Hingga jam makan siang, Rara belum juga mengetahui apa isi kertas yang Lee berikan saat pagi tadi. Dia terlupa karena kesibukan kerja, bersama Desi, Ratna, Diah, dan Rosi, mereka melangkah keluar bersama ruangan QC untuk makan siang di kantin. Sedang di ruang kerjanya, Lee sudah memesan satu kotak donat untuk Rara yang dipesan secara online, dia meminta agar kurir nanti memberikan pesanannya pada petugas keamanan saja, dan mengantarnya ke ruangan Rara. Tanpa curiga sama sekali, satpam dengan nama Salim itu mengantarkan pesanan Lee ke ruangan QC. "Apa itu, Pak Salim?" tanya Jang saat berpapasan dengan Salim di pintu masuk ke bagian produksi."Oh, ini Mister, pesanan donat untuk karyawan QC," jelas Salim menunjukan apa yang dibawanya, kotak berisi donat dengan logo yang sudah sangat familiar. "Lee yang pesan?" tanya Jang curiga. "Sepertinya bukan, Mister. Disini tertulis: Untuk kekasihku Rara." Salim membaca pesan yang tertulis di sana. "Hmm, begitu? Ya sudah, antarkan sana," titah
"Aku yakin bukan." Desi menggeleng yakin. "Hmm, bener-bener misterius kalau gitu." "Eh-eh! Kalian lihat deh ke meja mister Lee dan yang lainnya, kalau aku nggak salah, mereka lagi liatin ke meja kita bukan, sih?" ujar yang lain saat dia yang sedari tadi mencuri tatap ke meja Lee dan teman-temannya, merasa kalau tatapan para high kwalitas jomblo itu terarah ke mejanya. Sontak semua yang duduk di meja itu menoleh ke arah yang disebut, kecuali Rara. Dia yang posisi duduknya membelakangi arah yang dimaksud, tak ingin ikut melihat karena sibuk menyembunyikan diri. Sungguh, Rara merasa sedang main kucing-kucingan saja sekarang. Dia berpura-pura sibuk menghabiskan makan siangnya, agar segera bisa keluar dari kantin yang sedari tadi membuat hatinya kebat-kebit, atas semua pembicaraan mengenai dirinya dan Lee. "Iya, bener! Mereka lagi liatin kita!" seru seseorang seraya melebarkan mata. "Duh, mereka kok ganteng-ganteng banget semua, ya? Berasa lagi lihat artis korea jadinya, drakor yang it
Gadis unik, menarik, dan juga ... sangat cantik! Gadis yang saat ini memiliki utuh hati dan cintanya, meski dia masih saja mengelak untuk menerima kehadiran Lee. "Ya ampun, Sayang!" gumam Lee yang tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara, setelah membaca pesan singkat Rara. Sangat menggemaskan! "Dia mulai kumat!" cibir Choi. "Aku malah jadi takut melihatnya," timpal Kim menatap Lee dengan sedih. "Kita bawa ke dokter jiwa," balas Jang. "Diam! Kalian para jomblo mana tahu bagaimana rasanya dapat balasan dari ayang, meski hanya ucapan terima kasih isinya. Rasanya tuh, luar biasa!" ujar Lee tanpa sengaja membuka satu pesan balasan yang dikirim Rara. "Hah? Bahahahaha! Ternyata dia cuma dibalas dengan ucapan makasih saja, Guys! Tapi bahagianya lebih-lebih menang tender perusahan saja. Hahaha!" Choi sangat puas menertawakan, begitu juga dengan Jang dan Kim, mereka terbahak di ruangan milik Jang untuk menikmati segelas minuman khas negaranya, setiap habis makan. Minuman yang akan s
"Kenapa, Ra?" tanya Desi mendekat. "Eh, apanya, Teh?" tanya Rara gugup, takut Desi melihat tingkah absurd-nya tadi. "Itu, tadi si Oppa jelasin apa? Ada yang masih kurang kamu pahami?" lanjut Desi yang ternyata menanyakan hal lain yang membuat Rara lega. "Oh, iya. Tadi oppa jelasin cara mengurangi juga batas minimal yang masih ditoleransi, Teh. Tadi Rara soalnya salah hitung," jawab Rara yang mulai dari sekarang akan semakin pintar berbohong, untuk menutupi ada hubungan tak biasanya dengan Lee. Dan itu semua gara-gara lelaki tampan itu! Lee kembali keluar dari ruangannya, sekarang dia menggunakan baju yang lebih formal, bahkan dasi melingkari kerah kemejanya, membuat dia terlihat semakin menawan saja. Semua mata terlihat begitu memujanya, hanya sayangnya seseorang yang Lee harap akan menatap dengan pandangan yang sama dengan yang lainnya, hanya sekilas saja melihat, memilih kembali fokus bekerja daripada semakin terjerat dalam pesona lelaki tampan itu. Lee pun pasrah, dia melangk
Lee mengerutkan keningnya, hingga tiga jam berlalu Rara tidak juga membalas pesan yang dikirimnya, saat ini dia sedang dalam perjalanan kembali pulang ke kantor cabang. Untungnya semua selesai dengan cepat, hingga dia bisa kembali sesuai keinginannya. "Kebut lagi ya, Kustiwa!" titah Lee begitu masuk ke mobil, memutar ponselnya yang ada di tangan, dengan pikiran tertuju penuh pada Rara. Entah alasan apa yang menyebabkan gadis itu tidak membalas pesannya sama sekali. Sedang tadi dia mengirim pesan pada Desi, anak buahnya itu langsung membalas pesannya. "Siap, Mister!" ujar Kustiwa sambil tersenyum bangga, keahliannya dibutuhkan juga ternyata. "Bisa sampai sebelum jam enam nggak ke sana?" tantang Lee seakan ingin membuat Kustiwa semangat. "Siap saja, Mister. Yang penting jangan protes." "Ayo, buktikan! Sebelum jam enam kita harus sudah ada di perusahan cabang."Kustiwa pun menyalakan mesin mobil, lalu langsung tancap gas sesuai keinginan atasannya. Namun keinginan Lee tidak bisa te
"Iya, kah? Saya tidak tahu." "Iya." Herlin menjawab mantap. "Bahkan ada yang menyangka, kalau gadis di video itu malah Nurul," lanjut Herlin. Kim mengangguk-anggukan kepala, dia akan mencari tahu tentang Nurul nanti. Andai saja Lee tidak menjanjikan hadiah, pasti hal ini akan didiskusikan dengan Jang dan Choi. Hmm, ada untungnya juga dia berbicara dengan Herlin, satu petunjuk baru dia dapatkan. "Makasih infonya, Herlin. Kalau benar gadis yang dimaksud Lee adalah Nurul, nanti kamu aku kasih hadiah." Lee tersenyum manis. "Eh, beneran, Mister?" Herlin menatap tak percaya. "Iya, dong. Kan aku dapat hadiah dari Lee kalau benar, nah nanti kamu juga dapat hadiah dari aku. Kita makan-makan. Gimana?" usul Kim. "Hadiah yang lain saja, Mister," tawar Herlin meskipun kebenaran sosok gadis pujaan Lee masih misteri. Kim terdiam sejenak. Lalu dengan yakin dia mengangguk. "Sip! Kalau benar kamu bisa sebutkan hadiah kamu mau apa." "Beneran, Mister?" "Iya!" janji Kim. "Asyik! Saya tunggu loh
Harapan Herlin tumbuh lagi. Meski dia tidak menyadari, imbas dari perkataannya, berita itu jadi bergulir tak terkendali saat sampai di setiap bibir yang berucap, yang awalnya kabar itu A, semakin banyak yang bercerita malah jadi E, dan itu yang terjadi selanjutnya. Kabar yang dikatakan Herlin, malah jadi berita lain di setiap pemikiran orang yang membicarakannya. Hingga yang santer dibicarakan adalah, Lee mengadakan taruhan dengan ketiga temannya, kalau dia akan memilih seorang gadis untuk dijadikan bahan keisengan mereka. Jelas adanya, menitipkan kata pada seseorang, bisa jadi beda versinya dengan saat kita berbicara, begitu sudah sampai di lidah orang. *****Lee memasuki ruangan QC begitu bel tanda waktu istirahat terdengar, sapaan hangat para karyawan dibalas serupa oleh Lee, meski yang dia harapkan menyambut kedatangannya kembali sudah tidak ada, setidaknya kalau Rara membalas pesannya Lee sudah cukup bahagia. "Baru pulang, Oppa?" sapa Nurul berbasa-basi, sedang Lee yang sejak
Lee melajukan mobilnya menuju ke kosan Rara, dia ingin tahu kenapa tiba-tiba Rara mendiamkannya tanpa sebab, semua harus jelas, karena tidak ada masalah di antara mereka sebelum dia pergi. Tapi kenapa saat dia kembali semua berubah?Lee berharap Rara belum tidur, karena ini baru jam delapan kurang, kalau untuk Robi Lee yakin saudara serahim Rara itu sedang istirahat, sebelum pergi kerja malam seperti yang sudah dia ketahui jadwalnya. Lee memarkirkan mobilnya di seberang jalan kosan Rara, karena di sana ada tanah kosong yang bisa digunakan parkir dan aman, tanpa takut mengganggu jalan yang terpakai oleh mobilnya. Dengan meyakinkan semua masih baik-baik saja untuk hubungannya dengan Rara, Lee mengetuk pintu kosan Rara, terdengar suara televisi dari dalam, menandakan kalau ada yang tengah terjaga di sana. "Siapa?" tanya Robi yang mendengar ketukan pintu tanpa ucapan salam menyertainya. Tak mungkin Dani, teman kerjanya itu akan menyebut namanya setiap kali bertandang. "Ini Lee, Robi!"
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"