“Sudah kuduga, dia tidak akan tega membiarkanku menyakiti diriku sendiri,” gumam Stella yang hanya didengar oleh telinganya sendiri. Hatinya bersorak gembira mendapati Alex menghentikan langkah. Meski tak langsung berbalik, dia yakin pria itu kembali masuk ke dalam jebakannya. Senyum licik terukir di sudut bibir.Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama karena tiga detik berikutnya Alex berbalik. Seketika itu juga Stella memasang ekspresi wajah sendu.“Tidak akan kubiarkan!” gumam Alex sambil melangkah cepat, kembali menghampiri Stella dan menatapnya lekat-lekat. Gemuruh di dadanya terasa bersama kemarahan yang tak tertahankan.‘Ke … kenapa dia menatapku seperti itu?’ batin Stella yang mulai berdegup kencang jantungnya. Dia harus menelan ludah berkali-kali untuk membasahi kerongkongannya yang entah kenapa, terasa kering seketika. Intimidasi pria itu amat terasa hanya dari sorot mata tajamnya.“Apa yang kamu katakan?” tanya Alex dengan suara dingin. Giginya gelemetuk, saling beradu
"Paman, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan Stella, kami tidak lagi berhubungan. Dia tiba-tiba muncul dan—""Kau masih peduli padanya, bukan?" sela Stevan dengan tatap mata yang tajam. Sekali lihat saja, dia tahu Alex tidak bisa melepaskan Stella sepenuhnya. Padahal gadis itu sama seperti ibunya, beracun dan berbahaya."Hanya keledai bodoh yang membiarkan dirinya terperangkap di lubang yang sama. Dan seharusnya kau tidak sebodoh itu, Lex. Otakmu cukup mumpuni untuk mengerti apa yang sudah terjadi sebelumnya."Alex menyergah napas kasar, tidak bisa mengatakan apa pun untuk menyanggah pernyataan Stevan. "Sebelum semuanya terlambat, menjauhlah dari orang-orang yang hanya ingin memanfaatkanmu. Jangan terjebak di situasi yang sama di mana kamu hancur, sementara mereka justru tertawa. Kebahagiaan dan kebebasanmu, ada di tanganmu sendiri. Kau yang menentukan itu. Bukan orang lain!"Alex mengangguk patuh, membenarkan semua ucapan sang Paman."Sekali saja kamu membiarkan wanita jah
"Aku baru tahu istriku semenggemaskan ini."Jemari Stevan mencubit hidung Elisa dan membuat wanita itu segera menghempas tangannya dengan kesal. Bibirnya mengerucut, menunjukkan penolakan."Singkirkan tanganmu dari wajahku!"Gelak tawa Stevan menggema, memecah hening yang semula menyelimuti pasangan suami istri yang sebentar lagi menyambut kedatangan buah cinta mereka."Selain menggemaskan, ternyata istriku ini galak seperti seekor macan. Aw, benar-benar menakutkan!"Elisa melirik tajam ke arah Stevan. Alih-alih terpengaruh dengan godaan pria itu, dia memilih mengabaikannya."Apa yang kita bicarakan sebelumnya, Sayangku Elisa? Aku bahkan sampai lupa." Stevan terkekeh, merasa terhibur melihat pembawaan istrinya. Meskipun bukan lagi pengantin baru, tapi dia masih sering dikejutkan dengan sikap spontan wanita itu. Terlebih, sejak dulu dia tidak pernah menaruh perhatian khusus kepada lawan jenis, bahkan dia tidak keberatan mengabaikan Clara yang jelas-jelas mencari simpatinya. Nama Steva
Halo pembaca tersayang... Saya ingin meminta maaf karena di bulan ini belum bisa update rutin, bahkan sempat menghilang seminggu penuh tanpa memberi kabar sama sekali. Sungguh, saya tidak bermaksud untuk menggantung pembaca dan cerita ini tanpa kejelasan. Saat ini, kondisi kesehatan saya sedang kurang baik, juga banyak kesibukan di dunia nyata yang menuntut waktu, tenaga, dan juga perhatian saya. Saya akan tetap melanjutkan buku ini sampai selesai, karena sebenarnya konfliknya sudah tidak banyak. Saya usahakan untuk update paling tidak beberapa kali dalam seminggu, sampai nanti saya bisa kembali update rutin setiap hari seperti biasa. Sampai waktu itu tiba, semoga temen-temen masih mau menunggu dan membaca kisah para tokoh utama ini sampai selesai yaaa. Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih atas semua dukungan dan juga kesabaran untuk buku ini. Saya tidak akan sampai di sini tanpa kalian. Terima kasih, semoga harimu selalu menyenangkan! Salam hangat,
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Clara mengerutkan keningnya, menatap Alex yang entah sejak kapan duduk di atas kap mobilnya yang ada di parkiran mall.Alex yang tadinya sedikit terkantuk-kantuk karena terlalu lama menunggu Clara, terkesiap dan langsung berdiri. Tanpa sengaja, buket bunga di pangkuannya jatuh bersama kotak perhiasan yang semula akan diberikan sebagai kejutan untuk kekasihnya.“Clara … aku … ini ….”Alex kesulitan bicara, gugup dan panik, segera mengambil dua benda penting itu dari dekat kaki Clara. Tampak jelas wajah sungkan pria itu, salah tingkah sambil menatap gadis yang semakin dalam kerutan di keningnya. Mereka berdiri sejajar, tapi Alex benar-benar canggung.“Kamu mengirimkan pesan tanya kapan aku pulang karena kamu menungguku?” tanya Clara yang sudah berhasil mencerna apa yang terjadi sebenarnya.“Ya.”“Kenapa tidak mengatakannya secara terang-terangan?!” imbuh Clara sedikit ketus, kesal dan merasa sedikit bersalah.“Aku tidak ingin mengganggumu,” jawab Alex sa
“Kenapa tidak menjawab teleponmu, Ra?!”Clara terkesiap, menoleh ke sebelah kiri di mana ponselnya tergeletak di atas meja kerja. Sedari tadi dirinya sibuk bercengkerama dengan Alex, sesekali bercanda sampai tidak mendengar getar panggilan dari Gunawan.“Lain kali, jangan abaikan ponselmu. Bagaimana jika ada klien penting yang membutuhkan bantuanmu, hah?”Baik Clara maupun Alex langsung meneguk ludah untuk membasahi kerongkongan masing-masing yang terasa kering. Meskipun tidak mengatakan dengan terang-terangan terkait ketidaksukaannya perihal keberadaan Alex di sana, tapi ekspresi wajah pria itu teramat kentara.“Maaf, Pa. Itu salahku,” ucap Clara berusaha mengambil alih judgement yang pasti ditujukan kepada Alex sebagai ‘tamu tak diundang’.“Kamu tidak pernah selalai ini sebelumnya, Ra. Papa kecewa!”Bersama lirikan tajam yang terarah kepada Alex, Gunawan menghempas jas bagian bawahnya sebelum duduk dengan jemawa. Kehadirannya benar-benar merusak momen makan malam bersama yang tadiny
“Pa, menikah tidak semudah—” “Papa sedang berbicara dengan dia, bukan kamu, Ra! Jadi—” “Dia punya nama, Pa!” seru Clara, menyela ayahnya yang sedari tadi tidak memberinya kesempatan untuk bersuara. Melihat anak semata wayangnya begitu marah membuat Gunawan terdiam. Ada gurat kekecewaan yang begitu kentara di wajah wanita cantik kebanggaannya itu. “Clara tahu Papa masih meragukan Alex, tapi bisakah Papa sedikit saja menghargainya? Dia adalah pria yang aku cintai,” kata Clara dengan suara sedikit bergetar. Perasaannya campur aduk, sampai-sampai ia tidak sadar dengan apa yang tengah ia lakukan. Meskipun ia sendiri masih tidak yakin karena Alex belum memantapkan hubungan mereka, Clara tahu pria itu tidak main-main. Dan Clara ingin ayahnya bisa melihat itu. Bagaimana pun, hubungan mereka sudah sejauh ini. Clara tidak ingin semuanya berakhir sia-sia begitu saja hanya untuk memenuhi ego sang ayah. Gunawan lantas menyergah napas kasar setelah mereka terdiam selama beberapa detik yang t
“Sayang? Ada apa?” tanya Alex sembari mendekat dan menangkupkan kedua telapak tangannya pada sisi wajah cantik sang kekasih yang tampak murung. Alex menelan ludah gugup. Ia merasa bingung sekaligus khawatir. Apakah ia salah karena telah berbicara selantang itu pada Gunawan beberapa saat yang lalu? Mungkinkah Clara tidak suka dengan … “Hey,” Alex panik saat satu tetes air mata akhirnya jatuh membasahi pipi Clara yang putih mulus. Pria itu langsung mengusapnya dengan ibu jari sambil menunggu hingga akhirnya Clara beralih menatapnya dengan mata sendu. “Maafkan aku,” kata Alex lagi sebelum Clara sempat mengatakan sesuatu. “Aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih.” Clara menggeleng sambil berusaha menghentikan aliran air matanya sendiri. “Benarkah yang kamu katakan barusan?” Alex mengerjap, meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah dengar. “Apakah kamu sungguh-sungguh menjadikan aku sebagai tujuan hidup?” tanya Clara lagi karena Alex tidak menjawab pertanyaannya. “Apakah kamu me
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli