James berusaha mengikuti langkah kaki panjang milik Katon, karena tuannya itu tak mau sedikit saja lebih melambatkan langkahnya. James berkali-kali menggosok punggung tangannya, pertanda dia sedang cemas. James tahu Katon sedang tak ingin mendengarkan apapun jenis bujukan yang membuatnya harus menghentikan upayanya untuk membunuh Hendery. Ini bukanlah kali pertama Katon dan Hendery berduel, meski alasan sebelumnya hanyalah alasan sepele, dimana Katon cukup menggunakan separuh kekuatannya untuk menghempaskan Hendery. Tapi untuk kali ini, James sangat tahu jika Katon benar-benar telah marah. Pedang milik Katon sesekali muncul, menyilaukan mata James. Dan pedang yang tersimpan rapi di punggung bangsawan iblis itu tak akan muncul begitu saja, kecuali pemiliknya sedang dalam kondisi sangat ingin membunuh."Tuan, Tuan Katon ingin pergi kemana?" tanya James takut.Katon tetap tak memperlambat laju kakinya, namun hanya melirik James sekilas. "Aku harus pulang mengasah pedangku. Hari ini aku a
"Kau sudah siap mati?" tukas Katon saat Hendery berdiri beberapa puluh meter di depannya.Hendery tertawa sekilas. "Kau yakin aku yang mati?""Kau tahu kau tak akan pernah bisa menang melawanku," Katon memegang pedang yang sudah menancap di sisi kanannya. "Sudah berapa kali kau melawanku dan berakhir gagal? Dan kali ini kau menggunakan istriku. Kau iblis paling pengecut yang pernah kutahu,""Istrimu?" Hendery kali ini semakin melepaskan tawanya tanpa sungkan. "Kenapa kau sebut gadis yang tak pernah kau sentuh sebagai istrimu?"Katon mulai melepas pedangnya yang menancap di tanah. Sedangkan Hendery justru asyik memainkan belatinya."Lihat aku, aku bahkan tak perlu sampai mengeluarkan pedangku untuk melawanmu," pongah Hendery. "Aku bisa menghabisimu hanya dengan belati kecil ini," Dia menunjukkan belati itu pada Katon dengan bangga."Pedangmu tak akan bisa keluar," timpal Katon cepat. "Karena kau tak punya seorang pun untuk dicintai atau mencintaimu. Kau hanyalah seorang iblis yang tak
"Katon!!!" teriak Stefani histeris saat tahu perut Katon telah tertusuk belati milik Hendery. Namun James segera menarik tubuh Stefani agar perempuan itu tak terkena mantra pagar pembatas yang telah dibuat Katon."Kau mau mati?!" seru James. Stefani sekuat tenaga melepaskan tubuhnya dari James."Lepaskan aku, James! Kau tak tahu belati itu belati mematikan milik Hendery?" Stefani meronta.Hendery memandangi Stefani yang tampak sangat panik dengan senyuman puas. Darah tak berhenti mengalir dari jantungnya, namun seperti mantra yang telah diucapkan Katon, Hendery memiliki waktu satu jam untuk akhirnya mati kehabisan darah."Aku tak akan mati sendirian kali ini," ucapnya dengan mulut penuh darah.Katon merintih memegangi perutnya. "Jadi ini alasan kenapa kau sangat membanggakan belatimu. Sungguh perangai keluarga Damon yang licik,"Hendery tertawa menggelegar. "Setidaknya kami menggunakan otak untuk membunuh musuh. Tidak sepertimu yang hanya mengandalkan kemampuanmu saja,""Memang kau ta
"James, Katon baik-baik saja kan?" Karin mencecar James dengan pertanyaan yang sama sejak saat mereka masih di kamar Karin. Hingga sekarang mereka di tengah jalan menuju ruangan Katon pun, pertanyaan Karin tak berubah."Tuan pasti baik-baik saja,""Ayo cepat, James!" Karin meminta James untuk lebih cepat mendorong kursi rodanya.Namun saat mereka sudah sampai di depan pintu kamar Katon, James mendadak menghentikan gerakannya. Dia mematung di tempat dengan wajah cemas."Kenapa James?" tanya Karin kesal. "Ayo cepat masuk, James!"James masih mematung tanpa menjawab. Dia hanya menggerakkan tangannya, mengisyaratkan Karin untuk diam di tempatnya."Kalau gitu biar aku yang masuk," Karin bersikeras untuk segera masuk. Dia bangkit berdiri, memegangi tiang infus dengan jalan yang tertatih. Dia mendorong pintu kamar tempat Katon dirawat.Di sana dia bisa melihat Katon yang terbaring tak sadarkan diri dengan seorang perempuan yang duduk di sisinya sambil menangis tanpa henti. Perempuan itu mengg
Albert bersimpuh di depan Katon Bagaskara dengan air mata berderai tanpa henti. Lima belas tahun sejak Katon pergi meninggalkan kamar istrinya setelah mengucapkan bahwa bayi mereka telah dia tandai, Albert mati-matian mengejar Katon, berharap bisa menaklukkan hatinya. Dia pun rela bersujud di depan Katon jika memang diperlukan."Kumohon, Tuan. Bisakah Tuan menarik ucapan Tuan?" Albert mengangkat kedua tangannya, memohon pada Katon."Tidak ada yang berharga bagiku sekarang selain Karin," isak Albert. "Mohon jangan ambil dia dariku,"Katon menatap Albert datar tanpa belas kasihan. "Kau telah mengingkari janjimu pada Deswita,""Tuan cukup menghukumku, tak perlu melibatkan anakku yang tak tahu apapun,"Katon tersenyum licik. "Kau sungguh bodoh. Menjadi manusia sudah menjadikan otakmu tumpul, hingga tak mengenali mana anak kandungmu sendiri,"Albert menundukkan kepalanya. "Aku sudah berjanji dengan segenap kekuatanku, walaupun aku tahu dia bukan anak kandungku ... "Katon melebarkan matany
Hendery meringis kesakitan memegang dadanya setelah Erna secara brutal memukulnya. Gadis itu terperanjat saat secara tiba-tiba Hendery menciumnya, apalagi di depan Tanya dan para gadis lain. Erna menggerutu kesal bukan main, duduk di samping ranjang Hendery dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Hendery tertawa meski kesakitan. "Kenapa kau terkejut? Kau tak pernah dicium ya?"Bibir Erna melengkung tajam. "Kau kan tahu aku dicampakkan di hari kedatanganku,"Hendery makin tertawa. "Kalau soal cantik sih, menurutku kau lebih cantik dari Karin. Tapi kenapa nasibmu sangat sial dibanding dia?"Erna menjejali mulut Hendery dengan buah pir terakhir yang dia kupas. "Makan nih!" Lalu dia meraih tasnya dan berjalan cepat meninggalkan Hendery. Tak lupa Erna menutup pintu dengan keras, tanda jika dia sangat kesal.Hendery tak berhenti tertawa, walaupun harus diselingi dengan sedikit keluhan sakit di bagian dada setiap kali dia tertawa.* * *"Itu tadi apa? Kenapa Hendery menciummu?" Erna san
"Kau ke sini lagi?" Hendery tak berhenti tersenyum lebar saat melihat Erna masuk ke ruangannya sambil membawa sekantong buah pir.Erna hanya memasang wajah cemberut."Katanya marah?" goda Hendery.Erna masih cemberut dan mengambil duduk di samping ranjang Hendery. Kemudian dia mulai mengupas buah pir.Hendery melirik Erna dengan senyum lebar yang belum memudar sejak saat kemunculan Erna ke ruangannya."Apa yang terjadi?" tanya Hendery."Karin nggak datang ke sekolah, dan di sana nggak enak. Tanya bergosip yang nggak bener soal aku,""Emang dia gosipin apa?" Tubuh Hendery yang semula lemas karena kesepian, mendadak semangat lagi. Tak dapat dipungkiri jika kedatangan Erna tiap hari menjadi semacam imun baginya."Katanya aku pacaran sama Hendery,"Hendery tertawa lepas. "Ya bilang aja, emang iya, gitu. Apa susahnya?"Erna melotot tajam. "Ya nggak bisa dong! Gimana kalau Edo sampai tahu?""Edo?"Erna mengangguk dengan semburat senyum tipis di bibirnya. "Iya. Kami berkenalan beberapa mingg
Setelah melewati 14 hari yang lelah dan menegangkan di rumah sakit, akhirnya hari ini Rama mengijinkan Katon untuk pulang ke rumah. Serena sudah sejak pagi membantu Karin mengemasi keperluan yang harus dia bawa pulang, dan Ken memilih untuk menemani Katon duduk berdua di taman yang terletak tepat di depan ruang inap Katon. Semenjak kepergian Deswita, Ken dan Katon lebih banyak menghabiskan waktu berdua, merenung dan meratapi nasib sial sang kakak sulungnya itu.Deswita pergi bukan karena hal tragis, namun kematian datang menggerogoti usianya yang menua sebagai makhluk fana. Keputusan Deswita dan Albert untuk menjadi manusia berakhir menyedihkan."Apa yang dilakukan Deswita sekarang?" Ken membuka percakapan sambil menyesap rokoknya."Yang pasti kita tak akan bisa menemuinya lagi,""Apa kau menyesal? Menikahi Karin?"Katon menggeleng. "Dendamku sudah terbayarkan. Tapi satu hal yang tak kusangka, aku mencintainya,"Ken tersenyum simpul. "Sejak awal kau memang sudah mencintainya. Kalau ti
Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan
Tanya mendorong tubuh Erna sekerasnya, melampiaskan kemarahan dan rasa iri yang menyelimuti seluruh isi kepalanya. Teman-temannya yang lain bahkan ikut membantu Tanya memegangi kedua tangan Erna, supaya gadis itu tak bisa banyak bergerak. Meskipun Erna meronta dan berteriak brutal, dia tak cukup kuat untuk melawan dua perempuan sekaligus.“Kamu … benar-benar tak bisa dipercaya,” Tanya mencengkeram kedua pipi Erna, murka.“Katamu, kamu tak punya hubungan apapun dengan Hendery?” tanya Tanya.Erna menepis tangan Tanya sekuatnya. “Kamu gila, ya?! Kamu ini sudah punya suami, tapi kenapa kamu masih saja iri ke semua orang?!” bentak Erna.Plak! Tanya menampar pipi kanan Erna keras, hingga bekas tangannya timbul kemerahan.“Selama ini aku selalu menahan, tapi kamu selalu kelewat batas. Kamu ini cuman buangan, tapi kenapa Kamu berani mendekati Hendery?!!”“Apa hubungannya denganmu, hah? Aku tak merebut siapapun, dan aku bukan istri siapapun! Aku berhak dekat dengan siapapun juga!!” Erna balas
Hari ini adalah hari dimana Hendery bisa keluar dari rumah sakit, setelah mendapatkan perawatan selama hampir satu bulan lamanya. Di hari kepulangannya ini, tak ada seorang pun dari keluarganya yang menjemput. Namun Hendery tetaplah Hendery, lelaki yang tak pernah memusingkan apapun selain ambisinya menghabisi Katon. Tubuhnya telah pulih sepenuhnya, maka tak ada halangan bagi Hendery untuk mengemasi barang-barang sendiri, tanpa perlu dibantu siapapun. Tak seperti Katon yang diliputi kemewahan, meski mereka berdua sama-sama dari keluarga bangsawan tertinggi, namun hidup Hendery selalu sendirian.Ketika Hendery mulai memasukkan sedikit barangnya, pintu kamar miliknya dibuka. Melalui ekor matanya, Hendery bisa melihat Erna masuk membawa koper kecil. Gadis itu tak bilang apapun, dan wajahnya juga muram. Namun dia segera membuka koper yang ternyata kosong itu, dan menyambar baju-baju berantakan Hendery dari tangan Hendery, untuk dimasukkan ke dalam koper itu.Hendery tak juga mengatakan ap
Setelah melewati 14 hari yang lelah dan menegangkan di rumah sakit, akhirnya hari ini Rama mengijinkan Katon untuk pulang ke rumah. Serena sudah sejak pagi membantu Karin mengemasi keperluan yang harus dia bawa pulang, dan Ken memilih untuk menemani Katon duduk berdua di taman yang terletak tepat di depan ruang inap Katon. Semenjak kepergian Deswita, Ken dan Katon lebih banyak menghabiskan waktu berdua, merenung dan meratapi nasib sial sang kakak sulungnya itu.Deswita pergi bukan karena hal tragis, namun kematian datang menggerogoti usianya yang menua sebagai makhluk fana. Keputusan Deswita dan Albert untuk menjadi manusia berakhir menyedihkan."Apa yang dilakukan Deswita sekarang?" Ken membuka percakapan sambil menyesap rokoknya."Yang pasti kita tak akan bisa menemuinya lagi,""Apa kau menyesal? Menikahi Karin?"Katon menggeleng. "Dendamku sudah terbayarkan. Tapi satu hal yang tak kusangka, aku mencintainya,"Ken tersenyum simpul. "Sejak awal kau memang sudah mencintainya. Kalau ti