Perlahan Arya menekan pegangan pintu, hingga terdengar suara Seruni yang tengah melafalkan kalam ilahi, duduk di atas sajadah dengan membelakangi pintu. Rasa nyaman menyelimuti hati Arya saat suara merdu Seruni begitu fasih membaca Al- Quran. Melangkah pelan dan kembali menutup pintu kamar setelah tubuhnya menyelinap masuk. Seruni yang mendengar pintu ditutup lagi, menoleh ke arah pintu. Dia kenal dengan baik aroma yang kini terhidu penciumannya. Meski tak sekuat tadi siang saat mereka bersama, tapi Seruni bisa menebak siapa yang pastinya sedang menatapnya dari belakang sekarang. Seruni tak ingin berharap kalau itu benar, atau bisa saja hanya imajinasinya yang terlalu berharap, Arya akan datang dan mengubah semua keputusan sepihak, yang dianggap suaminya itu adalah hal terbaik untuknya. Dia pun menoleh perlahan dengan jantung berdegup kencang, menunggu bukti hasil pemindaian matanya akan sosok suami--yang sangat diharapkan benar ada di sana--tengah menatapnya dengan sorot rindu ju
Suara detak jarum jam menjadi pengisi kebisuan di dalam kamar itu. Bahkan sepasang cicak yang saling berkejaran, lebih terlihat romantis daripada sepasang anak manusia yang sedang berpelukan di atas peraduan mereka. Memilih bercengkrama dengan segala pemikiran sendiri, dari pada mencoba mengembalikan romansa indah yang beberapa hari lalu, membuat keduanya merasakan manisnya madu pernikahan.Hanya usapan lembut tangan Arya, sesekali mengusap punggung Seruni yang masih menggunakan mukenah, tanpa berniat membukanya. Meski Arya sudah meminta maaf, tetap saja ada rasa kesal bercokol dalam hatinya. Merasa diabaikan, tak diharapkan.Bukan belum memaafkan, hanya sedang ingin meresapi semua rasa yang bisa hadir dalam pernikahan mereka. Selain cinta tentunya. Karena nanti, akan banyak rasa yang akan mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Selain manis dan kesalahpahaman seperti sekarang.Jadi, biarkan dia belajar tentang itu.Hanya saja Seruni terus mencoba menanamkan dalam hati, meski Arya tel
Rara berjalan cepat menuju kamarnya, setelah menutup kembali pintu kamar Seruni dengan kencang. Dia merutuki kecerobohannya yang tanpa mengetuk pintu, membuka begitu saja pintu kamar kakaknya.Dia yang tidak tahu Arya sudah kembali, diminta Lastri untuk memanggil Seruni yang belum makan malam.Jantung Rara serasa akan melompat keluar. Dia takut, karena Seruni pasti akan marah atas kelancangannya."Rara, kenapa?" tanya Lastri saat melihat Rara memburunya lalu memeluk erat."Ibu, kenapa nggak bilang kalau ada aa di kamar teteh?" tanya Rara terdengar ketakutan."Loh, memangnya kenapa? Ibu lupa bilang. Kamu … ketuk pintu dulu kan saat manggil kakakmu?" tanya Lastri melihat pada kamar Seruni yang pintunya masih tertutup."Nggak. Rara nggak ketuk pintu. Maaf!" Rara semakin mengeratkan pelukannya. Dia masih mencoba mengusir kilasan yang baru saja dilihatnya, di dalam kamar Seruni."Rara, kamu ini bagaimana, sih? Lain kali, kalau mau masuk kamar si teteh harus ketuk pintu. Sekarang ini si tet
"Sayang." "Hmm?" "Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Arya dengan tangan terus mengusap lengan Seruni, yang mengenakan baju tidur berlengan pendek. Meski malam belum beranjak larut, namun kesunyian sudah menyelimuti kediaman Soleh. Suara serangga malam, juga burung hantu yang singgah di pepohonan yang ada di sekitar, terdengar mengisi keheningan. Angin malam berhembus dingin, menyelinap dari ventilasi kamar, menyusup. Hingga Seruni menaikkan selimut yang menutupi tubuhnya dan Arya, sampai sebatas leher. "Apa?" "Janji tidak akan marah?" Seruni mendongak, menatap manik hitam Arya yang kini setengah menunduk, agar mata mereka bisa saling menatap. Ada kecemasan dalam hati Seruni, melihat Arya terlihat ragu menanyakan apa yang ada di dalam pikirannya. Dia tak ingin ada kesalahpahaman lagi antar dirinya dengan Arya, yang akan menyebabkan mereka tidak nyaman seperti beberapa saat lalu. "Ada apa, sih? Runi malah jadi takut kalau Aa berbicara seperti itu," kata Seruni dengan rasa penasar
Keesokan harinya Seruni dan Maya sudah sampai di sekolah SMA-nya dulu. Lapang basket sudah ramai oleh siswa dari sekolah yang mengadakan pertandingan persahabatan dengan sekolah Seruni, bahkan nampak Rizal dan Didi ditepi lapangan lain. "May, kok sudah ramai gini, sih? Bukannya nanti siang ya, pertandingannya?" "Sekarang semifinal katanya, besok final, jadi dari pagi," terang Maya. Dia melambai pada Didi dan Rizal yang kebetulan melihat padanya dan Seruni. "Tuh, lihat ada Rizal sama Didi. Si Rizal sampai bengong gitu lihat kamu, Runi." Seruni mengikuti arah pandang Maya. Entah apa yang membuat lelaki yang kata Maya mencintainya itu, bersikap seperti itu. Seruni tidak ingin ambil pusing. "Loh, Rizal kok dingin gitu sih, Runi? Tidak seperti biasanya dia senyum sama kamu," ujar Maya heran melihat Rizal memalingkan pandangan. Seruni mengendikkan bahu tanpa mau ambil pusing dengan perubahan sikap Rizal padanya. Meski begitu, tak urung dia sedikit berpikir, mengingat pertemuannya
POV Aji Seta"A, nama kakak ipar Runi?" kutatap wajah a Arya lekat. Entah kenapa hati ini gelisah, mendengar nama yang disebutkan oleh mang Ade tadi. Jantung berdebar tak nyaman menunggu jawaban dari kakakku yang malah lekat menatap. Runi … apa itu nama asli atau nama panggilan dari istrinya, yang sampai detik ini belum juga aku temui seperti apa sosoknya. Ada yang janggal sebenarnya. Sejak aku datang, belum pernah sekalipun kulihat a Arya datang ke rumah Ibu dengan membawa istrinya, dia selalu sendiri saat datang. Di rumah pun, ibu atau ayah tidak pernah membicarakan tentang wanita yang sudah menjadi menantunya. Semua seakan tidak ingin membahasnya. Sering aku mencoba membuka pembicaraan tentang sosok kakak iparku itu, tapi dengan cepat diganti oleh ibu dengan membicarakan hal yang lain. Dan seringnya, malah menjadikan Karin sebagai bahan perbincangan di antara kami. Ibu bilang, aku dan Karin cocok. Ah, padahal aku sedang menunggu waktu yang tepat, untuk mengikat gadis yang sud
"Sepertinya dia juga suka sama aji.""Sepertinya?'' a Arya semakin gencar bertanya. Bukan, cenderung mencari tahu sih menurutku. Nada bicaranya itu, ketus! ''Iya, karena kan Aji belum banyak bicara sama dia. Hanya titip kata aja, kalau Aji suka dan minta dia nunggu. Gitu aja, sih." A Arya mengangguk. Wajahnya semakin terlihat tenang. Bahkan kalau nggak salah lihat, dia seperti puas dengan jawabanku. "Syukurlah.''''Maksudnya, A? Kok, syukurlah?''''Eh, ya iya, syukur kalau kamu tidak pacaran. Iya, itu. Kan, bagus?'' a Arya sedikit gugup. "Terus, apa gadis itu pernah ada komunikasi dengan kamu?" "Nggak. Duh, sebentar, A. Ada telepon masuk.'' Kata-kataku tertahan saat merasakan getaran dari saku celana, di mana ponselku berada. A Arya mengangguk dan melangkah mendekat pada mang Ade, yang datang dengan membawa satu kantong plastik cabe yang sudah disusun rapi. Nama Andra terlihat di layar. Hmm, baru ingat menghubungi nih, anak. Aku tunggu dari tadi, dia malah baru nelpon sekarang.
Rasa senang Arya setelah mendengar semua penjelasan Aji tentang hubungannya dengan Seruni, berganti cemas saat Aji mengatakan kalau dia akan pergi ke sekolah. Meski sudah mengetahui dengan pasti hubungan apa di antara mereka, entah kenapa Arya masih saja belum siap, kalau keduanya bertemu dalam waktu yang cepat. Dia masih takut. Tak percaya diri tepatnya. Begitu motor Aji berlalu, dia langsung mengambil ponselnya untuk mengetahui keberadaan Seruni. Dia belum siap kalau aja dan Seruni bertemu, apalagi tanpa ada dirinya yang mengawasi. Dan tempat yang akan Aji datangi, adalah tempat yang sama dengan tujuan Seruni hari ini. Sekolah mereka dulu. Arya harus mencoba menghalangi kemungkinan Aji dan Seruni bertemu di sekolah. Harus! Ade yang ada di dekat Arya terlihat heran, dengan Arya yang seakan gelisah dengan terus menempelkan ponsel ke telinga, menunggu lawan bicaranya menerima panggilan. Meski belum tahu siapa yang dihubungi Arya, Ade yakin kalau Arya tengah panik karena panggilannya
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"