boris tinggal di sini, dia tidak pernah berpikir tidak mau merawat pria itu.Namun, Zola tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Boris dan berkata dengan nada acuh tak acuh, “Kalau nggak mau pergi ke rumah sakit, suruh dokter datang untuk infus saja. Kalau dibiarkan demam terus bisa kena radang paru-paru.”“Kalau begitu suruh Dokter Guntur ke sini.” Usai berkata, Boris memejamkan matanya lagi.Zola keluar dari kamar dan menelepon Guntur. Setengah jam kemudian, Guntur tiba di sana. Boris sedang baring di tempat tidur, tampak lemah dan tidak bertenaga. Guntur memeriksanya sebentar, lalu berkata, “Banyak istirahat, juga harus banyak minum air putih.”“Jadi nggak apa-apa, Dok? Seharusnya bisa segera sembuh, kan?” tanya Zola prihatin.Guntur menganggukkan kepala, lalu menatap pria di tempat tidur dan berkata, “Bangun dan makan sesuatu dulu. Kalau nggak, daya tahan tubuh menurun, kamu benar-benar harus diberi infus.”Boris tidak bergera
Zola mengerutkan kening. “Kamu bisa minum obat dulu, nggak? Kalau kamu nggak minum obat, lap badan tetap saja nggak ada gunanya.”“Kamu nggak mau?”Zola terdiam. Boris berkata lagi, “Kamu kesal banget sama aku, ya? Kakek bilang dia mau kenalkan kamu ke Sandy. Kamu mau?”Zola tersentak. Bukankah sekarang dia sedang menyuruh Boris minum obat? Mengapa pembicaraan mereka malah jadi mengarah ke Sandy? Sejujurnya, Zola sudah lama melupakan masalah itu. Karena dia merasa kakek Boris pasti hanya bercanda. Sekalipun sang kakek ada niat seperti itu, dia pasti akan meminta persetujuan Zola dulu.Zola sangat tidak berdaya, dia pun berkata, “Boris, kamu yakin mau bicarakan hal ini sekarang?”“Kalau kamu nggak ingin bicara, lap badanku saja.”Zola menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosi di dalam hatinya. Boris malah berkata lagi, “Aku demam karena berendam dalam air dingin sepanjang malam. Kamu bahkan nggak mau bantu lap badanku untuk turunkan demamku?”Zola mengerutkan bibir dan ber
Jadi Zola diam-diam menata kembali perasaannya. Sesaat kemudian, dia baru pelan-pelan mengantuk hingga akhirnya terlelap.Begitu mendengar suara nafas perempuan yang teratur di sebelahnya, wajah Boris terlihat sedikit serius. Dia melirik punggung Zola sebentar. Tiba-tiba, ada emosi yang tak terlukiskan mengalir ke dalam hatinya.Malam itu berlalu dengan tenang. Saat Zola bangun keesokan paginya, Boris masih tidur. Zola tidak membangunkannya. Dia bangun dari tempat tidur dan langsung pergi mandi. Selesai mandi, Zola memasak bubur dan dua jenis sayuran. Setelah dia selesai sibuk di dapur, jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Namun, Boris masih belum bangun juga. Saat memasak, Zola diam-diam menyentuh kening pria itu. Demamnya sudah turun, tidak panas lagi.Awalnya Zola ingin membangunkannya, tapi dia takut mengganggu tidur pria itu. Selain itu, dia juga khawatir pria itu akan demam lagi. Jadi Zola tidak pergi ke perusahaan.Boris baru bangun ketika menjelang tengah hari. “Mau makan bubu
Mahendra mengerutkan kening. Wajah tampannya tampak tercengang. Sorot matanya penuh dengan keterkejutan dan rasa tidak percaya.Boris semakin menyipitkan matanya ketika melihat perubahan drastis ekspresi di wajah Mahendra.“Kami nggak butuh barang-barang yang dibawakan Pak Mahendra. Sekarang kami juga nggak leluasa undang kamu masuk. Kalau begitu, silakan pergi,” kata Boris dengan dingin.Usai berkata, dia hendak langsung menutup pintu. Namun, Mahendra tanpa sadar spontan menahan pintu dengan kakinya.“Zola .... Kamu ada di dalam, nggak?”Suara Mahendra sangat keras. Tentu saja Zola mendengarnya. Awalnya Zola mengira dia sedang berhalusinasi. Karena dia menyalakan alat penghisap asap, sehingga dia tidak bisa mendengar suara di luar dapur. Setelah mendengar suara Mahendra, dia pun keluar dari dapur.Zola melihat Boris yang hendak menutup pintu, serta Mahendra yang menahan pintu dengan kakinya. Zola spontan membelalakkan matanya dan bertanya, “Apa yang kalian lakukan?”Boris berdiri diam
Zola tetap diam. Boris mencengkeram dagu Zola, lalu menyipitkan mata dan berkata sambil menggertakkan gigi, “Jawab aku, Zola. Kamu usir dia, nggak?”“Boris, sekalipun dia hanya teman biasa, aku nggak bisa usir dia. Apalagi Mahendra bukan hanya sekadar teman, dia juga partner kerja yang sudah banyak bantu aku.”“Jadi nggak peduli apa pun yang aku katakan, kamu tetap nggak mau jaga jarak darinya?” Sorot mata Boris menjadi dingin. Cengkeraman tangannya di dagu Zola juga mengencang. Dia menundukkan kepala semakin mendekat ke arah Zola. Hembusan napas yang panas menerpa wajah dan leher Zola.Zola hanya menatap Boris acuh tak acuh. “Aku nggak mengerti apa yang kamu maksud dengan jaga jarak. Apakah aku harus putus kontak dengan semua lawan jenis? Meskipun mereka hanya teman atau rekan kerja juga nggak boleh? Kalau begitu, apakah itu artinya aku harus berhenti kerja di perusahaan dan kerja sendiri di rumah?”“Aku nggak minta kamu jaga jarak dengan semua orang, hanya dengan mereka yang punya ma
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum