Elisa menghentikan usahanya mengambil tas dari tangan Stevan. Sekarang tatapannya tertuju pada pria yang sedari tak lepas mengamati setiap pergerakannya.“Aku hanya ingin membuatmu cemburu. Siapa sangka? It works!” ujar Stevan sambil melempar tas istrinya ke kursi belakang. Satu hal yang membuat Elisa semakin kesal.Tanpa pikir panjang, Elisa masuk ke mobil bagian belakang. Dia sama sekali tidak menyadari kapan Stevan meninggalkan posisinya dan ikut masuk melalui pintu yang satunya. Semua terjadi sekejap mata. Begitu cepat, tanpa terduga.“Kita harus bicara, Sayang.” Stevan berhasil menahan tangan Elisa, bahkan menarik tubuh wanita itu untuk membentur dadanya. Kedua tangannya serta merta mendekap Elisa erat-erat, mengabaikan dengkus napas maupun wajahnya yang tidak senang.“Kau cemburu saat aku menceritakan wanita lain, bukan? Begitu pula saat aku melihatmu dekat atau berbincang dengan seorang pria.”“Lepas! Jangan coba mengambil keuntungan dariku! Aku marah padamu, Steve!”Elisa menco
“Apa?”Elisa mengerjap dua kali, memastikan Stevan benar-benar menawarkan diri untuk menemaninya wisuda. Jelas-jelas pria itu memiliki agenda kerja yang tak sedikit.“Dibandingkan membiarkan pria liar itu menjadi pendampingmu, lebih baik aku kehilangan tender sepuluh miliarku.”“Tender sepuluh miliar?”“Itu hanya perumpamaan, Elisa.” Stevan mencubit hidung Elisa sekilas sambil tersenyum.Mulut Elisa membulat, mengucap ‘oh’ pelan.“Intinya, aku tidak mengizinkanmu dekat-dekat dengan Bastian atau siapalah itu. Jangan menyebutkan nama pria lain jika tidak benar-benar penting.”“Termasuk Sam—”“Ya. Aku pencemburu berat, Sayang.”Elisa spontan menutup mulut dengan tangan untuk menyembunyikan tawanya.“Kau boleh menertawakanku sesukamu. Saat sampai di rumah nanti, kupastikan kau akan mendapat ‘hukuman’ yang membuatmu tidak akan bisa tertawa seperti itu.”Seketika senyum di wajah Elisa tak lagi tersisa. Dia tahu betul hukuman seperti apa yang ada di pikiran Stevan. Bagaimanapun juga, mereka
Memikirkan soal bulan madu, Stevan lantas berbalik menyambar ponsel miliknya yang ada di atas nakas. Jemarinya lincah mengetuk-ngetuk layar sentuh itu, mencari nama asisten pribadinya.“Mario, periksa jadwalku. Kapan aku ada waktu untuk mengajak Elisa bulan madu?”“Uhuk!”Mario meletakkan cappucino miliknya ke atas meja dan mengambil beberapa lembar tisu untuk membersihkan wajah dan kemejanya yang terkena kopi. Belum sempat dia menyapa atasannya, tiba-tiba pria itu mengatakan rencana yang cukup mengejutkan.“Mohon maaf, bisa Anda ulangi, Tuan? Saya tidak terlalu—”“Pilihkan paket bulan madu untukku dan Elisa. Untuk tempatnya, tunggu pendapat wanita yang sekarang sedang merajuk itu. Mungkin baru nanti malam aku bisa bicara dengannya.”Mario baru saja membuka mulutnya bersiap mengiyakan tuntutan Stevan saat layar ponselnya lebih dulu menyala. Bunyi ‘tut tut tut’ menjadi penutup percakapan singkat mereka.“Astaga, jika bukan karena gajiku lima kali lipat dari asisten biasa, aku tidak akan
“Selamat pagi, Nona.” Samuel menyambut kedatangan Elisa di lobi perusahaan. Tiga orang staf yang bertanggung jawab atas kerja sama Miracle x Thomas and Co. juga turut hadir di sana, menundukkan kepala saat Elisa menoleh ke arah mereka. Lima orang berbeda jabatan dan usia itu berjalan menuju lift, siap melakukan rapat terbatas. “Bagaimana perkembangannya, Sam?” Samuel menyerahkan dokumen yang sedari tadi berada dalam genggaman tangan salah satu staf. Mereka adalah orang-orang yang dulunya loyal kepada mendiang Andara. Setelah melihat pembawaan Elisa tempo hari, makin setialah mereka pada pemimpin baru Miracle Company. Elisa mulai membaca deretan huruf dan angka yang tertangkap matanya. Satu kesan baru yang membuat Samuel sedikit heran. Berbagai tanya memenuhi kepala. Sejak kapan nona kecilnya itu berubah menjadi seorang wanita karier yang tidak ingin kehilangan waktu walau hanya beberapa detik saja? Mungkinkah ini karena pengaruh Tuan Stevan? Pemikiran itu semakin diperkuat saat E
“Ini daftar yang Anda minta, Tuan.” Mario menyerahkan beberapa lembar kertas berisi data-data orang yang sudah ditemui oleh Harris. “Dan ini daftar pertemuan yang lainnya. Besok pagi dan lusa.”Stevan menggeram, menggertakkan gigi-giginya. Beberapa waktu yang lalu, dia terlalu banyak meluangkan waktu bersama Elisa dan tidak awas dengan gerak-gerik kolega bisnisnya yang menunda pertemuan.Siapa sangka, ternyata Harris menyabotase mereka dan memberikan penawaran gila-gilaan agar tidak lagi memihak pada Wijaya Group pusat.“Tuan,” panggil Mario karena atasannya sama sekali tak bersuara meski dua menit telah berlalu. Benar-benar bukan Stevan yang dikenalnya bertahun-tahun lalu, di mana dia langsung meledak-ledak dan meluluhlantakkan apa saja saat mendapati sebuah pengkhianatan.“Haruskah saya bergerak mencegah pertemuan mereka?”Stevan mengembuskan napas kasar dari mulut, menggeleng dengan wajah yang terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Satu hal yang membuat kening Mario berkerut seketi
“Sungguh? Kamu memprovokasinya seperti itu?” tanya Clara begitu mendengar penuturan sahabatnya, Bertha. Dia wanita yang tidak sengaja bertemu dengan Elisa di depan gedung pusat wijaya Group, juga wanita yang ikut mengacau di perjamuan makan malam. Sekarang, dia sengaja mendatangi Clara di The Exotic Club demi menyampaikan berita besar tentang Elisa dan Stevan yang berselisih jalan. “Bagaimana ekspresinya? Apa dia marah?” Bertha tertawa, “Sepertinya begitu. Wajahnya terlihat sangat masam, Clara. Sangat disayangkan kamu tidak melihatnya secara langsung!” Clara tertawa, meminum wine miliknya dan memesan satu gelas lagi. “Dan kamu tahu, Honey? Ponsel Elisa sepertinya juga rusak. Aku sengaja menabraknya cukup keras. Layarnya pecah-pecah dan langsung mati saat itu juga. Pasti harus direparasi cukup lama jika ingin memperbaikinya.” Clara menyeringai, kembali meneguk minuman dengan kadar alkohol tinggi di gelasnya dalam sekali teguk. “Kamu yang terbaik, Bertha!” Clara memeluk sahabatn
“Angkat teleponnya, Elisa!”Stevan menggeram tertahan, mencengkeram kemudi di tangannya semakin erat. Kakinya memijak pedal gas semakin dalam, membuat kendaraan roda empat itu melesat semakin cepat, tak kurang dari 140 km/jam.Lagi-lagi suara operator yang terdengar melalui earphone wireless yang menempel di telinga Stevan. Puluhan kali menghubungi nomor Elisa, tetap tidak ada jawaban. Pun sama saat pria itu mencoba menelepon Clara, ponselnya justru dimatikan.“Shit! Apa yang kau lakukan di sana, Elisa?! Berhentilah bertindak bodoh!”Kecepatan mobil Stevan semakin tak terkendali, melewati jalanan ibu kota yang sudah lengang menjelang dini hari. Hanya ada satu dua kendaraan yang dilewati. Kekhawatiran yang semakin memuncak membuat pria itu kesetanan, kehilangan akal sehat dan menuruti emosinya.Dari sore hingga beberapa saat yang lalu, kepalanya penuh oleh urusan tender yang berusaha diambil alih oleh anak perusahaan pimpinan Harris dan Alex, membuatnya mengesampingkan urusan tentang E
Decit rem terdengar memekakkan telinga, tiga detik sebelum Stevan keluar dari mobilnya dan bertemu dengan sopir pribadi yang mengantarkan Elisa.“Tuan Stevan,” sapa pria dengan pakaian serba hitam, menundukkan kepala takzim.“Di mana Elisa?”“Nona ada di dalam.”“Kenapa membiarkannya pergi sendiri?!”Sebuah tamparan mendarat di wajah pria berusia empat puluh tahunan itu, membuatnya langsung bungkam seketika. Stevan terlanjur emosi, tidak bisa menahan diri. Langkahnya tertuju pada pintu masuk kelab yang dijaga oleh dua orang berbadan besar.“Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah seorang, pasang badan karena melihat pria itu sempat memukul pria di depan sana, takut dia akan membuat keributan di dalam kelab.“Menyingkir dari jalanku!”“Maaf, Tuan. Jika Anda datang untuk membuat kekacauan, kami tidak akan mengizinkannya.”Stevan menggeram tertahan, mengambil kartu nama di dalam dompet dan menunjukkannya di depan wajah keduanya.“Kalian ingin aku meratakan tempat ini
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli