Raja Valdimar merupakan orang terakhir yang datang ke aula sidang setelah ditunda selama makan siang. Salju turun dengan deras saat kakinya melangkah ke dalam aula. Setelah duduk di kursi kebanggannya, ia berseru untuk melanjutkan pertemuan dewan itu.
“Saya lihat Master Killi sudah hadir. Saya ingin mendengar kesaksiannya terlebih dahulu,” katanya.Master Killi bangkit dari duduknya. Ia membagikan kertas kepada para dewan. Setelah selesai, ia mulai menjelaskan, “Dari hasil penyelidikan saya, Yang Mulia, Nona Fjola lahir dan besar di desa terpencil dekat hutan terlarang di Negeri Haust. Desa itu boleh saya katakan sebagai desa yang miskin. Beberapa orang bertahan hidup dengan mengambil secara ilegal dari hutan terlarang.”Lelaki itu berhenti sejenak untuk menarik napas. Ia lalu melanjutkan, “Dari catatan yang saya temukan, selaa kecil, Nona Fjola diasuh oleh keluarga Addalward. Ibunya sudah meninggal beberapa tahunMargaret melangkah menghampiri satu persatu dewan yang ada. Ia mengulurkan sebuah perkamen kepada mereka. Ketika mereka mengamatinya, ia menjelaskan. “Itu adalah catatan kelahiran Fjola. Dia lahir pada musim semi tujuh belas tahun yang lalu. Saat itu, ibu Fjola sudah menikah dengan ayahnya selama tiga tahun. Jadi, mustahil ia adalah anak dari Raja Erik.”Para anggota dewan mengernyit. Mereka membaca catatan yang diberikanoleh wanita tua itu dengan saksama. Mereka semua hening sesaat sebelum Mr. Jack bersuara, “Bagaimana kau tahu?”“Aku mengumpulkan informasi.”“Tapi, bisa saja mereka berhubungan saat si wanita sudah memiliki suami,” bantah Mr. Jack lagi. “Hal itu bisa saja terjadi, bukan?”“Itu tidak mungkin,” kata Margaret yakin. “Sebab, selama hampir setahun sebelum Fjola lahir, keluarga Addalaward belum pindah ke ibu kota.”“Ta
Hari sudah senja ketika Barrant sekali lagi memasuki aula. Semua orang yang ada di sana tampak lelah. Meskipun demikian, mereka tak memiliki pilihan. Pasalnya, Raja menginginkan segalanya rampung hari itu juga. Ia tak mau menunda-nunda keputusan. Hal itu dikarenakan ia tak mau kabar itu menyebar sehingga membuat rakyat gelisah.Semua sudah berada dalam posisinya. Meski dengan bhu melorot dn pandangan lesu, mereka tak ada yang berani memprotes.Mr. Stone lalu berdeham. Ia mengumumkan bahwa pertemuan dewan untuk membahas latar belakang Fjola kembali dilanjutkan. Karena semua orang yang berhubungan maupun yang mengaku tahu kasus itu sebenarnya sudah bersaksi, maka selanjutnya mereka memutuskan siapa yang dianggap bersalah dalam hal ini. Mula-mula, dengan membacakan kembali kesaksian demi kesaksian dan bukti yang ada, Mr. Stone akhirnya berkata, “Dengan begitu, kami para anggota dewan memutuskan untuk dipertimbangkan oleh Raja Valdimar yang terhormat, bah
“Tidak, tidak!” seru Fannar saat ayahnya dibawa paksa oleh prajurit. “Apa yang Ayah lakukan? Kenapa Ayah bilang begitu?”Sang ayah diam saja. Kepalanya tertunduk. Penopangnya jatuh. Ia pasrah dibawa ke penjara. Pengawal lain segera menyeret Fannar menjauh.“Ayah!” seru pemuda itu menangis. Ia melihat ke arah Barrant yang berdiri di depan aula. Para anggota dewan sudah pergi, begitupun dengan Margaret dan yang lainnya. Hanya tinggal Barrant yang berdiri di sana, menyaksikan seorang ayah berkorban demi anak-anaknya.Barrant teringat ketika Jon memutuskan untuk menjalankan rencana yang sudah mereka sepakati tadi. Ada rasa terkejut di hati pemuda itu. Meski ia berharap Jon mau melakukannya, tetapi ada sebagian hatinya yang tak rela mengorbankan Jon demi Fjola. Meski begitu, Raja Valdimar cukup sulit untuk diyakinkan.“Benarkah?” katanya skeptis saat Jon selesai mengakatan pegakuannya. &ld
Penginapan sedang ramai-ramainya saat Fjola turun ke bawah. Ia butuh bicara dengan pemilik penginapan, si pria besar yang baru saja diketahui namanya yaitu Tom. Tak mau ambil risiko dikenali, Fjola mengenakan syal hingga menutupi separuh wajah.“Apa kau melihat temanku? Lelaki besar yang datang bersamaku kemarin?” tanyanya kepada Tom. Matanya melirik ke bar yang hampir penuh. Di luar, ada hujan salju. Orang-orang memilih bar untuk menghangatkan diri. Minuman-minuman keras mereka tenggak untuk membuat badan menjadi hangat. Namun, karena keenakan, mereka sering kebablasan hingga mabuk. Udara dalam bar cukup hangat.“Oh, belum Nona,” jawab Tom mengoper gelas. “Mungkin masih ada urusan di kota. Kudengar, dia membeli kuda dari anak muda miskin dengan harga yang fantastis.”Fjola diam saja. Ia memerhatikan sekelilingnya dengan waspada. Hal itu tak luput dari pengamatan Tom.Lelaki besar itu mende
Barrant sudah tak sabar untuk memberitahu Fjola tentang keberhasilannya. Mereka akan tetap menikah. Ia segera menulis surat dan meminta salah satu prajuritnya untuk menyiapkan kuda. Namun, setelah pemuda itu memakai mantel dan berniat keluar istana, seseorang mencegatnya. “Yang Mulia, Anda sudah ditunggu Raja.”Pemuda itu mengernyit. “Aku rasa, aku tidak memiliki janji untk bertemu Raja. Bukankah beliau sedang ada urusan?”“Saya tidak tahu, Yang Mulia. Saya hanya diminta Raja untuk menyampaikan bahwa beliau sedang menunggu Anda.”Barrant mengangkat bahunya sekilas. “Kalau begitu, bolehkah aku minta tolong padamu?”Prajurit itu menerima tanpa ekspresi. “Silakan, Yang Mulia.”Barrant mengulurkan suratnya dan berkata, “Tolong sampaikan surat ini ke pemilik bar yang ada di daerah barat. Di surat itu sudah kutulis nama bar yang kumaksud. Kuyakin kau tidak aka
Seseorang tengah mengendap-endap ke tangga atas kamar Pangeran saat Barrant didatangi sang prajurit. “Tolong berikan surat ini kepada pemilik bar di wilayah utara.” Perintah itu juga terdengar dari telinganya. Kening wanita yang ikut mendengar itu pun mengernyit. Untuk apa Pangeran menulis surat kepada pemilik bar? Batinnya heran. Ia lantas bersembunyi ketika prajurit itu lewat. Diam-diam, ia akan melaporkan ini kepada Margaret. Sementara itu, ia menyuruh pelayannya untuk membuntuti sang prajurit. *** Hujan salju menutupi jalan. Orang-orang mulai menabur garam di depan rumah mereka supaya tidak licin. Barrant baru bisa meninggalkan istana setelah sore menjelang. Padahal, ia sudah tak sabar ingin menemui kekasihnya yang kini terbebas dari ancaman hukuman. Senyum tersipul di bibirnya yang merah. Ia tidak peduli dengan udara dingin yang menyentuh kulitnya. Orang-orang tidak memerhatikannya ketika lewat. Sebab, ia pergi dengan mengendarai kuda sendiri. Tak ada Aguste di sampingnya. Ka
Sebelumnya ....Fjola sedang melamun ketika pintu kamarnya diketuk. Ia egera bangkit. Mengira Aguste telah menemukan kereta, ia pun bangkit dan membuka pintu. Rupanya, ia keliru. Bukan Aguste yang mngetuk tadi, melainkan Tom. Lelaki itu mengulurkan sebuah perkamen kepadanya.“Surat untuk Anda lagi, Nona. Sepertinya dari kerajaan.”Fjola mengernyit. “Oh, ya?” Dia menerima surat itu dengan benak bertanya-tanya.“Terima kasih,” tambahnya kepada Tom yang masih menunggu. “Oh!” Ia lantas mengambil kantong uang yang diberikan oleh Aguste sebelum pergi tadi dan mengambil beberapa keping untuk tip. Ia lantas memberikannya kepada Tom dan lelaki itu pun pergi.Setelah menutup pintu, Fjola membuka amplop surat itu dan membaca isinya.Dear Fjola,Terjadi sesuatu yang tak terduga di sini. Kau dalam bahaya. Sebentar lagi akan ada seseorang yang menjemputmu. Ikutlah d
Kesempatan itu datangnya satu kali. Yaitu ketika melewati sebuah pasar. Kereta terpaksa mengurangi kecepatan. Banyak orang yang tengah lalu lalang. Mereka membeli bahan makanan untuk persediaan musim dingin yang telah tiba. Meski hari sudah sore, ditambah salju yang turun lumayan deras tak menghentikan keinginan mereka untuk menimbun makanan banyak-banyak, membeli mantel baru yang hangat dan sapatu bot.Fjola yang melihat kesempatan itu diam-diam membuka kunci pintu kereta. Ketika jentera kereta melambat dan hampir berhenti, gadis itu pun menghambur keluar. Ia menjinjing gaunnya sampai ke lutut. Ujung mantelnya berkibar. Tanpa menoleh ke belakang, ia menyibak keramaian. Ia berlari dan terus berlari. Ia tak memedulikan teriakan dan umpatan dari orang-orang yang tak sengaja tersenggol olehnya.Setelah merasa cukup jauh, ia berhenti. Ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ia melihat ke sekeliling. Rupanya, ia berlari cukup jauh. Fjola tak ingat ke mana ka
Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah
Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.
Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo
Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s
“Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu