Katon menyelipkan jari jemarinya ke sela jari Karin sambil memandangi wajah sendu gadis itu. Katon sangat tahu isi hati Karin, karena tak butuh hitungan menit baginya untuk menerka apa yang sedang dipikirkan Karin. "Ayo pulang," ucapnya. Karin diam memandangi mata Katon yang telah berubah warna menjadi hijau zamrud, menandakan kalau suasana hatinya sedang baik. Tapi bukan itu yang diinginkan Karin, "Untuk apa kau kemari?" Dia tak membalas genggaman tangan Katon, namun juga tak menepisnya. Dia lebih terkesan pasrah. "Aku ingin kita pulang. Kenapa kau di sini bersama Hendery?" "Mereka temanku," "Tapi motif Hendery lebih dari itu," "Apa urusanmu?" Pertanyaan Karin sukses menghunus benak Katon. "Kenapa kau tidak pergi saja bersama Stefani?" Masih banyak sekali aduan yang ingin Karin lontarkan saat itu juga pada Katon, tapi separuh bagian dari dirinya menahan. Dia tidak ingin tampak seperti yang paling terluka di sini, setidaknya dengan berbagai penderitaan yang telah terjadi padanya.
Meski sekuat tenaga, nyatanya Karin sangat berusaha melepas genggaman tangan Katon di wajahnya. Dia berteriak, berontak, namun Katon tak mengindahkan penolakan dari Karin. Entah apa yang dipikirkan Katon, namun dia seakan ingin menyedot keluar jiwa Karin. "Katon ... " Suara Stefani yang berada dekat sukses melepaskan Karin dari cengkeraman Katon. Gadis itu berdiri di belakang Karin, memandangi mereka berdua dengan kedua matanya yang tajam namun indah. "Apa yang kalian lakukan?" Katon mendongak dan saat melihat Stefani, dia sedikit kaget. Tidak biasanya dia lengah, karena siapapun yang berniat mendekatinya dari jarak ratusan meter pun Katon akan langsung tahu. Tapi kedatangan Stefani kali ini sungguh luput dari pengawasannya. "Kenapa kamu menciumnya?" protes Stefani pada Katon sambil memandangi Karin dengan tatapan jijik. Karin menahan kekesalannya, "Aku harus pergi," Dia langsung berlari masuk ke dalam asrama, tak peduli Katon dan Stefani yang masih tertinggal jauh di belakang. Dia
Pagi ini Erna sengaja bangun pagi untuk bisa berangkat lebih awal ke sekolah. Dia tak langsung menuju kelas, melainkan pergi menuju rooftop dan berharap ada Hendery di sana. Namun pagi ini sepertinya dia harus kecewa, karena meski sudah berkeliling, Hendery tak dia temukan. Dia menghela nafas kesal, kemudian menghirup kuat-kuat udara pagi yang masih teramat segar. Hal yang selalu dia lakukan sejak pertama kali datang ke Alfansa. Menikmati indahnya pemandangan dari atas rooftop sekolah."Kau mencariku?" ujar Hendery yang tiba-tiba saja sudah di belakang Erna.Spontan dia memutar tubuh ke belakang. Ada secercah lega di hatinya. "Tumben pagi banget?" sahut Erna.Hendery berjalan ke samping Erna. Dia ikut menghirup udara kuat-kuat dan menghembuskannya keras. "Ada yang harus kulakukan hari ini,""Apa?" Tanpa sadar Erna bertanya dengan cepat.Hendery meliriknya tajam. "Sejak kapan kau ingin tahu?" tanyanya. "Kau kan bukan temanku?"Erna salah tingkah. "Ya siapa tahu ada hubungannya dengan Ka
"Ayo bersiap," James pagi buta sudah berdiri tegak tepat di depan pintu kamarnya.Karin terperanjat, berteriak pelan dan mundur beberapa langkah. Andaikan dia tak sengaja membuka pintu karena lapar, mungkin James masih berdiri di situ sampai matahari terbit."J-James? Kenapa ... ""Ayo bersiap," ulang James. Meskipun sudah sangat larut bahkan menjelang pagi, tak ada yang lusuh dari penampilan James. Pria tua itu tetap segar dan rapi.Karin merentangkan sepuluh jarinya hendak mencegah James yang ingin menerobos masuk. "Tunggu tunggu James!" Karin menahan tubuh berat James. "Aku harus bersiap untuk apa?""Bersiap menuju kediaman utama Bagaskara," jawab James masih berusaha menerobos masuk. "Aku harus masuk, karena semua siswi mengawasiku," Dia menoleh pada para siswi yang berkasak-kusuk tak jauh darinya."Kenapa?" tanya Karin dengan nada sangat keras.Mendengarnya membuat James menghentikan usahanya. Dia memandang Karin keheranan. "Sudah lima bulan kau di sini. Apa Tuan Katon tak pernah
Meskipun sudah menjadi pasangan suami istri, nyatanya Katon justru menghilang di malam pertama mereka. Setelah mengancam Karin dengan gertakannya, Katon memilih pergi entah kemana. Karin punya firasat jika dia menemui Stefani lagi. Namun yang dipikirkan Karin saat ini bukanlah Katon yang menghilang, tapi Hendery. Baru kemarin lusa mereka memutuskan berkencan dan sekarang Karin menjadi istri Katon."Halo, Rin?" sapa Erna di seberang telepon."Er, kamu punya nomor Hendery?""Nggak. Kenapa?"Karin tahu kekhawatirannya sungguh tak masuk akal. Sebagai seorang istri di malam pertama ini harusnya dia memikirkan suaminya, tapi dia justru memilih memikirkan orang lain."Apa yang kau lakukan?" Tiba-tiba saja Katon sudah ada di dalam kamar dan menatap Karin penuh curiga.Karin tahu Katon bisa membaca pikirannya, maka dia cepat-cepat menghapus pikiran tentang Hendery. "Kau dari mana?" tanyanya mengalihkan topik.Katon berjalan mendekati Karin sambil melepas kemejanya. Karin mundur perlahan, walaup
Karin terus menerus menoleh ke belakang, dan Aldo masih saja tanpa dosa berjalan di belakang Karin layaknya ekor. Setelah James pergi dan menitipkan Karin pada Aldo, cowok itu membuntuti Karin kemana pun dia pergi. Bahkan, entah bagaimana, Aldo mengawasi Karin saat jam pelajaran dimulai. Puncaknya ketika istirahat, Aldo tetap mengikuti langkah Karin.Karin mendengus kesal. "Bisa pergi nggak?" ketusnya pada Aldo. "Apa bangsawan iblis nggak punya kemampuan mengawasi dari jauh?"Aldo mengangkat bahu. "Takutnya kamu pergi ke hutan terlarang,""Nggak akan," sahut Karin cepat. "Untuk apa aku ke sana?"Aldo melepaskan pandangan ke sekeliling, lalu berbisik pelan. "Kamu tahu kenapa para cowok di sini semakin menginginkanmu setelah kalian menikah?" Aldo kembali mengedarkan pandangannya. "Karena pikiranmu tak lagi bisa dibaca,""Maksudmu?""Itulah untungnya menikah dengan salah satu bangsawan iblis tertinggi," lanjut Aldo. "Kalian tak lagi bisa dibaca. Sedangkan kaum kami bisa membaca apapun pik
Sudah tak ada tempat aman bagi Karin untuk kembali ke asrama, bahkan untuk mengambil sisa barangnya di kamar saja sudah tak bisa. Erna dan Aldo sangat melarang Karin untuk kembali sendirian ke asrama mengingat semua siswi berniat untuk membunuhnya. Andaikan tak ada Aldo, mungkin Karin sudah mati di hari pertamanya menikah. Jadi mau tak mau dia harus kembali ke rumah Katon, karena memang hanya itu tempat berlindungnya sekarang. Saat Karin kembali, Katon sudah terlihat sedang duduk di depan ruang tamu seakan menunggu kedatangannya. Wajah lelaki itu dingin seperti biasanya, namun matanya telah berubah warna jadi hijau zamrud, menandakan jika suasana hati Katon sedang baik."Kau di rumah?" tegur Karin sambil melepas tas ranselnya.Katon hanya menautkan alisnya. "Bagaimana perasaanmu?"Karin terdiam. Sepertinya benar kata Hendery jika Katon sudah tak lagi bisa membaca pikirannya. "Perasaan apa?""Kau sudah menjadi istriku. Senang?"Karin tertawa sinis. "Untuk apa menikah jika suamiku masih
Katon dengan cepat menghadang jalan Hendery dan Karin ketika banyak orang mulai berkumpul dan menatap mereka bertiga penuh curiga. Dia memaksa Hendery melepaskan genggaman tangannya pada tangan Karin, lalu menarik gadis itu pergi menemui kedua orang tuanya yang sudah menanti di atas panggung kecil yang sengaja disiapkan untuk menyambut Karin.Dengan gugup Karin naik ke atas panggung itu dengan dibantu Serena yang sudah siap memegang tangannya dari atas. Karin menatap sekilas ibu Katon, kemudian tatapannya berganti ke arah ayah Katon. Keluarga Katon terlihat ramah, meski hanya Katon dan Ken yang tak pernah tersenyum.Setelah perkenalan singkat kepada seluruh tamu, sekarang tinggal Karin bersama ibu mertua dan kakak iparnya. Ayah Katon hanya melempar senyum sekilas kemudian pergi bersama Katon ke dalam."Karin Nevada," panggil ibu Katon. "Namaku Santika. Tapi kamu cukup memanggilku ibu," Dia tersenyum sangat hangat pada Karin."Senang kamu menjadi bagian dari kami," ujar Ken yang selama
Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.“Aku janji, aku tidak lama,” Karin mengacungkan jari kelingkingnya.Katon tampak menolak. “Aku tetap harus ikut,”“Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,”“Ya. Dan aku ikut,”“Tak perlu, Katon,”“Kenapa?” tanya Katon curiga. “Apa kamu mau menemui seseorang lagi?”Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.Katon pun men
“Siapapun yang menyakiti Erna, akan mati malam ini … “ Ancaman Hendery tak perlu digaungkan dua kali, karena dalam satu helaan nafasnya yang menderu dan murka itu saja, sudah membuat ciut nyali siapapun yang mendengar.Salah seorang siswi telah menjadi korban, kini terkulai mati kaku dengan luka tusukan belati di jantung. Semua mulai mundur. Kemudian Hendery melempar kembali belatinya ke siswi lain, yang dari pikirannya bisa Hendery baca, jika dia menjadi salah satu yang merundung Erna.Dua orang mati begitu saja, tanpa mengucapkan kalimat terakhir, atau setidaknya mohon pengampunan. Sementara tubuh Erna sudah babak belur dipukuli, tapi Hendery justru melirik Erna sekilas, dan mulai sibuk dengan aksinya sendiri.Di sisi lain, Karin yang lemas dan kedinginan mulai meringkuk menghangatkan tubuhnya ke dalam dekapan Katon, yang seakan enggan untuk melepas pelukan.“Maafkan aku, karena tak bisa melindungimu,” Katon tampak amat menyesal, sekali lagi mengelus rambut Karin dan makin memelukny
“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tak akan membiarkanmu hidup,”“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh. Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.“Dimana Karin?”“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel
“Er, Erna!” panggil Aldo, hendak berlari menghampiri Erna, sebelum gadis itu berlari sekencang kilat.Kini Aldo telah sampai di dekat Tanya. Tatapan matanya mendelik, penuh murka.“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” hardik Aldo.Tanya gelagapan. “Aku hanya bicara jujur,”“Bukan hakmu untuk mengatakan padanya,” cela Aldo. “Kalau sampai terjadi apa-apa pada Karin, kamu yang akan kukejar lebih dulu,” Ancaman Aldo yang tak pernah peduli pada gosip apapun di sekolah, membuat Tanya sedikit gentar. Bahkan setelah menjadi pelindung Karin, Aldo tak pernah marah pada siapapun.***Brakk!!Erna menendang, membanting dan merusak apapun di depannya. Dia meraung, berteriak, tak peduli menjadi bahan tontonan teman-teman sekelas Edo. Sementara Edo, lelaki itu duduk diam dan pasrah di bangkunya sendiri, tak berkutik meski bangku-bangku di sekitarnya telah roboh oleh amukan Erna.“Kenapa? Hah! Kenapa harus Karin?” teriak Erna. “Dia istri petinggi di sini, dan dia SAHABATKU,” Erna menjerit, meronta m
Erna memutuskan untuk tak masuk ke sekolah keesokan harinya, karena kondisinya yang masih penuh luka dan tak tahan jika harus mendengarkan gosip serta cemoohan dari para siswi, karena berita perkelahiannya dengan Stefani telah tersebar luas ke seluruh penjuru sekolah Sofia.Setelah disembuhkan oleh Hendery, meskipun lukanya telah menutup dan tak mengalami pendarahan, namun bekasnya tetap saja belum mengering seratus persen, sehingga dia harus membalut kedua lengannya dengan perban. Erna tak ingin memberi bahan bagi para siswi tukang gosip di sekolah, dengan kemunculannya. Maka dia memilih untuk istirahat di dalam kamar, untuk sehari saja.“Er, boleh aku masuk?” Erna sampai hampir melompat, karena tak percaya telah mendengar suara Karin, begitu jelas dari balik pintu kamarnya. Dia lalu balik berteriak, meminta Karin untuk masuk karena tidak dikunci. Maka Karin pun segera membuka pintu, muncul dengan raut khawatir bersama Aldo di belakangnya.“Kukira kamu sendirian, Rin,” ujar Erna, se
“Kenapa dia harus salah paham?” Wajah Hendery mulai tak enak setelah mendengar ucapan Erna.“Sekarang kami berkencan, sesuai rencana awal kita,” jelas Erna. “Kamu tahu sisa waktuku hanya 5 bulan lagi. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini,”Hendery melipat tangan ke depan dada, berjalan perlahan mendekati Erna.“Dan kenapa dia harus salah paham?” ulang Hendery. “Tak ada yang terjadi pada kita, kan?”Erna mengangguk cepat. Dia kira, Hendery akan menolak karena tak ingin hubungannya dengan Erna merenggang, tapi ternyata, itu semua hanya dalam kepala Erna. Hendery sama sekali tak peduli.***Karin mulai gerah dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, yang terus saja menatap tajam ke arah Karin, kapanpun mereka ada kesempatan. Hari ini, Aldo dan Rama sengaja tak datang untuk menjaga Karin, karena Karin merasa sedikit tidak nyaman dengan pengawasan dua orang itu. Belajar dari pengalaman Erna, Karin tak ingin ada orang lain lagi yang iri padanya hanya karena dia memiliki dua bangsawan
Tanya mendorong tubuh Erna sekerasnya, melampiaskan kemarahan dan rasa iri yang menyelimuti seluruh isi kepalanya. Teman-temannya yang lain bahkan ikut membantu Tanya memegangi kedua tangan Erna, supaya gadis itu tak bisa banyak bergerak. Meskipun Erna meronta dan berteriak brutal, dia tak cukup kuat untuk melawan dua perempuan sekaligus.“Kamu … benar-benar tak bisa dipercaya,” Tanya mencengkeram kedua pipi Erna, murka.“Katamu, kamu tak punya hubungan apapun dengan Hendery?” tanya Tanya.Erna menepis tangan Tanya sekuatnya. “Kamu gila, ya?! Kamu ini sudah punya suami, tapi kenapa kamu masih saja iri ke semua orang?!” bentak Erna.Plak! Tanya menampar pipi kanan Erna keras, hingga bekas tangannya timbul kemerahan.“Selama ini aku selalu menahan, tapi kamu selalu kelewat batas. Kamu ini cuman buangan, tapi kenapa Kamu berani mendekati Hendery?!!”“Apa hubungannya denganmu, hah? Aku tak merebut siapapun, dan aku bukan istri siapapun! Aku berhak dekat dengan siapapun juga!!” Erna balas
Hari ini adalah hari dimana Hendery bisa keluar dari rumah sakit, setelah mendapatkan perawatan selama hampir satu bulan lamanya. Di hari kepulangannya ini, tak ada seorang pun dari keluarganya yang menjemput. Namun Hendery tetaplah Hendery, lelaki yang tak pernah memusingkan apapun selain ambisinya menghabisi Katon. Tubuhnya telah pulih sepenuhnya, maka tak ada halangan bagi Hendery untuk mengemasi barang-barang sendiri, tanpa perlu dibantu siapapun. Tak seperti Katon yang diliputi kemewahan, meski mereka berdua sama-sama dari keluarga bangsawan tertinggi, namun hidup Hendery selalu sendirian.Ketika Hendery mulai memasukkan sedikit barangnya, pintu kamar miliknya dibuka. Melalui ekor matanya, Hendery bisa melihat Erna masuk membawa koper kecil. Gadis itu tak bilang apapun, dan wajahnya juga muram. Namun dia segera membuka koper yang ternyata kosong itu, dan menyambar baju-baju berantakan Hendery dari tangan Hendery, untuk dimasukkan ke dalam koper itu.Hendery tak juga mengatakan ap
Setelah melewati 14 hari yang lelah dan menegangkan di rumah sakit, akhirnya hari ini Rama mengijinkan Katon untuk pulang ke rumah. Serena sudah sejak pagi membantu Karin mengemasi keperluan yang harus dia bawa pulang, dan Ken memilih untuk menemani Katon duduk berdua di taman yang terletak tepat di depan ruang inap Katon. Semenjak kepergian Deswita, Ken dan Katon lebih banyak menghabiskan waktu berdua, merenung dan meratapi nasib sial sang kakak sulungnya itu.Deswita pergi bukan karena hal tragis, namun kematian datang menggerogoti usianya yang menua sebagai makhluk fana. Keputusan Deswita dan Albert untuk menjadi manusia berakhir menyedihkan."Apa yang dilakukan Deswita sekarang?" Ken membuka percakapan sambil menyesap rokoknya."Yang pasti kita tak akan bisa menemuinya lagi,""Apa kau menyesal? Menikahi Karin?"Katon menggeleng. "Dendamku sudah terbayarkan. Tapi satu hal yang tak kusangka, aku mencintainya,"Ken tersenyum simpul. "Sejak awal kau memang sudah mencintainya. Kalau ti