'Nara, please. Jaga pikiranmu agar tetap waras. Kau anggap dirimu sangat berharga sampai dia melamarmu? Sadar, dia sedang mempermainkanmu,' batinku melempar aku pada kenyataan.
Lantas aku berdiri dari sofa itu dan tersenyum tipis padanya. "Pak Arsen, jangan mengada-ada. Langit nggak mungkin turun menyentuh bumi. Dan bumi sendiri pun tak akan mau disentuh langit sebab itu akan membuatnya pecah, hancur. Kita saling membutuhkan, bukan menginginkan," ucapku berani. Ini kali pertamaku berbicara tegas padanya meski di tenggorokan terasa kering.
Dan bisa kulihat dia mengangkat sudut bibirnya seakan meledekku. "Betul, aku setuju. Langit memang tak perlu membuang waktu untuk turun memeluk bumi."
Tak bisa kupungkiri hatiku kecewa oleh jawabannya. Seperti aku berharap dia akan menahanku dan mengatakan tak ada bumi dan langit antara kami. Bodohnya.
"Kalau begitu saya permisi, Pak." Tak perlu kutunggu jawaban darinya lalu kuputuskan meninggalkan ruangan
"Nindy, bangun, Nindy."Kutepuk pelan wajah itu untuk membangunkan Nindy dari keadaannya. Dia tak bergeming, masih setia menutup mata. Kakiku mulai gemetar merasakan takut luar biasa yang kian mendera.Dia hanya pingsan, kan? Aku harap dia hanya merasa sedikit terkejut dan nanti akan kembali bangun. Lantas aku berlari ke arah dapur meraih segelas air untuk kubawa ke ruang tengah. Dengan tangan yang semakin gemetar, kubasuh wajah wanita yang membuatku terusir dari rumah itu, penuh dengan kekhawatiran. Jika dia kenapa-kenapa, aku yakin tak akan ada yang mau percaya padaku. Semua orang pasti menuduhku membunuhnya demi mendapatkan Ferdy lagi. Tak diragukan lagi tuduhan itu.Ya Tuhan ... tolong selamatkan dia dan bayinya. Hatiku berdoa untuk perempuan yang membuatku menjadi janda ini. Meski aku sangat membencinya, tetap saja, aku berharap dia segera pulih."Nindy, bangun. Tolong bangun, Nindy," bisikku, masih dengan menepuk pelan wajahnya. Aku se
Ponsel di tangan kugenggam erat untuk menyamarkan getaran tubuhku. Arsen belum juga berbicara di ujung sana meski sekedar mengatakan apakah dia mau datang atau tidak. Dan Ferdy, jangan tanyakan dia, sebab orang itu kini tertawa semakin lebar. Dia masih terus mengatakan kalimat yang menyakiti, tuduhan mandul dan perempuan murahan padaku.Tak lupa Nindy. Perempuan perebut suami orang itu sudah berdiri di sebelah suaminya. Pergi ke mana rasa sakit yang dia katakan tadi? Licik."Udah lah, Mas. Usir aja sih, dia. Ngapain dibiarin di depan rumah kita? Kayak kuman! Malu juga kita kalo dilihat tetangga, kan?" ucapnya, mengingatkan Ferdy agar segera mengusirku."Biarin aja, Nin. Aku mau lihat siapa yang dia telepon tadi? Memangnya ada yang benar-benar peduli padanya?"Dan tak lama setelah Ferdy berkata seperti itu, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku tak mengenal mobil itu, tapi bukan milik Arsen. Meski begitu, hatiku terus berdoa dan berharap memang
"Jangan ..." mohonku. Kedua tangan kulipat di depan dada untuk melindungi kulitku dari sabetan cambuk yang dia bawa. Arsen hanya tersenyum miring dan terus melangkah mendekatiku."Jangan cambuk aku," pintaku lagi."Buka bajumu, Nara.""Nggak ..." jawabku gemetar.Arsen mendecih. Dengan tenang dia letakkan cambuk itu di atas ranjang sebelum datang lebih dekat padaku. Dalam sekali sentakan, dia merobek pakaian atasku sampai menimbulkan suara 'srek' yang panjang."Argh!" jeritku, mengiringi suara robekan itu sampai ke ujung baju kaus yang kukenakan.Refleks kedua tangan menutup bagian dadanya yang sudah terpampang hanya tertutup pakaian dalam."Jangan ... jangan seperti ini!" jeritku, berharap Arsen menjadi iba.Masih dengan tatapannya yang tak bersahabat. Arsen menarik bra pembungkus dua bukit kembarku dan berakhir robek seperti baju kaus itu. Dia pandangi kain penutup itu sejenak sebelum melemparnya
Lamat-lamat terdengar suara seseorang berbicara di dekatku. Itu suara Arsen, sepertinya dia tengah menanyakan apa yang terjadi sampai aku menjadi pingsan, lalu seseorang yang tak kukenal suaranya itu berbicara panjang lebar menjelaskan hal yang belum bisa kupahami. Masih terlalu sulit memahaminya, sebab kesadaran belum seutuhnya kumiliki."Jangan menyakitinya lebih banyak lagi, Arsen. Dia bukan Nara, ingat itu!" ucap seseorang itu kudengar, tegas dan seakan penuh penekanan agar Arsen memahaminya.Tapi, justru aku yang tidak paham sekarang. Dia bilang aku bukan Nara, lantas siapa aku?Pelan tapi pasti kubuka mata. Pandanganku dan Arsen langsung bertabrakan yang berarti sejak tadi dia juga melihatiku. Gugup kurasa, ingin menutup lagi mata ini tapi sudah terlanjur dia melihatku."Kau bangun?" tanya Arsen. Lelaki berpakaian putih itu lantas ikut menoleh padaku."Ah? I-iya," sahutku lemah.Kulirik lelaki di dekatnya, tampan. Tidak kal
"Kau gila ... kau laki-laki gila, Arsen!"Tak sadar aku menjerit sangat keras. Kulihat dia melotot tak senang oleh teriakanku. Aku tak peduli! Aku tidak akan terus menjadi lemah dan membiarkannya memperlakukanku tidak manusiawi.Meski keberanianku lebih besar sekarang, tetap saja aku berlari untuk menghindari Arsen. Tak tentu arah kaki ini berlarian di dapur kecil yang rapi dan bersih itu.Dia berjalan pelan, "Jangan mendekat!" cegahku cepat. Tapi Arsen seperti tidak mendengarkanku."Nara, jangan seperti anak kecil," katanya.Anak kecil katanya? Hei! Dia sudah membuat aku berbaring di atas tempat tidur itu hampir dua hari, dan katanya aku seperti anak kecil? Orang gila sekali pun tidak akan terima diperlakukan kasar seperti itu."Kau gila! Kau laki-laki psikopat!" balasku. Entah dari mana keberanian ini datangnya, dan kurasakan darahku mendidih membayangkan lagi saat Arsen menyakitiku di tiang penyiksaan itu. "Aku budakmu, Brengsek! Ak
Saat kurasa paru-paru sudah benar-benar kosong, Arsen melepaskan cengkramannya dari leherku. Aku terjerembab dengan lutut yang lebih dulu menyentuh lantai. Rasa sakit di tempurung lututku tak bisa mengalahkan kesakitan di tenggorokan. Aku pikir mungkin leherku sudah putus, yang membuat tangan segera memeganginya. Beruntung, aku belum mati ternyata. Tapi sesak di dada ini seakan membunuhku.Beberapa kali aku berusaha menarik napas untuk mengisi lagi paru-paru dengan oksigen. Arsen ikut berlutut di sebelahku."Nara .... Nara ..." panggilnya.Entah bagaimana ekspresi wajahnya sekarang, aku tidak terlalu peduli. Yang kudengar, nada suaranya cukup khawatir.Terbatuk berkali-kali sampai akhirnya aku bisa bernapas meski masih tersendat."Kamu nggak apa-apa?" tanya Arsen lagi. Dia memegangi pundakku dengan lembut seakan dia memang khawatir.Ini sangat sakit. Bahkan tambah sakit saat aku mengingat lagi bagaimana Arsen mencekikku tadi. Kenapa di
Suara siapa itu? Alisku mengerut mendengar suara yang tidak aku kenali. Itu bukan Arsen, lantas siapa dia? Dia juga tahu namaku?Mendongak cepat, kulihat wajah lelaki bersepatu hitam mengkilat itu dan dia tersenyum ramah. Itu ... bukannya dia itu ...."Dokter Arlan?" panggilku setengah berbisik. Tenggorokan terasa kering."Halo, Nara. Kau masih mengingat aku ternyata," balasnya masih dengan bibir yang tersenyum. Dia mengulurkan tangan ke depan wajahku. "Ayo, biar aku bantu kamu berdiri."Ragu-ragu kubalas uluran tangannya. Sejujurnya, aku sudah pasrah andai dia membawaku kembali ke rumah Arsen, lalu menghubungi lelaki itu. Tapi, kucoba untuk memohon semoga dia sedikit saja iba padaku."Dokter, tolong jangan kasih aku pada Arsen lagi," ucapku. Tak bisa kuhindarkan air mata yang meleleh di sudut bibirku."Berdiri dulu. Nanti kita bicarakan di dalam mobil," sahutnya lagi, menarik aku agar segera berdiri.Kakiku teramat
Matanya bergetar tak tenang. Bisa kulihat Arlan meneguk salivanya, menggerakkan buah jakun yang menyangkut di tengah tenggorokan. Kupastikan dia sangat tergoda ingin menerkamku sekarang.Boleh aku sedikit menjelaskan tentang diriku?Meski sudah menikah lima tahun, tubuhku masih cukup ramping. Kulitku berwarna kuning langsat khas perempuan Indonesia, dan rambutku yang mengombak jatuh sampai ke pinggul. Meski ukuran dadaku tidak sebesar milik wanita idamannya para lelaki, tapi pucuknya yang masih berwarna merah muda itu cukup menggoda untuk disentuh. Apalagi bibirku, orang-orang sering menyebutnya seksi.Akan kubuat Arlan ikut gila dengan menggigit pelan bibir bawahku, untuk menggodanya. Dia pun menegang tak berani bergerak."Pak Dokter, sentuh aku," pintaku seperti murahan yang sedang merayu pelanggan.Dia masih mematung di sana. Napasnya sudah tidak teratur pertanda Arlan sangat terangsang, kala aku memaksa diri mendekatinya. Ketika aku menyentuh
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb