Dan ternyata benar. Arya yang dimaksudkan oleh dokter Santi adalah Arya Sena Subrata. Namun hatinya merasa tercubit dengan tanggapan Arya atas pertemuan kembali keduanya, Arya hanya bersikap datar seperti ciri khasnya ... dulu. "Mari, Bu Santoso," ajak dokter Santi saat kembali Metha hanya menatap Arya yang memasuki kamar perawatan Seruni, setelah kedua box bayi yang berisi bayinya masuk lebih dulu. "Ah, i-iya, Dok. Mari," gagap Metha, lalu mulai melangkah mengikuti dokter Santi. "Maaf, Ibu mengenal pak Arya? Maksud saya, lelaki tadi, ayahnya si kembar?" "Iya. Saya mengenalnya. Sangat," jawab Metha dengan pikiran mengembara ke masa yang telah terlewat berpuluh tahun lamanya. "Oh, begitu." dokter Santi hanya mengangguk, dia sudah cukup mengerti dengan jawaban Metha, tanpa harus bertanya yang lainnya. Bukan ranahnya ikut campur urusan pemilik klinik itu. Kedua suster yang mengantarkan bayi tadi sudah keluar, dokter Santi dan Metha tanpa harus mengetuk pintu lagi langsung masuk, d
Metha geram sendiri, niatnya untuk menunjukkan pada Arya siapa dia kini, gagal sudah. Dengan sedikit menghentakan kaki, Metha memasuki ruangan pribadinya, bahkan asistennya sendiri tidak diberikan kesempatan untuk masuk menyusulnya.Brak!Pintu dihempas dengan kasar. Dokter Santi dan Gina, asisten Metha, saling pandang tak mengerti. Namun kembali bingkai kayu itu terbuka dengan cepat."Siapkan kamarku, Gina! Kita menginap di sini. Besok baru kembali ke kota," ujar Metha dan tanpa menunggu jawaban Gina, dia kembali menutup kasar pintu itu."Ba--"Brak!Gina dan dokter Santi menggeleng melihat tingkah orang yang selalu terlihat berwibawa itu, baru kali ini mereka melihat sisi lain seorang Metha yang terlihat ... labil?Tapi, untuk alasan apa? Kenapa wanita yang selalu bersikap ramah dan baik hati itu, tiba-tiba jadi seperti anak kecil yang marah karena keinginannya tidak terpenuhi?"Nyonya kamu kenapa?" gurau dokter Santi, beriringan mereka berjalan menuju mess untuk para pekerja klinik
Tok ... tok!"Selamat sore Bapak, Ibu, maaf menganggu, mau antar makan malam untuk Ibu Seruni." seorang suster masuk membawa nampan, senyuman terukir di wajahnya dengan manis."Silakan, Suster." Seruni menjawab."Sus, apa bisa si kembar di sini bersama kami?" tanya Arya setelah perawat itu menyimpan nampan di atas lemari kecil samping tempat tidur Seruni."Oh, boleh, Pak. Nanti saya akan bawakan dengan teman saya.""Dengan saya saja, Sus. Sekarang boleh?""Bisa, Pak. Mari," ujar perawat tersebut meminta Arya mengikutinya."Sayang, aku tinggal sebentar untuk bawa si kembar, ya? Kamu makan dulu, habiskan. Ya?" ujar Arya yang diangguki Seruni.Setelah membantu Seruni duduk dengan nyaman, juga meletakkan nampan berisi makanan di atas pangkuannya, Arya berjalan cepat keluar kamar, satu kecupan sempat dia labuhkan di kening istrinya sebelum melangkah tadi.Langkah Arya tersendat, saat dia melihat sosok yang tadi sempat membuatnya tak nyaman, keluar dari ruangan yang akan dilewatinya.Tatapa
"Maaf," ujar Seruni menyadari kekeliruannya. Arya hanya mengangguk. "Selamat malam, Ibu. Bagaimana keadaannya?" sapa dokter Rudi ramah, Arya sudah duduk di tepi brankar. "Alhamdulillah, sehat, Dok," jawab Seruni menatap sekilas pada dokter Rudi. "Alhamdulillah, apa ada keluhan? Bapak bilang Ibu minta pulang, ya?" tanya dokter Rudi dengan menjaga jarak. "Iya. Apa bisa, Dokter?" "Kalau Ibu tidak ada keluhan, boleh. Tapi kita periksa dulu, ya? Si kecilnya masih mimik itu?" tanya dokter Rudi dengan senyum yang tak lepas tersungging. Arya menghela napas panjang, tak nyaman juga ternyata dengan adanya dokter lelaki itu. Untung saja saat persalinan, dokter Santi yang sedang bertugas. "Sebentar, Dok." Seruni mencoba melepaskan bibir bayinya, dan nampaknya memang si kecil hanya iseng saja, hingga dengan mudah Seruni berhasil melepasnya. "Sudah selesai, Dok." "Suster, tolong diambil bayinya," ujar dokter Rudi, sang perawat pun dengan patuh mengambil bayi yang berada dalam gendongan ibun
Dua puluh tahun yang lalu. Arya sesekali menatap ke luar, pada jendela kaca tempatnya menunggu. Dua orang yang ditunggunya, belum juga menunjukan tanda-tanda mereka akan tiba. Namun Arya dengan sabar menunggu, menghitung detik hingga menit berlalu, untuk memberitahukan pada Metha siapa sebenarnya dia. Ah, sungguh dia sudah tidak sabar dengan reaksi yang akan ditunjukan Metha, atas pengakuannya nanti. Pasti gadis yang sudah disukainya selama ini akan kaget, sambil menutup mulutnya tak percaya, lalu memekik girang seraya berkata, "Kamu tidak bohong kan, Arsen?" Arya sangat menyukai panggilan Metha untuknya. Arsen. Manis sekali bukan? Ya, seperti itulah Metha-nya. Semanis itu. Arya menunduk menyembunyikan senyuman juga rona merah yang tiba-tiba saja ingin terus terukir di wajahnya, dia takut orang yang melihatnya akan menganggap dia gila karena terus tersenyum sendiri. Perasaan cinta diam-diam yang dirasakannya pada Metha, hari ini harus diungkapkan, dan Arya tahu kalau Metha juga m
Dia telah salah menilai kepribadian gadis itu ternyata. Selama mereka bersama, tidak pernah sekalipun Metha meremehkan dirinya yang menyembunyikan kebenaran tentang keluarganya. Semua teman kuliahnya tahu di seorang anak petani, yang hanya datang ke kampus dengan angkot, atau kadang berjalan kaki dengan alasan olah raga. "Baiklah aku pergi. Maaf dan terima kasih banyak untuk semua yang sudah kita lewati--" "Pergilah! Tak perlu banyak bicara," desis Arya yang menjadi sangat muak melihat wajah cantik Metha. "Aku akan kirimkan undangan pernikahan aku nanti, Arsen. Setelah wisuda, aku akan langsung menikah dengan dokter Santoso," papar Metha dengan penuh rasa bangga. "Tidak perlu. Karena aku tidak akan datang. Aku akan langsung kembali ke kampung untuk menjadi petani, tak ada waktu untuk menghadiri pernikahan seorang Metha Julia, SE dengan dr. Santoso yang terhormat," sindir Arya pedas. Ada yang berdesir sakit dalam hati Metha, tapi dia jelas tidak salah pilih. "Jangan sampai kamu m
Si kembar seakan menjadi magnet yang menarik siapa saja untuk berebut menggendong atau mengagumi keduanya. Sukma dan Mukta jelas yang punya kuasa menggendong keduanya. Tatapan takjub akan penerus keluarga mereka, tersirat jelas dari mata kedua istri Trah Subrata tersebut.Tirta dan Denni terpaksa harus puas dengan hanya sebentar menggendong kedua sosok mungil itu, karena kedua perempuan tercinta mereka memilih membawa si kembar duduk di ruang TV, agar leluasa menimang bayi yang baru berumur satu hari itu.Rasa lelah dari perjalanan panjang semalam, seakan tidak berdampak sama sekali, bahkan menjadi obat dari rasa letih tersebut.Cahaya yang baru bertemu kembali dengan suaminya setelah hampir seminggu berpisah, sedikit manja dengan tidak mau jauh dari sisi Raja. Danu, Dhaka, dan Aruna memilih bermain di kolam belakang rumah, daripada bergabung dengan para orang tua. Dengan Zahra yang menjadi pendamping mereka tentunya. Seruni duduk bersandar dengan senyuman yang terus terkembang. Last
"Dan aku ingin semua orang di desaku, juga keluarga besarku yang lainnya juga tahu, secantik apa istri dari seorang Aji, menantu bungsu dari Keluarga Subrata," lanjut Aji secara tidak langsung meminta Aylin agar tidak melupakan kesepakatan mereka sebelum menikah, bahwa istrinya itu akan dengan ikhlas mengikutinya kemana pun memilih tinggal nanti, dan kembali ke Indonesia adalah keputusan final dari Aji, dengan atau tanpa Fatima ikut bersama mereka. "Iya. Semoga mama bisa ikut bersama kita." "Aku harap kamu ingat dengan semua kesepakatan kita, Sayang. Dengan atau tanpa mama, kamu akan pergi bersamaku ke negaraku," tandas Aji tanpa menatap istrinya, memilih memasukan roti tawar yang sudah dilapisi selai strawberry buatan Aylin. Aylin menyimpan ponsel Aji, menatap suaminya yang seakan tengah memberikan perintah tak terbantah. "Ya, tentu," jawab Aylin pasrah. "Kita sudah membahasnya, dan keputusannya tentu kamu sudah tahu, Sayang." Aji menatap istrinya yang menunduk, bukan tak merasa
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"