"I-iya.""Kamu kenal dia, A?" Sukma menyela. "Kenal, Bi. Sangat kenal meski hanya dari cerita Arya saja awalnya, tapi pada akhirnya bisa bertemu, meski itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya." "Silakan duduk, A," ujar Engkos yang membawa kursi untuk Raja. Tadi saat Raja datang, Engkos langsung mengatakan kalau Tirta dan Denni ada di teras samping sedang menerima tamu, awalnya Raja akan menunggu saja di dalam, tapi saat mendengar suara Sukma yang seakan marah, Raja jadi penasaran dan pergi melihat. Ternyata Metha-lah yang menjadi alasan kemarahan dari Sukma. Tentu saja Raja tidak bisa tinggal diam, akibat ulah Metha bahkan Arya harus mendapat kemalangan, meski dia belum melihat seperti apa kondisi sepupunya itu. "Makasih, Mang," balas Raja pada Engkos yang langsung kembali ke depan. "Sama-sama, A." "Mau apa kamu datang, Metha? Bukankah kamu dulu memilih tidak mendengar penjelasan dari Arya--dari saya?" tanya Raja membuat kini tatapan semua orang kembali teralihkan pada Metha
Semua orang kembali berkumpul di rumah Arya, Aji juga sudah kembali dan menemui Arya untuk mengucapkan terima kasih, mendapat kejutan yang sangat tidak disangkanya itu.Arya dan Aji juga kaget melihat Raja datang bersama para tetua. Aji tentu saja tidak mengira, kalau Raja akan langsung datang untuk melihat keadaan Arya, setelah dia beritahu tentang kecelakaan yang menimpa kakaknya.Aruna juga menanyakan Dhaka pada Raja, dan harus mengangguk kecewa saat papa Dhaka itu bilang, kalau Raja hanya datang sendiri untuk melihat keadaan Arya. "Nginep kan, Ja?" tanya Arya yang memaksa minta keluar kamar dan bergabung dengan semua orang di ruang tengah. Tadi dia sudah diurut agar rasa pegal sisa kecelakaan kemarin sedikit berkurang. Meski saat pemijatan dilakukan, Arya sampai teriak menahan sakit, bahkan dengan entengnya Aruna mengejek daya tahan ayahnya itu. "Cengeng," ejek Aruna membuat Arya gemas saja."Nggak, Ar. Sore pulang. Kan datang juga cuma buat nengokin aja. Mama Danu belum mau dit
Setelah selesai makan, Tirta izin pergi ke sawah untuk memeriksa pekerjaan yang harusnya dilakukan Arya, dan lagi Denni pun meminta ikut daripada bosan di rumah terus. Bersama Soleh, Tirta dan Denni pergi ke sawah. Sementara Aji dan Aylin, pergi bersama Ade meninjau tempat yang akan dipakai untuk acara mereka nanti. Seruni izin pada Arya untuk tidur siang, begitu juga dengan Sukma dan Mukta yang memang sudah terbiasa beristirahat satu jam di siang hari, di kamar tamu yang ditinggalkan Arya, ketiga wanita tangguh yang sudah melewati banyak suka duka kehidupan berkumpul, dengan saling berbisik mereka membahas bagaimana Sukma tadi membuat Metha diam tak bisa bersuara. "Puas saya tadinya nyemprot dia, Bu Lastri," ujar Sukma mengenang keberhasilannya tadi. "Ngeri lihat Sukma tadi, Besan. Saya aja nggak nyangka," timpal Mukta menyakinkan. "Penasaran saya pengen lihat aksi bu Sukma," kekeh Lastri. "Telat. Tadi nggak mau ikut, sih. Padahal kalau ada yang rekam bagus ya, Teh?""Iya, bisa
Hari ini adalah hari kedatangan Fatima, dari semalam Aylin sudah sangat tidak sabar menanti bergantinya hari, yang akan membawanya bertemu dengan Fatima setelah mereka terpisah jauh. Fatima tentu saja bahagia, mendengar dan melihat kebahagiaan anaknya di negeri tempat Aylin tinggal sekarang, ternyata pilihannya memohon penuh pengharapan pada Tuhan agar Aylin dan Aji berjodoh, sangatlah tepat. Anaknya menikah dengan seorang lelaki baik, dengan keluarga baik-baik, dan terhormat pula. Dari tempatnya berdiri sekarang, Aylin terus melongokkan kepalanya ke arah pintu kedatangan luar negeri, mencari sosok Fatima atau Emir dari sekian banyaknya penumpang yang beberapa saat lalu telah mendarat. Hingga senyuman di bibir Aylin melebar, begitu kedua sosok itu terlihat, dengan menggoyangkan lengan Aji yang belum menyadari kedatangan Fatima dan Emir. "Sayang! Sebelah sana! Itu mama dan paman!" tunjuk Aylin ke arah sebelah kiri. "Mama! Paman! Sebelah sini!" serunya memanggil Fatima dan Emir denga
Mobil mulai berbelok menuju ke jalan rumah Tirta, lokasi tempat pesta sudah mulai dipasangi tenda, Aylin pun kembali menerangkan pada paman dan ibunya, sedang Aji menyapa ramah orang-orang yang kebetulan menoleh, dan melihatnya dari kaca mobil yang terbuka. Hingga kemudian mobil pun memasuki pekarangan rumah besar, yang sama sudah dipasang tenda seperlunya. "Sudah sampai," ujar Aji begitu Engkos mematikan mesin mobil. Dari dalam rumah, Tirta, Denni, Sukma, dan Mukta keluar untuk menyambut kedatangan besan mereka, besan yang kalau ingin berkunjung harus memerlukan banyak rupiah, juga waktu yang cukup panjang agar bisa saling memandang langsung. Fatima menyusul Aylin turun, dia melihat sekeliling tempatnya berdiri. Dia semakin merasa kecil saja, terbukti sudah keluarga Subrata bukan orang sembarang di desanya. "Selamat datang, Ibu Fatima," sambut Sukma pada Fatima begitu Aylin mengajak ibunya naik ke teras. "Selamat datang di Indonesia." Tirta pun menyapa ramah, bersalaman dengan E
"Eh, kenapa?" tanya Nurul seakan enggan menyebut nama Rara, sungguh Rara tidak mengerti kenapa Nurul seakan begitu membencinya, kalau soal kejadian tempo hari, rasanya tidak mungkin, karena Mr. Jang pun yang waktu itu marah pada Nurul, sudah bersikap biasa lagi pada leader Rara tersebut. "Ini, Teh. Rara ... mau ajukan izin tidak masuk kerja lusa. Saudara ada yang mau nikah. Apa boleh?" ujar Rara dengan was-was, tak ingin angin segar yang Desi berikan tadi, justru menjadi angin puting beliung yang akan menggulung semua harapannya, lalu menghempas kuat semua itu sampai hancur. Ngeri! "Saudara kamu kan yang nikah?" tukas Nurul tak bersahabat. Dia senang bisa balik menyerang Rara dengan kekuasaannya. "I-iya, Teh." "Terus kalau kamu nggak ada, pernikahan saudara kamu batal? Acaranya diundur?" sarkas Nurul membuat mata Rara perlahan memanas. 'Tahan, Rara.' "Ya, E-enggak, Teh." "Kamu masih baru. Masih di tahap masa training. Harusnya sadar diri, belum bisa mengajukan permintaan izin
"Iya, Rara, Bawel. Ini aku udah bangun, nanti aku makan abis sholat.""Ya harus. Eh, ibu sudah menghubungi kamu belum, kalau lusa a Aji mau ngadain resepsi?" "Iya, ada," jawab Robi yang kini merubah posisinya menjadi duduk, ponsel dibiarkan begitu saja hingga hanya menyorot pada langit-langit. "Ih, Robi, yang bener kameranya! Masa aku lihatin langit-langit kamar doang," protes Rara. "Apaan sih, Ra? Emang kamu nggak bosen liatin wajah ganteng aku?" kamera kembali bergoyang, hingga kemudian Robi yang tengah menguap lebar terlihat jelas oleh Rara. "Tutup mulutnya kalau nguap, Robi! Itu setan pada masuk!" geram Rara mengingatkan Robi. "Lupa, Ra." "Aku udah izin buat lusa, kamu gimana?" "Aku gimana besok saja. Mau bilang dulu sama leader aku.""Oh, ya udah. Aku juga mulai besok kerja non shift. Jadi besok langsung pulang." "Oh, gitu? Enak dong." "Iya. Udah dulu, ya? Yang lain mulai pada datang. Kamu bangun, terus sholat." "Iya bawel!" Klik! Sambungan video Robi putus begitu saj
Teeet ... Teeet! Hati Rara semakin gundah saat bel tanda waktu pulang sudah berbunyi, namun kerjaannya masih belum selesai juga. Dia sempat melihat Nurul tadi, namun wajah tak bersahabat mantan leader-nya itu membuat Rara malas untuk menyapa. "Duh, Teteh, udah pulang tapi kerjaan belum beres. Gimana ini?" adu Rara sedih pada Desi, dia sudah yakin akan ketinggalan jemputan kalau begini. "Sabar ya, Ra. Maaf aku nggak bisa bantu sampai selesai. Aku ada acara, nanti tunggu oppa datang saja, mungkin dia lupa kalau kamu mau pulang setelah ini. Ya?" Desi memenangkan, dia memakai tasnya dan bersiap untuk segera pulang. "Iya, deh nggak apa-apa. Makasih tadi sudah dibantuin." Rara menjawab pasrah. "Aku pulang, ya? Semangat! Kalau Nurul judesin kamu, abaikan saja. Ya?" pesan Desi melirik ke arah Nurul. "Sip, Teh. Makasih." Desi mengangguk, aku melangkah keluar dari ruangan QC. Lee berjalan cepat, tadi dia menyiapkan dulu baju dan semua keperluannya. Mobil yang akan dia pakai sudah terpar
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"