Aku tertegun di depan pintu apartemen milik Pak Arsen. Niatku untuk melampiaskan kemarahan, luruh begitu saja kala menatap matanya yang gelap penuh amarah. Dia seperti iblis yang siap menerkam mangsanya menatap wajah penuh luka yang hanya diam tak berkutik.
"Sudah berapa kali kukatakan jangan pernah pergi tanpa ijinku? Apa kau bodoh? Kau tak punya telinga? Kau senang mendapatkan semua ini?" Dia menyentak tanganku masuk ke apartemennya.
"Duduk di sini!" perintahnya, berlalu ke arah dapur dan kembali dengan cawan besar berisi air hangat.
Tangannya sigap membersihkan wajahku yang kuyakini memerah oleh tamparan Ferdy dan Nindy. Hangat dari handuk basah itu terasa perih beradu dengan kulitku. Tak kuhiraukan, hanya membiarkan Pak Arsen melakukannya.
"Dia menceraikanku," bisikku, hatiku sakit saat kusadari tengah memohin iba dari lelaki ini.
"Lantas?" Hanya satu kata itu yang keluar dari bibirnya.
Setidakberguna itu kah hidupku, sampai
Aku tak mengerti akan ucapan Pak Arsen, tapi bisa kupahami kalau dia ingin kami melakukannya di sini. Tangannya bergerak lembut menyentuh pipiku dan diraba sangat pelan. Darahku seperti mendidih, berdesir mengikuti sentuhan yang kini berhenti di dagu."Nara," panggilnya dalam. Suara itu berat dan serak membuat bulu-buluku kembali berdiri.Berbeda. Ini bukan efek dari nikmat seperti yang dia lakukan pada bagian intimku tadi. Tepatnya, aku merasa merinding yang menakutkan. Takut akan matanya yang menggelap seperti predator yang akan memangsaku."Lihat, baru saja kau menikmati cumbuanku dan sekarang kau menjadi takut padaku."Dia bangkit dari sisi ranjang untuk melepaskan sabuk yang mengikat celananya. Awalnya kupikir Pak Arsen akan segera menindihku seperti yang biasanya, tapi kali ini berbeda. Dia lebih fokus melepaskan sabuk itu dari pinggang celananya.Tanpa mempedulikan tatapanku yang ketakutan, Pak Arsen kembali duduk di sisi ranjang
"Ra, Pak Arsen manggil kamu itu."Yunita berkata setelah berbicara di dalam telepon. Aku yang sedang sibuk dengan pekerjaan, refleks mengalihkan wajah padanya."Pak Arsen?" ulangku memastikan dan Yuni mengangguk."Katanya minta kopi yang sama kayak kemarin."Lagi? Aku tahu itu cuma alasan. Kopi yang aku antar kemarin saja tidak pernah dia minum."Oh, oke."Sambil menyeduh kopi pesanan Arsen, Yuni mengamatiku dari tempatnya. Tatapannya yang terlihat aneh sungguh membuatku ingin membuang muka rasanya. Aku takut dia curiga melihatku yang belakangan ini selalu dipanggil ke ruangan itu."Nara, sebenarnya ada apa?" tanya Yuni.Mungkin dia khawatir dengan perceraianku?"A-apa? Nggak usah dipikirin, Yun. Aku baik kok, perceraian nggak bikin aku jatuh," jawabku, memberikan senyum pada Yunita. Aku tak suka membahas Ferdy yang akan membuat hariku rusak."Bukan. Aku tau kamu santai banget kayak nggak a
Tangan Arsen menjalar di pipiku sedang sorot matanya tak lekang menatap langsung dua manikku. Aku jadi malu, menurunkan pandangan ke atas pangkuan. Dia mendengus pelan dan bisa kubayangkan sudut bibirnya terangkat menertawakanku."Ada apa, Nara? Kenapa tubuhmu menegang? Tak bisa santai sedikit?" Ada nada bercanda di balik suaranya, seakan tak punya rasa takut seperti yang kupikirkan sejak tadi."Jangan di sini," bisikku parau. Namun, hanya hatiku yang tahu bahwa ada perasaan ingin disentuh olehnya."Kenapa? Bukannya kita sudah sepakat aku akan memuaskanmu di ranjang?"Apa di sini ada ranjang? Apa dia tidak bisa membedakan antara ranjang dan sofa? Ingin sekali aku berteriak di telinganya berkata kalau kami sedang di kantor dan bisa dilihat orang lain."Nanti ada yang datang." Namun hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirku, dan tentunya dengan suara yang hampir berbisik.Sekali lagi kudengar dia mendengus, seakan itu
'Nara, please. Jaga pikiranmu agar tetap waras. Kau anggap dirimu sangat berharga sampai dia melamarmu? Sadar, dia sedang mempermainkanmu,' batinku melempar aku pada kenyataan.Lantas aku berdiri dari sofa itu dan tersenyum tipis padanya. "Pak Arsen, jangan mengada-ada. Langit nggak mungkin turun menyentuh bumi. Dan bumi sendiri pun tak akan mau disentuh langit sebab itu akan membuatnya pecah, hancur. Kita saling membutuhkan, bukan menginginkan," ucapku berani. Ini kali pertamaku berbicara tegas padanya meski di tenggorokan terasa kering.Dan bisa kulihat dia mengangkat sudut bibirnya seakan meledekku. "Betul, aku setuju. Langit memang tak perlu membuang waktu untuk turun memeluk bumi."Tak bisa kupungkiri hatiku kecewa oleh jawabannya. Seperti aku berharap dia akan menahanku dan mengatakan tak ada bumi dan langit antara kami. Bodohnya."Kalau begitu saya permisi, Pak." Tak perlu kutunggu jawaban darinya lalu kuputuskan meninggalkan ruangan
"Nindy, bangun, Nindy."Kutepuk pelan wajah itu untuk membangunkan Nindy dari keadaannya. Dia tak bergeming, masih setia menutup mata. Kakiku mulai gemetar merasakan takut luar biasa yang kian mendera.Dia hanya pingsan, kan? Aku harap dia hanya merasa sedikit terkejut dan nanti akan kembali bangun. Lantas aku berlari ke arah dapur meraih segelas air untuk kubawa ke ruang tengah. Dengan tangan yang semakin gemetar, kubasuh wajah wanita yang membuatku terusir dari rumah itu, penuh dengan kekhawatiran. Jika dia kenapa-kenapa, aku yakin tak akan ada yang mau percaya padaku. Semua orang pasti menuduhku membunuhnya demi mendapatkan Ferdy lagi. Tak diragukan lagi tuduhan itu.Ya Tuhan ... tolong selamatkan dia dan bayinya. Hatiku berdoa untuk perempuan yang membuatku menjadi janda ini. Meski aku sangat membencinya, tetap saja, aku berharap dia segera pulih."Nindy, bangun. Tolong bangun, Nindy," bisikku, masih dengan menepuk pelan wajahnya. Aku se
Ponsel di tangan kugenggam erat untuk menyamarkan getaran tubuhku. Arsen belum juga berbicara di ujung sana meski sekedar mengatakan apakah dia mau datang atau tidak. Dan Ferdy, jangan tanyakan dia, sebab orang itu kini tertawa semakin lebar. Dia masih terus mengatakan kalimat yang menyakiti, tuduhan mandul dan perempuan murahan padaku.Tak lupa Nindy. Perempuan perebut suami orang itu sudah berdiri di sebelah suaminya. Pergi ke mana rasa sakit yang dia katakan tadi? Licik."Udah lah, Mas. Usir aja sih, dia. Ngapain dibiarin di depan rumah kita? Kayak kuman! Malu juga kita kalo dilihat tetangga, kan?" ucapnya, mengingatkan Ferdy agar segera mengusirku."Biarin aja, Nin. Aku mau lihat siapa yang dia telepon tadi? Memangnya ada yang benar-benar peduli padanya?"Dan tak lama setelah Ferdy berkata seperti itu, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku tak mengenal mobil itu, tapi bukan milik Arsen. Meski begitu, hatiku terus berdoa dan berharap memang
"Jangan ..." mohonku. Kedua tangan kulipat di depan dada untuk melindungi kulitku dari sabetan cambuk yang dia bawa. Arsen hanya tersenyum miring dan terus melangkah mendekatiku."Jangan cambuk aku," pintaku lagi."Buka bajumu, Nara.""Nggak ..." jawabku gemetar.Arsen mendecih. Dengan tenang dia letakkan cambuk itu di atas ranjang sebelum datang lebih dekat padaku. Dalam sekali sentakan, dia merobek pakaian atasku sampai menimbulkan suara 'srek' yang panjang."Argh!" jeritku, mengiringi suara robekan itu sampai ke ujung baju kaus yang kukenakan.Refleks kedua tangan menutup bagian dadanya yang sudah terpampang hanya tertutup pakaian dalam."Jangan ... jangan seperti ini!" jeritku, berharap Arsen menjadi iba.Masih dengan tatapannya yang tak bersahabat. Arsen menarik bra pembungkus dua bukit kembarku dan berakhir robek seperti baju kaus itu. Dia pandangi kain penutup itu sejenak sebelum melemparnya
Lamat-lamat terdengar suara seseorang berbicara di dekatku. Itu suara Arsen, sepertinya dia tengah menanyakan apa yang terjadi sampai aku menjadi pingsan, lalu seseorang yang tak kukenal suaranya itu berbicara panjang lebar menjelaskan hal yang belum bisa kupahami. Masih terlalu sulit memahaminya, sebab kesadaran belum seutuhnya kumiliki."Jangan menyakitinya lebih banyak lagi, Arsen. Dia bukan Nara, ingat itu!" ucap seseorang itu kudengar, tegas dan seakan penuh penekanan agar Arsen memahaminya.Tapi, justru aku yang tidak paham sekarang. Dia bilang aku bukan Nara, lantas siapa aku?Pelan tapi pasti kubuka mata. Pandanganku dan Arsen langsung bertabrakan yang berarti sejak tadi dia juga melihatiku. Gugup kurasa, ingin menutup lagi mata ini tapi sudah terlanjur dia melihatku."Kau bangun?" tanya Arsen. Lelaki berpakaian putih itu lantas ikut menoleh padaku."Ah? I-iya," sahutku lemah.Kulirik lelaki di dekatnya, tampan. Tidak kal
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb