Seruni terus merasakan getaran ponsel dalam saku roknya, saat ini dia sedang berbincang dengan temannya, yang sudah menyelamatkannya dari cecaran pertanyaan Maya tadi. Seruni meminta izin untuk ke toilet agar bisa menerima panggilan, yang dia tahu siapa yang menghubunginya. Hanya Arya yang memiliki nomornya selain Maya yang saat ini ada bersamanya. "Aku ke toilet dulu ya, May, Des?" pamit Seruni sedikit tergesa. Dia tak menunggu jawaban dari kedua temannya. Seruni terus melangkah menuju toilet yang suda sangat dihapalmya, getaran ponselnya sudah berhenti. Namun justru dia semakin penasaran, untuk menghubungi Arya segera. Langkahnya sedikit melambat saat dengan jelas dia mendengar pembicaraan beberapa siswa yang berpapasan dengannya. "Emang beneran keren, ya?" "Iya, nggak nyangka aku bisa lihat dia lagi.""Sekarang mereka di mana?"''Tadi sih aku lihat mereka ke kantor, mungkin mau ketemu sama para guru.""Duh, kak Seta makin ganteng!'''Seta? Kak Seta kah maksudnya? Ah, seperti
Sorak sorai senyap seketika. Berganti dengan keheningan yang tercipta dalam benak gadis yang menatap tak percaya, seseorang yang baru saja memanggil namanya penuh rindu. Akalnya menolak, tapi mata dengan jelas mengakui apa yang sudah dilihatnya. Dia di sini!Seseorang yang pernah dengan malu-malu memberikan harapan padanya, kini ada di depannya. Tersenyum dengan wajah yang semakin tampan, setelah setahun mereka tidak bersua. Hatinya berdesir, mengingat semua sudah tak sama lagi. Takdir sudah jauh membawanya berlayar, dengan kapal yang dinakhodai kakak lelaki itu. Kaget?Sangat!Bahkan napas pun seakan tercekat, hingga dia perlu ruang untuk menenangkan dirinya yang seakan tersesat. Seruni menggeleng, tersenyum miris dengan tatapan yang masih lekat, membalas sorot mata sarat rindu yang Aji berikan. Dia adik iparku. Hati kecilnya terus meneriakkan itu. "Runi … apa kabar?" Jarak mereka terhalang lima langkah. Namun Seruni takut Aji bisa mendengar degupan jantungnya yang menggila,
Arya terus mengawasi. Dia yakin setelah ini Seruni akan kembali marah padanya. Meminta penjelasannya. Apalagi saat melihat istrinya itu berlari dengan mengusap wajah, Arya yakin kalau Seruni tengah menangis sekarang. Ingin mendekat, tapi entah kenapa hatinya lebih memilih mendiamkan. Kembali dia menjadi pengecut, setelah melihat dua orang yang dicintainya terluka, oleh karena rasa cintanya pada Seruni. Dia sudah tahu tidak ada hubungan istimewa antara Aji dan Seruni, namun entah kenapa lebih memilih menyembunyikan kebenaran dari Aji, yang didukung oleh kedua orang tuanya sekaligus. Mengusap wajahnya kasar, Arya segera menghidupkan mesin motor, saat melihat Seruni sudah semakin jauh dari Aji. Namun Aji masih setia melihat Seruni yang tak menoleh padanya sama sekali. Menghampiri Seruni, Arya berhenti tepat di dekat Seruni yang terkejut dengan kedatangannya. Bukankah tadi Arya bilang dia sakit? Tapi buktinya sekarang lelaki itu ada di sana. Sehat, tidak sakit seperti yang dikatakanny
Arya membawa Seruni ke rumahnya. Meski sempat mendapat penolakan dari istrinya, Arya menulikan telinga. Dia butuh tempat di mana tidak ada yang akan ikut menyimak atau pun mengetahui, kalau mereka sedang tidak baik-baik saja. Pulang ke rumah Soleh, akan ada Lastri yang tentunya membuat dia merasa tak nyaman. Begitu juga kalau pulang ke rumah orang tuanya, ada Sukma yang pasti akan ikut campur dalam masalah mereka. Ditambah bisa saja Aji menyusul pulang, karena tadi pun adiknya itu sudah melihatnya bersama Seruni. Tinggal menunggu saja, apa yang dipikirkan Aji tentang hubungannya dengan Seruni. Membayangkan itu, Arya pun merasa sudah sangat siap menerima--mungkin--kemarahan dari Aji. Juga bisa saja kebencian dari gadis yang kembali merasakan kecewa padanya. Bukan, bukan ini yang Arya harapkan. Dia hanya ingin melindungi miliknya. Seruni dia dapatkan dengan melawan apa yang hatinya katakan. Melupakan kasih sayang untuk adiknya, dengan tidak peduli akan luka dan nestapa yang akan dira
Aji terus mencerna semua keterangan dari Andra. Dia semakin yakin kalau Runi-nya dan Runi Arya adalah orang yang sama. Hatinya sudah berdarah-darah. Koyak di mana-mana. Bahkan sekarang ini, oksigen yang dihirup pun, seakan berbalik menyakitinya. Sesak. Dadanya sesak dengan semua kenyataan, tanpa perlu dia minta penjelasan. Semua sudah jelas. Sangat jelas. Seruni-nya adalah istri kakaknya. Gadis yang sudah berhasil membawa Arya keluar dari trauma. Gadis yang sudah bisa membuat Arya mau menikah. Gadisnya ... tidak! Wanita milik kakaknya. Bukan gadisnya lagi. Langkah Aji terus mengarah ke kamar, tekadnya sudah bulat untuk kembali ke Bandung saat ini juga, tanpa harus bertanya atau mendengar alasan apapun dari semua anggota keluarganya. Mereka telah sepakat menyembunyikan semua. Bahkan kedua orang tuanya sepakat menutup rapat semua informasi tentang pengantin Arya darinya. Dari sana Aji yakin, mereka sudah mengetahui tentang dia dan Seruni. Mereka tahu semuanya, dan memilih mengorba
Arya datang ke rumah Tirta saat jam makan siang, dia sengaja tidak mengajak Seruni meski istrinya memaksa minta ikut. Setelah memberikan penjelasan dan kembali bisa diterima oleh Seruni, gadis itu pun membiarkan Arya pergi untuk menjelaskan semua tentang pernikahan mereka pada Aji. Tentunya dengan penegasan dari Seruni, kalau Arya harus mengatakan kenyataan yang pastinya akan menyakitkan untuk Aji. Melihat motornya yang tadi pagi dipakai Aji sudah terparkir di depan rumah, Arya menyangka kalau Aji sudah pulang. Dia menenangkan hatinya yang kini berdebar kencang, membayangkan reaksi Aji akan kejujuran yang akan dia katakan sesaat lagi. Semoga saja, Aji bisa menerima semua penjelasannku dengan lapang dada. Harap Arya dengan terus masuk ke dalam rumahnya, setelah mengucapkan salam. Namun sampai dia masuk ke ruang tengah, tak terdengar suara Aji yang menurut perkiraannya akan ada di sana. Begitu juga dengan Sukma dan Tirta yang tidak diketahui keberadaannya. Mungkin di kamar. Arya m
Karin tersenyum saat mendapat pesan dari Aji kalau lelaki itu akan kembali. Menghitung waktu kedatangan Aji dari jam dia berangkat dari desanya, Karin berpikir akan menunggu kedatangan Aji di tempat kosnya saja. Dia sudah sangat merindukan sahabat rasa gebetannya itu. Sangat rindu. Karena selama Aji pergi, Aji tidak menghubunginya sama sekali. Sedang untuk menghubungi lebih dulu, Karin takut mengganggu waktu kebersamaan Aji dengan keluarganya. Setelah selesai kuliah, Karin melajukan motornya menuju ke kosan Aji. Perhitungannya, kalau belum sampai, maka sebentar lagi Aji datang. Beberapa teman kos Aji tersenyum, saat melihat Karin yang menghentikan motornya, lalu berjalan mendekat. "Seta belum datang," ujar salah satu dari tiga orang teman Aji menggoda. Karena sejak kepulangan Aji, gadis itu tidak datang ke sana. Karin tersenyum sebelum menjawab. "Dia pulang hari ini. Tadi dia udah kasih kabar ke aku.""Beda aja emang kalau sama gebetan, pasti laporan.""Bisa aja." Karin tersipu m
Arya kembali ke rumah Soleh begitu gelap sudah menyelimuti. Setelah tadi Tirta mengetahui kalau Aji sudah tahu siapa yang menjadi istrinya, kepala keluarga itu memutuskan kalau Seruni harus tinggal di rumah mereka. Rumah Tirta maksudnya. Jadi, setelah Seruni ujian, maka gadis itu akan tinggal di rumah mertuanya atas permintaan Sukma. Arya tentu tidak bisa menolak. Apalagi yang menjadi alasan untuk mereka harus berjauhan seperti rencana semula? Tidak ada. Mendengar suara motor yang berhenti di depan rumah, Seruni yang memang menunggu kepulangan Arya, segera memburu pintu. Di rumah hanya ada Rara, karena Soleh, Lastri, dan Robi, sedang pergi menemui saudaranya di desa tetangga. Awalnya Rara juga ingin ikut, tapi karena Seruni meminta ditemani, Rara pun batal ikut dengan terus merengut. Bahkan sejak kepergian Lastri, Rara memilih mengunci diri di kamar. Arya tersenyum saat melihat Seruni berdiri di ambang pintu, menderap langkah memburu kekasih hati yang menyunggingkan senyum manis,
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"