*Happy Reading*Sebenarnya, Navisha kurang nyaman tinggal di rumah William ini. Bukan, bukan karena rumah ini kurang besar atau apa. Hanya saja, ada beberapa sudut di rumah ini seperti secara otomatis mengingatkan Navisha akan rasa sakit hatinya di masa lalu. Contohnya saja dapur, ruang tamu, ruang televisi, kolam renang, taman belakang dan samping rumah. Beberapa kenangan menyakitkan pernah William torehkan di beberapa tempat itu.Rumah ini sedikit banyak telah menjadi saksi bagaimana dulu Navisha berdarah-darah mengemis perhatian William. Akan tetapi selalu di abaikan. Bahkan, tak jarang William juga melukai hatinya di rumah ini. Mengacuhkan kehadirannya, kue yang di bawa atau dibuatnya dan sengaja memberikannya pada orang lain di depan wajah Navisha sendiri, seolah memang perasaan Navisha tak pernah ada harganya untuk William. Meski pria itu mengaku ternyata terpaksa melakukannya. Tetap saja, sakitnya masih terasa hingga kini. Ya, kini! Saat Navisha kembali melihat tempat-tempat i
*Happy Reading*Pembantu, pembantu, pembantu, ugh ... rasanya Navisha mulai muak sekali dengan titel itu. Bukan ingin merendahkan pekerjaan tersebut. Hanya saja ... ya Tuhan ... apa dia memang separah itu tampangnya?Melepas rangkulan lengan William di pinggang setelah dua wanita tadi berlalu ke dapur, Navisha pun gegas kembali ke kamar dan memindai wajahnya sendiri di cermin yang ada di sana. Huft ... ternyata memang dekil sekali. Navisha pun menghela nafas berat kala menemukan fakta yang membuatnya tertampar. Kulitnya memang masih putih tanpa jerawat. Hanya saja, sekarang terlihat kusam tak bersinar, Kasar, pula. Kucel dan kuyu. Lihatlah lingkar mata yang mengerikan itu, komedo serta flek hitam yang mulai terlihat. Tuhan ... pantas saja semua orang selalu merendahkannya. Ternyata dia memang dekil banget!"Kamu kenapa?" tanya William heran yang ternyata mengikuti Navisha dari belakang."Nggak papa," jawab Navisha lesu. Melirik wajahnya sekali lagi pada cermin yang kini turut menampi
*Happy Reading*"Will ... ini ...." Suara Navisha rasanya tercekat di tenggorokan, hingga wanita itu tak bisa berkata-kata lagi setelah mendapat kejutan dari sang suami. "Kamu suka?" tanya William lembut, menatap istrinya dengan teduh. Navisha refleks menggeleng. Membuat tatapan William sedikit berubah. Kiranya istrinya itu akan bahagia mendapat kejutan darinya ini, ternyata ...."Kamu tidak suka?""Aku terharu," aku Navisha akhirnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Senyum William pun kembali berbinar. "Bagaimana kamu melakukan ini, Will? Bukankah ... bukankah ... selama ini kamu selalu mengabaikan aku?" tuntutnya kemudian dengan air mata yang sudah lolos dari sudut mata. "Sebenarnya aku tidak pernah benar-benar mengabaikanmu." William menjawab sambil menyeka air mata Navisha dengan jarinya. "Aku hanya ... tidak boleh memperlihatkan semua perasaanku padamu," imbuhnya lagi. "Kenapa?""Aku sudah pernah mengatakan alasannya, kan?""Karena kakek?""Bukan hanya karena beliau. Tapi
*Happy Reading*"Maaf untuk semua luka yang sudah aku goreskan di masa lalu. Aku janji akan mengobatinya dan menambal luka itu dengan kebahagiaan yang akan ku usahakan sebaik mungkin mulai saat ini. Aku tahu kenangan lama yang pahit itu tak akan pernah bisa aku hapus. Maka untuk menebusnya, aku akan berusaha menutupi kenangan itu dengan kenangan baru dan kebahagiaan baru. Kamu mau kan memberikan kesempatan untukku melakukan hal itu?"William menutup kejutan manisnya dengan janji tersebut. Dan Navisha pun bersedia memberikan kesempatan itu. Toh, sejak menikah pun William sudah menunjukan perubahannya. Karenanya, tidak ada salahnya kan untuk Navisha membuka hatinya untuk pria itu sekali lagi, kan? Lebih dari itu, Navisha tidak ingin terus membohongi diri. Cinta itu masihlah ada untuk seorang William sebenarnya. ***William membuktikan janjinya dengan tiba-tiba mendatangkan seorang arsitek ke rumah mereka. Saat di tanya untuk apa? Pria itu menjawab untuk mengubah interior dapur dan semu
*Happy Reading*Navisha tidak tahu apa yang William dan sang kakek bicarakan. Pria itu mengajak kakeknya berbicara di ruang kerja, sementara istrinya diminta untuk ke kamar istirahat. Navisha kepo. Tentu saja! Tetapi tahu dosa jika sampai melawan titah sang suami. Akhirnya, di sinilah dia sekarang. Mondar-mandir layaknya setrikaan di dalam kamar mereka."Aduh, gue kepo! Boleh nguping gak, sih?" Navisha bermonolog saat merasa tak kuasa lagi menahan rasa penasaran yang hampir meledakan kepalanya sendiri. "Jangan, ah! Bisa berabe kalau sampai ketahuan." Wanita itu menggeleng cepat. "Kakek Wirya udah benci bisa tambah benci kalau sampai hal itu terjadi. Nilai gue makin minus nanti di matanya." Navisha kembali bermonolog dengan batin yang ikut berperang saat ini. "Tapi gue kepo ya ampun. Bisa botak gue kalau lama-lama begini," desahnya putus asa. "Tau, ah. Dari pada pusing mending bikin kue aja." Navisha pun mengambil alternatif lain guna mengalihkan pikirannya. Wanita itu memutuskan
*Happy Reading*Siang itu, saat Navisha sedang mengadakan video call bersama Nissa dan Aida, untuk membahas solusi pesanan cafe yang membludak sementara ia masih tak bisa pulang. Navisha di kejutkan oleh raungan William dari arah ruang tengah. Khawatir terjadi sesuatu dengan sang suami, Navisha pun mengakhiri meeting virtualnya dan gegas menghampiri tempat sumber suara. "Ampun, Tuan. Ampun! Tolong maafkan saya dan Dian. Kami ... khilaf. Kami janji tak akan melakukannya lagi. Kamu--""Cukup!"Saat Navisha datang, terlihat Bu Irah serta anaknya, Dian tengah berlutut dan di depan William yang kini tampak seperti tengah murka sekali. Ada dua dari empat satpam juga di sana, yang biasa berjaga di rumah ini.Ada apa?"Saya tidak ingin mendengar apa pun alasan kalian. Sekarang pilih saja, kembalikan apa yang sudah kalian curi dari rumah ini, atau kalian akan saya polisi, kan!" ucap William dingin dan tak bersahabat. "Jangan, Tuan! Saya mohon! Saya gak mau masuk penjara," hiba Bu Irah lagi.
*Happy Reading*"Kok malah jadi tegang gitu kalian? Gak suka ya nenek datang ke sini?" Suara Mariam, nenek William memecah keheningan yang seketika terjadi di sana. Navisha yang masih kaget karena kedatangan kakek dan nenek yang tiba-tiba, melirik William refleks. Ternyata pria itu pun melakukan hal sama dengannya. Yaitu melirik Navisha dengan raut kaget dan bingung.Beruntung William cepat menguasai diri. Setelah berdehem pelan satu kali. Pria itu segera menghampiri sang nenek sambil tersenyum. "Mana ada, Nek," bantahnya. "Kami senang kok dengan kedatangan nenek." William menyalami tangan nenek Mariam dengan khidmat, tapi tidak melakukan hal yang sama pada si Kakek. Mungkin pria itu masih menyimpan dendam. Melihat hal itu, Navisha pun turut mendekat dan melakukan hal yang sama. Yaitu mencium punggung tangan wanita itu dengan sopan. Namun berbeda dengan William, Navisha tidak mengabaikan sang kakek. Istri William mencium punggung tangan Kakek Wirya dengan sopan. Dan hebatnya kali
*Happy Reading*Hubungan Navisha dan keluarga William semakin membaik setiap harinya. Ia kini bahkan menjadi kesayangan sang nenek. Mengambil alih posisi yang selama ini William tempat di hati sang nenek. Akan tetapi, William tidak cemburu sama sekali. Pria itu malah turut bahagia karena hal itu membuat sang kakek makin tidak bisa berulah lagi. Bukan maksud meragukan niat tobat kakek Wirya. Namun, William masih tak bisa percaya begitu saja setelah apa yang ia alami selama ini. Hubungan Navisha dan William pun berbanding sejalan dengan hubungan sang istri dan keluarganya. Mereka semakin hari semakin harmonis dan lengket. Meski terlambat, William benar-benar menepati janjinya yang ingin mengganti semua kenangan pahit saat pacaran dengan kenangan baru yang membahagiakan. Mereka pacaran lagi, tapi versi halal. Mengulang moment penting yang pernah sangat Navisha idamkan tapi William abaikan. Mengunjungi tempat-tempat yang dulu menjadi goresan luka di hati sang wanita, menggantinya denga