Meskipun sudah menjadi pasangan suami istri, nyatanya Katon justru menghilang di malam pertama mereka. Setelah mengancam Karin dengan gertakannya, Katon memilih pergi entah kemana. Karin punya firasat jika dia menemui Stefani lagi. Namun yang dipikirkan Karin saat ini bukanlah Katon yang menghilang, tapi Hendery. Baru kemarin lusa mereka memutuskan berkencan dan sekarang Karin menjadi istri Katon."Halo, Rin?" sapa Erna di seberang telepon."Er, kamu punya nomor Hendery?""Nggak. Kenapa?"Karin tahu kekhawatirannya sungguh tak masuk akal. Sebagai seorang istri di malam pertama ini harusnya dia memikirkan suaminya, tapi dia justru memilih memikirkan orang lain."Apa yang kau lakukan?" Tiba-tiba saja Katon sudah ada di dalam kamar dan menatap Karin penuh curiga.Karin tahu Katon bisa membaca pikirannya, maka dia cepat-cepat menghapus pikiran tentang Hendery. "Kau dari mana?" tanyanya mengalihkan topik.Katon berjalan mendekati Karin sambil melepas kemejanya. Karin mundur perlahan, walaup
Karin terus menerus menoleh ke belakang, dan Aldo masih saja tanpa dosa berjalan di belakang Karin layaknya ekor. Setelah James pergi dan menitipkan Karin pada Aldo, cowok itu membuntuti Karin kemana pun dia pergi. Bahkan, entah bagaimana, Aldo mengawasi Karin saat jam pelajaran dimulai. Puncaknya ketika istirahat, Aldo tetap mengikuti langkah Karin.Karin mendengus kesal. "Bisa pergi nggak?" ketusnya pada Aldo. "Apa bangsawan iblis nggak punya kemampuan mengawasi dari jauh?"Aldo mengangkat bahu. "Takutnya kamu pergi ke hutan terlarang,""Nggak akan," sahut Karin cepat. "Untuk apa aku ke sana?"Aldo melepaskan pandangan ke sekeliling, lalu berbisik pelan. "Kamu tahu kenapa para cowok di sini semakin menginginkanmu setelah kalian menikah?" Aldo kembali mengedarkan pandangannya. "Karena pikiranmu tak lagi bisa dibaca,""Maksudmu?""Itulah untungnya menikah dengan salah satu bangsawan iblis tertinggi," lanjut Aldo. "Kalian tak lagi bisa dibaca. Sedangkan kaum kami bisa membaca apapun pik
Sudah tak ada tempat aman bagi Karin untuk kembali ke asrama, bahkan untuk mengambil sisa barangnya di kamar saja sudah tak bisa. Erna dan Aldo sangat melarang Karin untuk kembali sendirian ke asrama mengingat semua siswi berniat untuk membunuhnya. Andaikan tak ada Aldo, mungkin Karin sudah mati di hari pertamanya menikah. Jadi mau tak mau dia harus kembali ke rumah Katon, karena memang hanya itu tempat berlindungnya sekarang. Saat Karin kembali, Katon sudah terlihat sedang duduk di depan ruang tamu seakan menunggu kedatangannya. Wajah lelaki itu dingin seperti biasanya, namun matanya telah berubah warna jadi hijau zamrud, menandakan jika suasana hati Katon sedang baik."Kau di rumah?" tegur Karin sambil melepas tas ranselnya.Katon hanya menautkan alisnya. "Bagaimana perasaanmu?"Karin terdiam. Sepertinya benar kata Hendery jika Katon sudah tak lagi bisa membaca pikirannya. "Perasaan apa?""Kau sudah menjadi istriku. Senang?"Karin tertawa sinis. "Untuk apa menikah jika suamiku masih
Katon dengan cepat menghadang jalan Hendery dan Karin ketika banyak orang mulai berkumpul dan menatap mereka bertiga penuh curiga. Dia memaksa Hendery melepaskan genggaman tangannya pada tangan Karin, lalu menarik gadis itu pergi menemui kedua orang tuanya yang sudah menanti di atas panggung kecil yang sengaja disiapkan untuk menyambut Karin.Dengan gugup Karin naik ke atas panggung itu dengan dibantu Serena yang sudah siap memegang tangannya dari atas. Karin menatap sekilas ibu Katon, kemudian tatapannya berganti ke arah ayah Katon. Keluarga Katon terlihat ramah, meski hanya Katon dan Ken yang tak pernah tersenyum.Setelah perkenalan singkat kepada seluruh tamu, sekarang tinggal Karin bersama ibu mertua dan kakak iparnya. Ayah Katon hanya melempar senyum sekilas kemudian pergi bersama Katon ke dalam."Karin Nevada," panggil ibu Katon. "Namaku Santika. Tapi kamu cukup memanggilku ibu," Dia tersenyum sangat hangat pada Karin."Senang kamu menjadi bagian dari kami," ujar Ken yang selama
"Aku mencintainya," Albert menahan nafas hanya untuk mengucapkan kalimat itu.Wanita itu terdiam, meski matanya berkaca-kaca menahan tangis. "Apa aku sudah tak punya kesempatan?" tanyanya.Albert meraih tangan wanita itu pelan. "Aku tak akan meninggalkannya. Dia mengorbankan semua untukku,""Kenapa?" Wanita itu masih tak mengerti. "Kamu mencintainya hanya karena dia melepaskan statusnya untukmu?"Albert menggeleng cepat. "Maafkan aku,"Wanita itu menutup wajahnya, terisak pelan. Albert menjadi kikuk, tak tahu harus berbuat apa. Dia memutuskan mengelus pelan pundak wanita itu."Albert, dia akan menua sama sepertiku,"Albert mengangguk. "Aku senang dia menjadi sepertiku," Albert tersenyum. "Maafkan aku. Sebaiknya kamu melupakanku saja," ucap Albert dengan nada berat. Sekali lagi dia mengelus pelan pundak wanita itu. Kemudian memutar badan untuk pergi."Aku hamil!" serunya saat Albert sudah menjauh.Albert yang mendengarnya seketika balik badan, menatap wanita itu kaget luar biasa. "Aku
"Dia gila," ucap Karin. Erna memutuskan membawa temannya ke asrama malam ini."Hendery? Apa yang dia lakukan?"Karin menggenggam erat kedua tangan Erna. "Berjanjilah padaku kalau kamu nggak akan menemui Hendery!" serunya dengan sisa ketakutan oleh teror Hendery.Erna hanya mengerjapkan mata, tak niat menjawab."Dia ... dia memanfaatkanku untuk melawan Katon," aku Karin. Erna tentu tak kaget, karena sejak awal bertemu Hendery, lelaki itu sudah berkoar-koar padanya akan membunuh Katon."Aku takut dia akan memanfaatkanmu untuk melawan Katon," ujar Karin. "Tapi makasih sudah menyelamatkanku,"Erna mengangguk hangat, menawarkan segelas susu coklat pada Karin. "Hari ini kamu menginap di sini atau pulang? Kalau pulang, aku harus mengantarmu. Jangan berkeliaran sendirian,"Karin meneguk sekali kemudian menggeleng, "Aldo akan menjemputku,"Mereka berdua berjalan keluar asrama dengan puluhan pasang mata yang tajam membuntuti langkah mereka. Erna menggenggam erat tangan Karin, menyuruh sahabatnya
Katon menuntun langkah Karin perlahan menaiki tangga depan halaman rumah induk Bagaskara yang besar dan megah. Pintu rumah besar itu otomatis terbuka sesaat setelah Karin dan Katon menginjakkan kaki mereka. Disana, telah berdiri Serena dan Ken yang menyambut kedatangan mereka. Serena seperti biasa tersenyum hangat dan Ken di sebelahnya mengangguk untuk mempersilakan Katon masuk."Ada acara apa?" tanya Karin berbisik pada Serena.Serena tersenyum tipis. "Nanti juga bakal tahu," Mereka berempat berjalan menuju ruang besar dengan meja makan panjang. Disana sudah duduk Bagaskara bersama Santika, istrinya. Seperti halnya Serena, Santika juga memperlakukan Karin dengan sangat ramah. Mereka semua duduk mengitari meja makan besar itu.Karin tak tahu apa yang terjadi. Dia hanya memandangi hidangan mewah di depannya, berharap-harap cemas."Tak kusangka, kamu sangat menarik setelah tak bisa dibaca," Bagaskara, ayah Katon membuka suara. Perkataannya dia tujukan pada Karin. "Semoga Katon memberika
Karin mundur selangkah, sesaat setelah mendengar pengakuan Katon. Dia terkejut, meski masih ingin mendapatkan lebih banyak penjelasan, Karin memilih diam tak ingin nama ayahnya kembali disebut."Albert telah membuat Deswita menderita," Katon justru melangkah maju. "Dia meninggal hari ini. Meninggal dan jadi debu layaknya manusia yang tidak abadi,"Karin merentangkan kelima jarinya, mengisyaratkan Katon untuk berhenti bicara. "Hentikan ... ""Apa kau pikir Albert orang yang suci?" Katon makin mencecar Karin. "Aku bersumpah akan membuat putrinya menderita," Karin menutup kedua telinganya. "Hentikan ... ""Apa sekarang kau puas? Kau yang memintaku mengungkap alasanku memilihmu," "Kau ... Kau sungguh iblis,"Katon tersenyum licik. "Aku memang iblis kan?Karin memutar arah dan berlari sangat cepat meninggalkan kediaman Bagaskara. Dia tak peduli teriakan dari James yang baru saja datang, karena hatinya sangat terpukul mendengar pengakuan Katon. Semua hal buruk yang terjadi pada dia dan kel
Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan
Tanya mendorong tubuh Erna sekerasnya, melampiaskan kemarahan dan rasa iri yang menyelimuti seluruh isi kepalanya. Teman-temannya yang lain bahkan ikut membantu Tanya memegangi kedua tangan Erna, supaya gadis itu tak bisa banyak bergerak. Meskipun Erna meronta dan berteriak brutal, dia tak cukup kuat untuk melawan dua perempuan sekaligus.“Kamu … benar-benar tak bisa dipercaya,” Tanya mencengkeram kedua pipi Erna, murka.“Katamu, kamu tak punya hubungan apapun dengan Hendery?” tanya Tanya.Erna menepis tangan Tanya sekuatnya. “Kamu gila, ya?! Kamu ini sudah punya suami, tapi kenapa kamu masih saja iri ke semua orang?!” bentak Erna.Plak! Tanya menampar pipi kanan Erna keras, hingga bekas tangannya timbul kemerahan.“Selama ini aku selalu menahan, tapi kamu selalu kelewat batas. Kamu ini cuman buangan, tapi kenapa Kamu berani mendekati Hendery?!!”“Apa hubungannya denganmu, hah? Aku tak merebut siapapun, dan aku bukan istri siapapun! Aku berhak dekat dengan siapapun juga!!” Erna balas
Hari ini adalah hari dimana Hendery bisa keluar dari rumah sakit, setelah mendapatkan perawatan selama hampir satu bulan lamanya. Di hari kepulangannya ini, tak ada seorang pun dari keluarganya yang menjemput. Namun Hendery tetaplah Hendery, lelaki yang tak pernah memusingkan apapun selain ambisinya menghabisi Katon. Tubuhnya telah pulih sepenuhnya, maka tak ada halangan bagi Hendery untuk mengemasi barang-barang sendiri, tanpa perlu dibantu siapapun. Tak seperti Katon yang diliputi kemewahan, meski mereka berdua sama-sama dari keluarga bangsawan tertinggi, namun hidup Hendery selalu sendirian.Ketika Hendery mulai memasukkan sedikit barangnya, pintu kamar miliknya dibuka. Melalui ekor matanya, Hendery bisa melihat Erna masuk membawa koper kecil. Gadis itu tak bilang apapun, dan wajahnya juga muram. Namun dia segera membuka koper yang ternyata kosong itu, dan menyambar baju-baju berantakan Hendery dari tangan Hendery, untuk dimasukkan ke dalam koper itu.Hendery tak juga mengatakan ap
Setelah melewati 14 hari yang lelah dan menegangkan di rumah sakit, akhirnya hari ini Rama mengijinkan Katon untuk pulang ke rumah. Serena sudah sejak pagi membantu Karin mengemasi keperluan yang harus dia bawa pulang, dan Ken memilih untuk menemani Katon duduk berdua di taman yang terletak tepat di depan ruang inap Katon. Semenjak kepergian Deswita, Ken dan Katon lebih banyak menghabiskan waktu berdua, merenung dan meratapi nasib sial sang kakak sulungnya itu.Deswita pergi bukan karena hal tragis, namun kematian datang menggerogoti usianya yang menua sebagai makhluk fana. Keputusan Deswita dan Albert untuk menjadi manusia berakhir menyedihkan."Apa yang dilakukan Deswita sekarang?" Ken membuka percakapan sambil menyesap rokoknya."Yang pasti kita tak akan bisa menemuinya lagi,""Apa kau menyesal? Menikahi Karin?"Katon menggeleng. "Dendamku sudah terbayarkan. Tapi satu hal yang tak kusangka, aku mencintainya,"Ken tersenyum simpul. "Sejak awal kau memang sudah mencintainya. Kalau ti