“Aku akan membantumu mendapatkan Pangeran, Lilija,” beo Ishak ketika mereka kembali ke istana selir. “Ugh! Waraskah kau?”
Fjola memutar bola matanya. “Kenapa?” Ia turun dari kereta. Tangannya sibuk mencincing gaunnya. Ia berkalan memasuki istana calon selir.“Oh, come on! Kau bisa mendapatkan hati sang raja. Hati pangeran tentu mudah bagimu.” Ishak mengekor.“Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kucintai, Ishak,” ujar Fjola memasuki gerbang. Kereta-kereta lain baru saja memasuki gerbang istana. Di depan pintu, Margaret sudah menyambutnya. Ia berdiri, memakai tongkat, memasang wajah tersenyum.Sekilas, Fjola kaget. Ia tak tahu kapan wanita itu kembali dari pesta tadi. Fjola menyapanya dengan menunduk hormat. “Selamat siang, Margaret. Pesta yang meriah, bukan?”Ishak yang mengikutinya juga menunduk, menyampaikan salam.“Tentu sajaAngin bertiup kencang di atas tembok besar. Hawanya dingin dan lembap. Kulit Fjola bergidik. Bulu kuduknya meremang. Di langit tampak awan mendung yang bergulung-gulung kelabu. Tak pelak lagi, musim dingin benar-benar datang.Di bawah tembok tempat gadis itu berdiri terdapat pemandangan yang menerikan. Dua tebing batu terjal dengan jurang menganga seolah tanpa dasar tampak mengancam. Fjola membayangkan dirinya jatuh ke sana. Tubuhnya lalu mengigil.“Kau kedinginan?’ Barrant merapatkan tubuhnya ke tubuh Fjola.“Tidak, tidak,” tolaknya menjauhi pemuda itu sebelum roma merah menjalari pipinya. “Aku hanya takut. Mungkin satu minggu lagi aku akan dibuang ke sana.”Kening Barrant berkerut. “Bagaimana bisa?”“Kau tak tahu?” Fjola tampak terkejut.“Tahu apa?”“Selir yang tidak dipilih raja akan dibuang ke sana oleh orangmu.&
“Berani-beraninya kau mempermalukanku?” kata Elisabet dengan bersungut-sungut.Fjola mendengus menanggapinya. Ia mengelus pipinya yang baru saja ditampar. Matanya melirik dengan muak. Ia meludahi Tuan Putri dari dari Vor itu.Elisabet meradang. Ia mengangkat tangannya lagi untuk menampar Fjola, namun gadis itu dengan mudah menangkisnya. Tangannya yang lain segera mencengkeram pipi putri kurang ajar itu. “Kuperingatkan kau, Tuan Putri, jangan menyentuhku atau aku tak sengaja melukai wajahmu yang cantik ini dengan benda tajam,” desisnya.Elisabet gemetar. Meski begitu, ia berusaha dengan keras untuk tidak menunjukkan ketakutannya. Ia meronta, melepaskan cengkeraman tangan Fjola. Matanya memandang tajam gadis itu. Kemudian, dia berkata, “Awas kau!” lalu pergi meninggalkan kamar Fjola.Sang pelayan yang menunggu di depa kamar tampak khawatir ketika melihat tuannya keluar dengan ekspresi murka namun k
“Berapa kali aku bilang padamu untuk tidak menjadikan Margaret musuh?” tanya Ishak menaruh tangannya di pinggang. Matanya memelototi Fjola. Mereka tengah berada di kamar.“Tiga, mungkin,” jawab Fjola skeptis. Saat melihat ekspresi sang pelayan yang tambah tertekuk, ia menunduk dengan cepat. Ia tampak seperti anak kecil yang tengah ketahuan menyembunyikan permen di bawah bantal.“Dan, kau tidak mengerti juga?” Suara Ishak menggelegar. Fjola sudah terbiasa mendengar suaranya yang lembut dan sedikit melengking. Namun sekarang, ia terkejut bahwa lelaki itu mampu bersuara dengan keras.“Mereka yang mulai duluan,” jawab Fjola beralasan.“Kau harus bisa bersabar! Kau harus mampu mengendalikan dirimu!”Fjola mendelik. “Aku tidak bisa. Kau tidak tahu apa yang mereka lakukan terhadap Lilija.”"Lilija?" Ishak mengernyit. "Apa pedulimu terhadap Lilija?"
Ayam belum juga menyuarakan kokoknya, tetapi tubuh Fjola sudah diguncang.“Bangun, gadis pemalas!” Ishak melembarkan gaun berlengan panjang dengan bulu-bulu lembut yang mengelilingi kerahnya. “Udara semakin dingin. Briet memberiku gaun ini untuk dipakaikan kepadamu. Tetapi terlalu panjang. Jadi, aku mencoba menyesuaikannya dengan tubuhmu. Sekarang, cepat pakai itu. Sebentar lagi Margaret akan menyeretmu.”Fjola mengerjap. Ia mendengar pintu kamarnya tertutup dan sekilas melihat punggung Ishak keuar. Ia tidur lagi. Namun, tak bisa. Nama Margaret sekarang menjadi semacam mimpi buruk bagi gadis itu.Dengan perlahan, Fjola bangkit. Rambutnya masih acak-acakan. Selimutnya masih menutupi setengah badan dan di bawahnya tampak gaun krem berleher seperti bulu serigala yang panjang dan lembut. Fjola mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Ia tak yakin dirinya tak bisa menahan bersin jika memakai itu.Sepuluh menit kemudian
Perasaan Fjola begitu gelisah. Ia ragu apakah Barrant akan datang malam itu. Ditambah dengan sahabatnya, Lilija, yang dirundung duka membuat Fjola tak semangat. Setelah makan siang tadi, dia pergi ke kamar Lilija untuk sekadar menghiburnya. Karena suasana hatinya yang syok, gadis itu tidak ikut makan siang. Ia bahkan menolak saat sang pelayan menyuapinya. Pelayannya yang bernama Helga itu berubah menjadi lembut.“Buat apa aku makan? Toh, aku akan mati juga,” tolak Lilija. Matanya menerawang memandang derak perapian. Dia duduk di kursi. Lengannya memeluk lutut.“Kau harus makan, Tuan Putri. Kau akan hidup jika mendapatkan hati raja,” kata Helga merayu. Ia menyodorkan sendok yang berisi makanan ke mulut sang putri yang bungkam.“Aku tidak nafsu makan. Taruhlah di sana. Nanti akan kumakan.” Dengan dagu, Lilija menunjuk meja di samping lemari. “Keluarlah. Aku ingin sendiri.”Helga menghel
Fjola menjerit saat tangan kurang ajar seorang serdadu meraba pahanya. Namun, tak ada siapa pun yang peduli. Mereka yang lewat hanya menoleh singkat, seolah pemandangan itu merupakan hal yang biasa terjadi di sana. Beberapa malah mendengkus.Gadis itu menangis karena marah. Ia lantas menusuk mata sang serdadu yang tengah mabuk itu dengan kedua jarinya. Si prajurit mengaduh. Spontan, ia melepaskan pelukannya. Tangannya mengucek mata.Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fjola berlari. Ia menuju pintu belakang istana. Ia berniat masuk ke celah. Namun sayangnya, sebelum sampai, si prajurit berhasil menyambar tangan gadis itu.Dengan wajah merah karena murka, dia mencengkeram kedua tangan Fjola, meguncinya ke atas dengan satu tangan sedangkan tangannya yang lain mulai menyobek bagian atas gaun gadis itu.“Jangan,” Fjola meronta. Tetapi, tenaga prajurit itu begitu kuat. Ia kesulitan. Apalagi saat tungkai si prajurit mulai mendesak di antara k
“Dear Fjola yang Cantik,” Ishak membacakan surat Barrant kepada gadis itu. Sudut bibirnya tersungging ketika membaca itu. “Saat membaca suratmu, aku berharap kau tidak dalam keadaan genting sehingga menghendaki bertemu denganku secepat mungkin. Sebab dengan amat menyesal, Tuan Putri, aku tidak bisa menemuimu malam ini, begitupun malam selanjutnya dan selanjutnya lagi.“Akan tetapi, aku berjanji akan menemuimu pada malam di mana bulan membulat penuh, itu pun kalau tidak tertutup oleh awan. Aku tak dapat bertemu denganmu semata-mata bukan kehendakku, Tuan Putri, melainkan keadaanlah yang membuatku tidak dapat berlari menuju ke tempat dirimu berada. Percayalah, tak ada yang lebih kuinginkan selain melakukan hal itu. Kuharap, kau mau memaafkanku dan menemuiku di tempat biasa nanti karena aku merindukanmu.Nb: Tak usah kaubalas suratku, Aguste pasti tidak akan sabar menunggu balasan darimu. Oh, kalau aku punya sihir, aku ingin mengubahnya m
Setiap malam, Fjola mencari bulan. Setelah makan malam, saat jadwalnya selesai, dia akan berdiri di jendela, mengintip awan kelabu yang menaungi langit. “Apa ini sudah bulan purnama?” tanyanya kepada Ishak.“Belum, Fjola, sekarang ayo, kita belajar membaca.” Lelaki berpakaian germerlap itu menarik lengan Fjola ke perpustakaan.“Oh, sekarang kau ingin menyiksaku lagi? Kita sudah sepagian belajar menulis, sekarang malam pun kau tuntut aku membaca? Otakku bisa meledak, Ishak.”“Kalau meledak, akan kujahit biar menempel lagi.” Lelaki itu memaksa Fjola masuk ke perpustakaan.“Selamat malam,” sapa Mr. Underwood mengintip dati balik kacamatnya. “Kau ingin membaca adab dan hukum?”“Tidak,” sahut Ishak segera. “Apakah Anda punya buku yang ... em, mudah dibaca? Mungkin dongeng atau semacamnya?”“Oh, tentu saja. Ada
Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah
Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.
Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo
Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s
“Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu