“Kenapa kamu datang ke rumah sakit sendirian, La? Kenapa nggak minta ditemani Boris?” tanya Tedy lagi.“Ada sedikit urusan di sini. Aku datang untuk cari temanku,” jawab Zola dengan acuh tak acuh.Tedy justru langsung berkata terus terang, “Zola, sebenarnya tadi aku lihat kamu keluar dari Poli Kebidanan.”Hati Zola seketika mencelos. Dia spontan menurunkan tatapannya, lalu melihat jam pada ponselnya. Kemudian, dia menjawab sambil mengetik pesan dan cepat-cepat mengirimkannya ke Lucia.“Oh ya? Aku merasa nggak enak badan, jadi ke sini untuk periksa,” kata Zola.“Kamu nggak apa-apa, kan?”“Nggak apa-apa, hanya masalah kecil.”“Baguslah kalau nggak apa-apa. Kalau kamu merasa nggak enak badan, mending suruh Boris datang jemput kamu.”Tedy sudah berusaha mencari topik pembicaraan. Dia berdoa dalam hati agar Boris segera datang. Kalau tidak, Zola pasti akan sangat kesal padanya.Zola menjawab dengan wajah datar, “Nggak perlu. Aku sudah pindah dari Bansan mansion. Untuk saat ini, kami berdua
Zola mengerutkan kening, “Apa lagi yang bisa dilakukan di rumah sakit? Aku hanya merasa sedikit nggak enak badan, jadi datang ke sini untuk coba periksa.”“Benar-benar hanya nggak enak badan?”“Memangnya kamu kira karena apa?” Boris menatap Zola dan berkata, “Zola, kamu lagi hamil?”Zola tertegun sejenak, hanya ada sedikit keterkejutan dan kepanikan terlintas di matanya. Namun, hatinya sudah gelisah bukan main. Dia sengaja membalas tatapan Boris dengan tenang dan menjawab, “Aku nggak tahu kamu dengar dari mana, tapi aku nggak hamil.”Boris terdiam selama beberapa detik, lalu berkata dengan nada yang sama, “Kamu benar-benar nggak hamil, atau kamu hamil tapi kamu nggak mau?”Kalau tadi Zola masih ragu apakah Boris tahu tentang kehamilannya, sekarang Zola yakin seratus persen kalau Boris tidak tahu.Zola bersikap tetap tenang. “Boris, sudah kubilang aku nggak hamil. Apakah karena kamu ingin punya anak, jadi kalau aku ke rumah sakit artinya aku hamil? Aku lagi datang bulan, merasa nggak e
Setelah melihat reaksi Boris, sejujurnya sulit bagi Zola untuk tidak beranggapan kalau Boris suka anak, pria itu benar-benar ingin punya anak. Zola bahkan sempat berpikir untuk memberitahu pria itu kalau sebenarnya dia sudah hamil. Lantas, akan seperti apa reaksi Boris ketika tahu hal itu?Namun, begitu pemikiran itu muncul, Zola langsung menepis pemikiran itu jauh-jauh. Dia bahkan bergumam dalam hati, “Paling-paling dia merasa senang karena akhirnya bisa kasih Tyara anak.”Oleh karena itu, Zola tidak akan memberitahu Boris. Boris sama sekali tidak tahu apa yang ada di pikiran Zola. Dia menatap Zola sejenak. Saat dia hendak bicara, ponselnya tiba-tiba berdering.Setelah melihat nama penelepon, Boris spontan menekan tombol tolak. Dari tindakannya itu, Zola bisa menebak itu telepon dari siapa. Oleh karena itu dia berkata, “Aku dan Lucia sudah janjian mau pergi belanja. Kalau nggak ada urusan lain, kami mau pergi dulu.”Boris segera bertanya, “Kapan kamu akan pindah kembali?”Zola mengeru
Kata-kata yang terlontar dari mulut Zola bagaikan bom yang tiba-tiba jatuh dari langit di era yang damai ini. Boris hanya mendengar seperti ada suara menggelegar di telinganya, yang cukup keras untuk membuatnya langsung diam tercengang.Rahang Boris terlihat jelas mengeras. Matanya menatap Zola dengan dingin. “Aku anggap kamu sedang bad mood makanya kamu ngomong seperti itu. Tapi Zola, cukup sekali saja. Aku nggak mau dengar kata-kata itu untuk kedua kalinya.”“Aku nggak sedang bad mood. Itu yang ada dalam pikiranku. Seharusnya aku beritahu kamu pada malam kita pulang ke rumah Kakek. Aku juga sudah bicara dengan Kakek. Kakek dukung keputusanku. Bukannya kamu juga selalu berharap kita bisa bercerai? Setelah kita bercerai, kamu bisa bersama Tyara. Bukannya ini yang kamu inginkan selama ini?”Zola langsung membantah perkataan Boris. Jika suasana hatinya sedang buruk, Zola tidak akan menganggap perceraian sebagai permainan anak-anak atau sarana untuk melampiaskan emosinya. Raut wajah Zola
Sepanjang hari itu Tyara sama sekali tidak bisa menghubungi Boris. Perasaan samar ini membuatnya merasa semakin tidak aman.Pukul sepuluh malam.Boris bersandar di sofa di ruang VIP klub. Jesse baru saja selesai menghadiri sebuah acara. Dia pun bergegas pergi ke klub, sekaligus melaporkan kepada Boris tentang masalah Tyara hari ini.“Pak Boris, Tyara nggak mau saya temani dia pergi menemui psikiater. Dia bersikeras mau Pak Boris temani dia. Dia juga mencoba hubungi Pak Boris.”Boris hanya melambaikan tangannya, sebagai isyarat kalau Jesse sudah boleh pergi. Setelah Jesse pergi, Tedy menatap Boris dengan mata menyipit sedikit, lalu bertanya, “Sebenarnya ada apa antara kamu dan Tyara? Kenapa sampai sekarang masih nggak jelas?”Boris tidak menjawab. Tedy berkata lagi, “Boris, sebenarnya apa yang kamu pikirkan? Hari ini Zola ke rumah sakit. Meskipun hanya untuk periksa kesehatan, tapi bisa saja kunjungan ke rumah sakit berikutnya, dia sudah hamil. Kalau dia sudah hamil, memangnya kamu akan
“Mantan pacarnya. Dulu dia setuju menikah denganku hanya untuk buat pria itu menyerah.”Boris bersandar di sofa, lalu menghabiskan minumannya dalam sekali teguk. Setiap kali memikirkan pria itu, dia merasa sangat kesal. Zola terus mengatakan kalau semua keputusannya tidak ada hubungannya dengan pria itu. Zola bahkan mengatakan kalau dia telah melupakan pria itu, juga tidak akan pernah kembali kepada pria itu. Lantas, mengapa Zola bersikeras mau cerai? Jika alasannya benar-benar karena Tyara, kenapa pula sejak awal Zola sama sekali tidak merasa keberatan? Jadi, itu hanya alasan yang dibuat Zola.Suasana hati Boris menjadi kian buruk. Setiap kata yang dia ucapkan penuh dengan kekesalan, “Semua yang dia tunjukkan hanyalah alasan untuk kembali ke pria itu.”“Kamu pernah bertemu pria itu?” tanya Tedy.“Nggak.” Boris tidak ingin bertemu, sampai mati pun tidak ingin bertemu pria itu.“Bagaimana kalau kita cari tahu dulu siapa mantan pacarnya itu? Bisa-bisanya dia buat perempuan cantik sepert
Setelah setengah jam perjalanan, mobil Tedy berhenti di bawah sebuah gedung apartemen. Saat ini sudah lewat tengah malam. Semua tempat sudah sepi.Tedy dan sopirnya membawa Boris keluar dari mobil, lalu memapahnya pelan-pelan ke dalam lift. Boris merasa pusing. Dalam kondisi linglung, dia berkata dengan suara serak, “Ini bukan Bansan Mansion.”“Kamu mau pulang ke Bansan Mansion dan tidur sendiri?” tanya Tedy sambil tertawa pelan.Boris mengerutkan kening, “Apa urusannya denganmu?”“Oke, bukan urusanku. Kalau begitu, aku antar kamu pulang ke sana?” Tedy menekan tombol lift, lalu menyeret Boris ke dalam lift. Dia sudah cari tahu lantai dan nomor unit saat masih dalam perjalanan ke sini.Lantai 18, unit 101.Setengah menit kemudian, pintu lift terbuka. Tedy memapah Boris ke depan pintu. Setelah itu, Tedy menekan tombol bel, lalu melihat ke arah Boris dan berkata, “Kalian berjodoh atau nggak, tergantung dia mau buka pintu atau nggak.”Baru saja Tedy selesai berkata, pintu di depannya terbu
Zola tidak lagi bicara. Dia langsung berdiri hendak kembali ke kamarnya. Terserah Boris mau melakukan apa. Namun, baru saja Zola berdiri, dia bahkan belum mengambil langkah, tiba-tiba sebuah tangan besar meraih pergelangan tangannya.“Zola, kita suami istri. Di sini juga ada separuh tempatku,” kata Boris.Zola tidak berdaya, “Boris, aku sewa rumah ini dengan uangku sendiri.”“Zola, kamu sangat benci aku? Kenapa kamu begitu ingin bercerai?” tanya Boris dengan suara serak.Zola tertegun sejenak, berdiri diam mematung di sana. Jantungnya berdetak kencang seolah ada sesuatu yang menggerakkannya. Ada perasaan yang tidak terlukiskan.Bagaimana mungkin Zola membenci Boris? Justru karena dia khawatir dia tidak akan bisa membenci Boris, makanya Zola memilih pergi di waktu yang paling tepat. Namun, mengapa Boris tidak mau melepaskannya? Jelas-jelas Boris yang lebih dulu mengatakan kalau dia ingin bercerai.Zola mengatupkan bibirnya rapat, sambil berusaha mengendalikan emosinya. Sikap diam Zola m
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me