"Dia gila," ucap Karin. Erna memutuskan membawa temannya ke asrama malam ini."Hendery? Apa yang dia lakukan?"Karin menggenggam erat kedua tangan Erna. "Berjanjilah padaku kalau kamu nggak akan menemui Hendery!" serunya dengan sisa ketakutan oleh teror Hendery.Erna hanya mengerjapkan mata, tak niat menjawab."Dia ... dia memanfaatkanku untuk melawan Katon," aku Karin. Erna tentu tak kaget, karena sejak awal bertemu Hendery, lelaki itu sudah berkoar-koar padanya akan membunuh Katon."Aku takut dia akan memanfaatkanmu untuk melawan Katon," ujar Karin. "Tapi makasih sudah menyelamatkanku,"Erna mengangguk hangat, menawarkan segelas susu coklat pada Karin. "Hari ini kamu menginap di sini atau pulang? Kalau pulang, aku harus mengantarmu. Jangan berkeliaran sendirian,"Karin meneguk sekali kemudian menggeleng, "Aldo akan menjemputku,"Mereka berdua berjalan keluar asrama dengan puluhan pasang mata yang tajam membuntuti langkah mereka. Erna menggenggam erat tangan Karin, menyuruh sahabatnya
Katon menuntun langkah Karin perlahan menaiki tangga depan halaman rumah induk Bagaskara yang besar dan megah. Pintu rumah besar itu otomatis terbuka sesaat setelah Karin dan Katon menginjakkan kaki mereka. Disana, telah berdiri Serena dan Ken yang menyambut kedatangan mereka. Serena seperti biasa tersenyum hangat dan Ken di sebelahnya mengangguk untuk mempersilakan Katon masuk."Ada acara apa?" tanya Karin berbisik pada Serena.Serena tersenyum tipis. "Nanti juga bakal tahu," Mereka berempat berjalan menuju ruang besar dengan meja makan panjang. Disana sudah duduk Bagaskara bersama Santika, istrinya. Seperti halnya Serena, Santika juga memperlakukan Karin dengan sangat ramah. Mereka semua duduk mengitari meja makan besar itu.Karin tak tahu apa yang terjadi. Dia hanya memandangi hidangan mewah di depannya, berharap-harap cemas."Tak kusangka, kamu sangat menarik setelah tak bisa dibaca," Bagaskara, ayah Katon membuka suara. Perkataannya dia tujukan pada Karin. "Semoga Katon memberika
Karin mundur selangkah, sesaat setelah mendengar pengakuan Katon. Dia terkejut, meski masih ingin mendapatkan lebih banyak penjelasan, Karin memilih diam tak ingin nama ayahnya kembali disebut."Albert telah membuat Deswita menderita," Katon justru melangkah maju. "Dia meninggal hari ini. Meninggal dan jadi debu layaknya manusia yang tidak abadi,"Karin merentangkan kelima jarinya, mengisyaratkan Katon untuk berhenti bicara. "Hentikan ... ""Apa kau pikir Albert orang yang suci?" Katon makin mencecar Karin. "Aku bersumpah akan membuat putrinya menderita," Karin menutup kedua telinganya. "Hentikan ... ""Apa sekarang kau puas? Kau yang memintaku mengungkap alasanku memilihmu," "Kau ... Kau sungguh iblis,"Katon tersenyum licik. "Aku memang iblis kan?Karin memutar arah dan berlari sangat cepat meninggalkan kediaman Bagaskara. Dia tak peduli teriakan dari James yang baru saja datang, karena hatinya sangat terpukul mendengar pengakuan Katon. Semua hal buruk yang terjadi pada dia dan kel
Erna membelalak sangat lebar mendengar tawaran kerjasama dari Hendery. Lelaki itu masih menyeringai, sangat sabar menunggu respon dari Erna yang tak kunjung datang. Mereka berdua sedang berdiri sangat dekat di pinggir pagar rooftop, saling menatap namun terdiam. "Bagaimana?" Akhirnya Hendery membuka suara. Andaikan dia masih membuka pikiran Erna, tanpa butuh jawaban dia pasti sudah tahu apa yang dipikirkan Erna."Kau benar-benar gila ya," Itu tanggapan yang keluar pertama kali dari mulut Erna."Aku tak menyuruhmu membunuh Karin, kan?" Hendery bertanya enteng. "Kau hanya ... membantuku menjebaknya. Karena sekarang pasti dia tak akan datang saat kupanggil,"Erna melotot tajam pada Hendery. "Aku memang iri padanya, tapi pikiranku masih waras,""Waras? Kau rela mati sendirian 6 bulan lagi demi kewarasanmu?" Hendery menyunggingkan separuh senyum. "Setidaknya kau tak mati sendirian sebagai orang yang dicampakkan," bisik Hendery. Erna melengos pergi begitu saja tanpa memberikan keputusan. D
Tubuh Erna berdesir hebat mendengar bisikan menggoda dari Hendery. Lelaki itu masih melingkarkan lengannya di leher Erna. Dia hendak menggeser tubuh menjauhi Hendery, namun tak bisa. Dan sekarang Hendery justru mendorong tubuhnya untuk berbaring bersama, dengan kepala Erna bertumpu pada lengan Hendery."Seperti ini yang kau inginkan? Tidur bersama sambil memandangi langit?" tanya Hendery."Lepaskan ... " Sekuat tenaga Erna berusaha menggunakan akal sehatnya. Hendery lelaki yang licik. Dia pasti punya tujuan dibalik sikapnya ini."Kenapa?" Hendery tertawa lirih. "Kita kan sekarang sekutu yang akan menghancurkan Katon dan Karin bersama-sama,"Erna bangun sekuat tenaga, segera menjauh dari Hendery. Nafasnya tersengal seakan baru saja melakukan aktivitas berat. "Aku hanya membantu membujuk Karin, tak lebih,"Hendery perlahan bangun, memandangi Erna dengan sisa tawa di wajahnya. "Kau ini kenapa? Kenapa wajahmu pucat?" tanyanya. "Aku tahu kau menginginkan ini, ayo kita tidur bersama," Hender
Karin terdiam, berusaha mencerna semuanya. Kemana Erna pergi? Dia ingin berpikir positif namun hatinya berkata lain. Erna sudah meninggalkannya. Kemudian dia mendongakkan kepala, sadar jika hutan itu sangat lebat seakan dedaunan tidak mengijinkan matahari menembus tanah di bawahnya. Dia pernah menemui Hendery di hutan ini, namun bukan jalan ini yang dilewatinya.Karin pun memutuskan kembali ke jalan yang dia lalui sebelumnya, berharap akan menemukan jalan keluar dari hutan terlarang. Meski dia tahu Erna telah meninggalkannya, tapi Karin masih berusaha berpikir positif. Tak mungkin Erna berbuat sejahat itu padanya.Makin lama dia berjalan, seakan langkahnya hanya makin membawanya masuk ke dalam hutan. Karin terpaksa berhenti, mengatur nafasnya yang kering kehausan. Dia menumpukan kedua tangan pada lututnya, ngos-ngosan.Karin tiba-tiba teringat akan ucapan Katon di hari pertama mereka menikah. Apabila dia dalam bahaya, dia cukup memanggil nama Katon untuk mendapatkan bantuan. Namun, men
Karin terus berlari namun tak kunjung juga dia menemukan jalan keluar. Bahkan hutan itu seakan semakin gelap dan menutupi pandangannya. Jantungnya berdegup sangat kencang, antara capek karena berlari dan takut tertangkap Hendery. Dia sangat tahu kali ini Hendery tak akan membiarkannya lepas begitu saja."AAAA!!" Karin berteriak sangat keras ketika secara mendadak Hendery menarik pinggangnya. Spontan tubuh Karin melesat mundur sangat cepat dan dia sudah duduk di pangkuan Hendery yang sedari tadi tak bergerak dari tempat awal mereka bertemu."Kenapa kau kabur dariku?" Hendery menciumi leher Karin berulang kali. Karin memberontak, namun Hendery memegangi kedua tangannya sangat erat hingga tak bisa digerakkan."AAAA!!!" Kali ini Karin berteriak karena kesakitan saat Hendery menyentuh tato Katon dengan telunjuknya."Aku bisa menghancurkan ini sekarang kalau kau mau," ucap Hendery tampak puas. "Dan kau pun tak akan jadi istrinya lagi. Namun ... " Hendery memutus ucapannya dan sekali lagi men
"Kamu bohong kan?" Aldo menginterogasi Erna. Meski dia tak percaya dengan apa yang diucapkan Erna, namun dia tak bisa membuktikannya. Aldo selalu bisa membaca pikiran manusia Alfansa dengan lancar tanpa kendala, tak terkecuali Erna. Namun kali ini berbeda. Seakan ada kabut hitam yang menghalangi kekuatan Aldo untuk menelusuri isi hati Erna. "Untuk apa aku bohong? Kamu dan Rama mengawasi Karin tiap hari, kenapa kalian bisa ceroboh?" Meski sebenarnya dadanya berdegup amat kencang, Erna berusaha tetap tenang. Dia yakin Hendery pasti sudah mempersiapkan semuanya, termasuk menutup pikirannya dari para pelindung Karin. Dan sepertinya dugaan Erna benar, karena sebagai orang yang selalu lancang membaca pikiran Erna, Aldo kali ini tak bergeming. "Saat istirahat Karin sudah nggak ada di kelasnya," ungkap Aldo khawatir. "Aku takut dia pergi ke hutan terlarang," "Kenapa nggak nyari ke sana?" tanya Erna. Sebenarnya lebih karena dia penasaran, kenapa Hendery memilih tempat itu sebagai tempat untu
Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan
Tanya mendorong tubuh Erna sekerasnya, melampiaskan kemarahan dan rasa iri yang menyelimuti seluruh isi kepalanya. Teman-temannya yang lain bahkan ikut membantu Tanya memegangi kedua tangan Erna, supaya gadis itu tak bisa banyak bergerak. Meskipun Erna meronta dan berteriak brutal, dia tak cukup kuat untuk melawan dua perempuan sekaligus.“Kamu … benar-benar tak bisa dipercaya,” Tanya mencengkeram kedua pipi Erna, murka.“Katamu, kamu tak punya hubungan apapun dengan Hendery?” tanya Tanya.Erna menepis tangan Tanya sekuatnya. “Kamu gila, ya?! Kamu ini sudah punya suami, tapi kenapa kamu masih saja iri ke semua orang?!” bentak Erna.Plak! Tanya menampar pipi kanan Erna keras, hingga bekas tangannya timbul kemerahan.“Selama ini aku selalu menahan, tapi kamu selalu kelewat batas. Kamu ini cuman buangan, tapi kenapa Kamu berani mendekati Hendery?!!”“Apa hubungannya denganmu, hah? Aku tak merebut siapapun, dan aku bukan istri siapapun! Aku berhak dekat dengan siapapun juga!!” Erna balas
Hari ini adalah hari dimana Hendery bisa keluar dari rumah sakit, setelah mendapatkan perawatan selama hampir satu bulan lamanya. Di hari kepulangannya ini, tak ada seorang pun dari keluarganya yang menjemput. Namun Hendery tetaplah Hendery, lelaki yang tak pernah memusingkan apapun selain ambisinya menghabisi Katon. Tubuhnya telah pulih sepenuhnya, maka tak ada halangan bagi Hendery untuk mengemasi barang-barang sendiri, tanpa perlu dibantu siapapun. Tak seperti Katon yang diliputi kemewahan, meski mereka berdua sama-sama dari keluarga bangsawan tertinggi, namun hidup Hendery selalu sendirian.Ketika Hendery mulai memasukkan sedikit barangnya, pintu kamar miliknya dibuka. Melalui ekor matanya, Hendery bisa melihat Erna masuk membawa koper kecil. Gadis itu tak bilang apapun, dan wajahnya juga muram. Namun dia segera membuka koper yang ternyata kosong itu, dan menyambar baju-baju berantakan Hendery dari tangan Hendery, untuk dimasukkan ke dalam koper itu.Hendery tak juga mengatakan ap
Setelah melewati 14 hari yang lelah dan menegangkan di rumah sakit, akhirnya hari ini Rama mengijinkan Katon untuk pulang ke rumah. Serena sudah sejak pagi membantu Karin mengemasi keperluan yang harus dia bawa pulang, dan Ken memilih untuk menemani Katon duduk berdua di taman yang terletak tepat di depan ruang inap Katon. Semenjak kepergian Deswita, Ken dan Katon lebih banyak menghabiskan waktu berdua, merenung dan meratapi nasib sial sang kakak sulungnya itu.Deswita pergi bukan karena hal tragis, namun kematian datang menggerogoti usianya yang menua sebagai makhluk fana. Keputusan Deswita dan Albert untuk menjadi manusia berakhir menyedihkan."Apa yang dilakukan Deswita sekarang?" Ken membuka percakapan sambil menyesap rokoknya."Yang pasti kita tak akan bisa menemuinya lagi,""Apa kau menyesal? Menikahi Karin?"Katon menggeleng. "Dendamku sudah terbayarkan. Tapi satu hal yang tak kusangka, aku mencintainya,"Ken tersenyum simpul. "Sejak awal kau memang sudah mencintainya. Kalau ti