Halo, halo... maaf Author cuma bisa update satu bab hari ini. Menurut kalian, Clara menghabiskan malam panas sama siapa? Terus kalian keberatan nggak kalau kejadiannya diputar ulang hehehe sampai jumpa besok yaa ^^
WARNING! ADULT CONTENT“Di mana Stevan? Kenapa yang ada di sini justru keponakan brengseknya ini?”Clara menjambak rambutnya sendiri, menyingkirkan pengar yang masih tersisa. Palu godam seolah menghantam kepala saat dirinya berhasil mengumpulkan keping ingatan semalam. “Apa yang sudah terjadi?”Pandangan Clara beralih memindai seluruh isi kamar. Crop top warna hitam yang dipakainya tergeletak di lantai bersama hot pants tak jauh dari sana.“Apa aku sudah gila?!” Clara menggeleng tegas. “Jelas-jelas Stevan yang—”Kalimat Clara tak bisa berlanjut. Sepotong ingatan kembali, juga suara-suara samar yang tertangkap indra pendengaran sebelum kesadarannya musnah tak bersisa. Beberapa menit setelah tubuhnya rebah di atas ranjang, dia masih bisa mengenali Stevan dari parfum yang menguar dari tubuhnya. Pria itu berdiri tidak jauh darinya.“Kau sudah menemukan Elisa?”Mata Clara membulat, dadanya berdegup kencang. Ya! Stevan menanyakan hal itu pada seseorang. Apa yang terjadi semalam seolah ter
“Aku tidak akan sungkan lagi, Sayang.”Tepat setelah mengatakannya, Alex memposisikan diri dan mulai menikmati hidangan utama yang sudah menunggunya. Clara yang sedari tadi menetralkan degup jantung sambil mengambil napas, kini mulai merasakan sensasi yang berbeda.Bibir dan tangan Alex bekerja sama memanjakannya, membuat gairahnya kembali datang. Ditambah pengaruh obat perangsang di tubuh keduanya, mereka menikmati satu sama lain. Clara yang obsesif, mengambil alih permainan saat hampir merasakan puncak kedua.“Good job, Honey!”Alex meracau saat Clara bertingkah brutal dan memanjakan miliknya. Wanita itu mengabaikan rasa malunya, ingin mendapatkan kepuasan karena bertahun-tahun mengejar Stevan tanpa mendapat balasan. Malam itu, dia mewujudkan semua fantasi liar yang ada di kepala.Nama Stevan disebutkan berkali-kali di sela desah manja dari seorang Clara Gunawan. Dia bahkan mengumpat dengan kata-kata kasar saat tidak bisa lagi menahan birahi.Pun sama dengan Alex. Matanya terpejam,
Stevan menghisap rokoknya sambil memejamkan mata. Bibirnya mengembuskan napas ke udara dan membuat asap putih dengan aroma yang khas itu perlahan menguar dan menghilang entah ke mana. Namun, itu tidak jua mengurangi beban yang ada di hatinya.Melalui ekor matanya, Stevan menatap tubuh Elisa yang saat ini terbaring di ranjang. Kain kompres masih menempel di keningnya.“Apa dia baik-baik saja?” bisik Stevan tanpa suara.Tangannya terkepal bersama gigi-gerigi yang bergemeletuk mengingat apa yang terjadi delapan jam yang lalu. Hal yang membuatnya tidak bisa memejamkan mata hingga sekarang.“Di mana Elisa?” tanya Stevan tanpa mengurangi kecepatan langkahnya, keluar dari kelab The Exotic dan mengabaikan dua penjaga yang menatapnya dengan wajah jer
WARNING! ADULT CONTENT“Cukup, Elisa!” Stevan menarik diri, menahan tubuh Elisa dengan mencengkeram kedua puncak lengannya. Napas mereka sama-sama terengah-engah, kehabisan oksigen karena ciuman panas dari Elisa.“Stevan, aku—”Stevan menggeleng, mendudukkan Elisa kembali ke sofa. Dia benar-benar marah karena tidak bisa menjaga Elisa sehingga membuatnya dijebak oleh Bertha dan Clara. Akan tetapi, dia harus bisa mengendalikan diri agar tidak lepas kendali.Memenuhi keinginan Elisa tentu saja memberikan keuntungan untuknya, tapi itu bisa juga memberikan trauma mendalam. Dia tidak ingin bersenang-senang di atas penderitaan sang istri.“Kita pulang sekarang. Bertahanlah sebentar lagi,” ujar Stevan sambil memungut pakaian Elisa dan memakaikannya kembali dengan sedikit tergesa. Satu ciuman kembali wanita itu berikan, juga tangannya yang meraba leher, berharap Stevan membalas perlakuannya.“Elisa, please ….”Stevan mendesis, menahan tangan Elisa setelah berhasil mengancing piyama menutupi tu
WARNING! ADULT CONTENT“Kau! Siapkan kain untuk menyeka Elisa dan kain kompres.”Teriakan Stevan langsung menggema begitu melewati pintu utama rumahnya. Maria dan dua orang pelayan tergopoh-gopoh berlari memasuki kamar Elisa dan melakukan perintah pria itu.Stevan dengan hati-hati membaringkan Elisa yang sudah lunglai tubuhnya ke ranjang. Tangannya sigap melepas mantel wanita itu dan membiarkan tubuhnya terbuka.“Turunkan suhu pendingin udaranya!”Lagi-lagi titah Stevan membuat pelayan lari tunggang langgang, meraih remote AC dan mengaturnya menjadi suhu terendah yang membuat tubuhnya merinding seketika.Dengan hati-hati, Stevan menyeka tubuh Elisa setelah melepas ikatan dasi di pergelangan tangannya. Di sisi lain, Maria juga mengompres kening Elisa. Namun, suhu tubuhnya semakin tinggi. Rintihan lirih mulai terdengar tanda dia semakin tersiksa.Sama seperti sebelumnya, Elisa menggigit bibir bawahnya sampai berdarah.“Tuan!” Maria panik, menatap Stevan dan Elisa bergantian.Stevan hany
“Tidur nyenyak, Sweety?”Suara rendah Stevan membuat Elisa membuka matanya perlahan, menatap wajah tampan yang mengulas senyum simpul. Tangan pria itu mengelus pipi Elisa dengan lembut seolah tengah menyentuh keramik paling mahal di dunia.“Steve,” panggil Elisa lirih, membenahi posisinya semakin dekat ke tubuh Stevan yang masih mendekapnya. “Kamu tidak pergi bekerja?”Seyum Stevan semakin lebar.“Apa itu hal pertama yang kau tanyakan setelah apa yang kita lakukan semalam?”“Semalam? Apa yang ….”Kilas balik malam panas yang sudah dilalui dengan Stevan membuat kalimat tanya Elisa terhenti. Mulutnya terbuka tapi tak
Lima belas menit kemudian, pasangan suami istri itu sudah sampai di ruang periksa. Elisa dibaringkan di atas ranjang, langsung diobservasi oleh Jasmine dan satu perawat senior yang bertahun-tahun sudah bekerja dengannya.“Kondisi umum Nona Elisa baik, Dok. Meski tekanan darahnya cukup rendah, tapi semuanya normal,” lapor wanita dengan seragam kerja warna biru muda itu.“Hmm. Antarkan sampel darah ke laboratorium sekarang!” ucap Jasmine setelah membubuhkan tulisan P.I.M di bagian kanan atas kertas berisi data Elisa. Itu adalah tanda urgensi dari dokter yang berarti periculum in mora atau berbahaya bila ditunda.“Bagaimana keadaan Elisa?” sela Stevan setelah melihat perawat tadi tergesa meninggalkan ruangan, menyisakan satu perawat yang lebih muda.
“Aku yang meminta Stevan merahasiakan kehamilan kembar itu, Elisa,” ucap Jasmine membuat tatapan Elisa teralihkan, tak lagi menuntut penjelasan dari sang suami yang masih dicengkeram kemejanya.“Karena ini kehamilan pertama, aku yakin ada begitu banyak kekhawatiran yang kamu rasakan. Itu sebabnya kami menyembunyikannya.”Elisa menyingkirkan tangan Jasmine yang masih menempel di perutnya meski pemeriksaan belum sepenuhnya selesai. Dia juga melepas kemeja Stevan begitu saja, tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Bahkan, sedikit mendorong bahu pria itu unjuk menjauh.“Suster, bisa berikan aku tisu?” pinta Elisa dengan suara lirih, tapi masih terdengar jelas oleh telinga perawat senior.Dengan sigap, wanita yang berusia hampir se
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli