"Bu," Seruni menyapa Lastri yang mengusap kepalanya. "Maafin Runi ya, Bu. Maafin kesalahan Runi," lirih Seruni menahan air matanya."Sudah, yang sabar. Kamu nggak pernah punya salah sama Ibu, kamu selalu jadi anak terbaik Ibu," jawab Lastri, dikecupnya kening Seruni."Terima kasih, Bu, bapak mana?" "Bapak nanti nyusul, Sayang," jawab Arya menyela. "Kamu sudah makan, Runi?" tanya Lastri. "Tadi sudah sarapan, Bu. Sshht," desis Seruni saat merasakan lagi kontraksi yang semakin rapat terasa. Melihat itu, Arya meminta Arun untuk turun dari brankar. "Arun sayang, Arun main sama bi Zahra, ya? Kasian ibu. Bisa?" Aruna menatap wajah ibunya yang meringis, lalu dengan cepat mengangguk. "Iya, Ayah." Arun beranjak bangun, dia mendekatkan kepalanya ke perut Seruni. "Dedek bayi, jangan bikin ibu sakit, ya? Cepet keluar, nanti main sama kakak Arun," ujarnya sambil mengusap sayang perut ibunya, lalu segera turun setelah mencium pipi Seruni. "Arun sayang Ibu." Semua orang yang melihat itu terse
"Kalian ke kamar saja, biar lebih leluasa," ulang Fatima, tanpa menatap anak dan menantunya yang kini menunduk malu, disimpannya nampan yang dia bawa di meja ruang tamu. "Tapi kalau mau nyicip kue dulu juga boleh," tambahnya lagi. Aylin mengangkat kepala, menoleh pada Aji yang mengulum senyum meski dia juga nampak salah tingkah. Tak nyaman ternyata terpergok mertua sedang mengisengi anaknya, meski mereka sudah sah juga. Aylin mendengus sebal melihat Aji malah mengedipkan sebelah mata, lalu dengan gerakan kepala, memberinya kode agar mereka ke kamar saja. "Emm, Ma! Ini tadi Aylin--Emm, Seta sih, maksudnya. Tadi Seta beliin baju buat mama sama bibi, buat paman juga. Coba dilihat, apa pas untuk kalian," kata Aylin, yang baru teringat dengan hadiah yang dibeli untuk ibu dan juga paman dan bibinya. Mengalihkan rasa malu oleh sebab iseng suaminya. "Wah, kok repot-repot sih, Seta." Fatima menerima beberapa paperbag yang diangsurkan Aylin, mengintip sedikit isinya pada hadiah yang kata Ay
Sementara Seruni sudah masuk ke ruang bersalin, pembukaan semakin sempurna. Bahkan dia siap mengejan untuk mengantar satu persatu anaknya ke dunia. Dokter bilang kondisi Seruni sangat fit, untuk melahirkan anak kembar mereka secara normal. Arya terus mendampingi, mengusap keringat yang terus menyembul di kening istrinya, melihat perjuangan Seruni, Arya bertekad untuk tidak lagi menambah jumlah anak mereka. Cukup tiga penerus darah Subrata dari keturunannya, ada Aji yang akan menambah jumlah cucu untuk Tirta dan Sukma ke depannya. "Siap-siap mengejan ya, Bu. Jangan dipaksakan, ikuti saja seperti Ibu ingin buang air besar. Duh, udah bagus sekali ini. Siap ya, Bu. Satu ... dua ... tiga, dorong, Bu!" Aba-aba itu terdengar. Lagi Seruni mendorong sekuat tenaga, ingin segera mengakhiri semuanya dengan cepat, melihat anak-anaknya segera. "Ya, bagus! Istirahat dulu, ambil napas yang panjang. Kalau mau minum dulu boleh," lagi suara dokter dengan sabar memberikan arahan. Seruni menggeleng,
Sukma pun menurut, hingga dia menekan pengeras suara hingga semua orang bisa mendengar suara isak tertahan Arya. "A, bagaimana keadaan menantu Ayah?" tanya Tirta cemas. Arya yang mendengar suara Tirta semakin sedih saja. "Yah, doakan Seruni, Yah. Anak kami yang kedua akan lahir, tapi Seruni kelelahan." "Astagfirullah." Aylin dan ibunya mulai paham, dari mendengar kata yang semua orang ucapkan, termasuk dari bibir Aji. Sesuatu yang tidak menyenangkan tengah terjadi. Aji bahkan sempat menunduk, menyimpan rasa cemas dalam hati atas kondisi yang dialami Seruni. 'Ya Allah, tolong lindungi dia. Mudahkan persalinannya.' Batinnya mengharap Tuhan sudi mengabulkan doanya, seseorang yang berlumur dosa, yang masih menyimpan rasa pada istri kakaknya. Meski sudah bisa dia lanjutkan hidup, dengan membuka hati untuk sosok lainnya, sosok yang kini dia tatap untuk kembali menumbuhkan rasa cinta agar semakin subur dan besar. "Yang sabar, Arya. Kami bantu doa. Semoga Allah memudahkan persalinanny
"Ada nyonya boss," ujar mereka dengan sigap merapikan tempat kerja masing-masing. Bahkan dokter Santi yang sudah selesai membantu proses persalinan Seruni, segera keluar dari ruangannya. "Bu Santoso datang ya, Sus?" tanya dokter Santi pada perawat. "Iya, Dok. Masih di depan," jelas suster menunjuk ke arah bagian depan. "Ruangan beliau sudah siap? Ini datang bilang dulu atau nggak tadi?" "Sidak, Dok. Atau mungkin nggak niat datang tapi sekedar mampir. Tapi ruangan beliau selalu dibereskan kok, jadi sudah siap," terang perawat menjelaskan, dokter Santi pun mengangguk. Hingga suara hentakan sepatu dengan lantai terdengar, mengiringi sosok seseorang yang tadi Soleh dan yang lainnya lihat di depan. "Selamat datang, Bu Santoso," sapa dokter Santi ramah. "Wah, Dokter Santi yang sedang bertugas ternyata," balas seseorang itu tidak kalah ramah. "Iya, Bu, kebetulan.""Iya-iya ... apa kabar semuanya, sehat?" sapanya lagi pada semua yang sedang ada di sana. "Alhamdulillah sehat, Bu." mere
Rara masih menunggu kedatangan Lee, dari pagi manajer QC itu tidak juga menampakkan diri. Dari cerita beberapa orang karyawan, Lee saat ini tengah ke kantor pusat untuk membuat laporan. Padahal Rara sampai memilih ambil lemburan agar bisa mengembalikan, sekaligus mengambil buku miliknya juga. Namun hingga jarum jam bergeser satu jam dari waktu kepulangan normal, Lee masih juga belum datang. Rara melanjutkan pekerjaan, sesekali melihat pada pintu masuk ruang QC, berharap Lee muncul dari sana. Tadi Desi sempat menegurnya karena Rara tidak membawa buku, alasan itu yang dia berikan saat Desi menanyakan kemana bukunya. Lupa bawa. Padahal bukan itu hal yang sebenarnya. Rara ikut lembur dengan alasan mau belajar dengan fokus, karena kalau sambil bekerja, tentu pikirannya terbagi dua dengan target bagian kerjanya. "Eh, anak baru, ya?" tanya seseorang yang masuk ke ruang QC membawa sample barang. "Eh, iya, A," jawab Rara sopan. "Panggil aku Mawar. Bukan nama sebenarnya," ujarnya membuat R
"Mau, Oppa. Rara mau!" kata Rara antusias."Ehem! Baiklah. Sekarang coba kamu buka buku kamu, coba pahami yang sudah aku tulis di sana."Bahkan Lee pun sudah mengganti panggilan formal untuknya pada Rara, sedang pada yang lain dia selalu menggunakan kata saya. Entahlah, Lee juga bingung sebenarnya. Kenapa bisa dia begitu cepat tertarik, pada gadis yang terlihat polos di depannya ini.Atau langsung saja Lee mengatakan kalau dia menyukainya Rara? Apa itu tidak akan dianggap terlalu lancang?Apalagi dia pendatang, orang asing. Apa tidak menimbulkan kesan buruk untuknya? Dan akhirnya Rara malah kurang menghormatinya nanti. Ah, pusing! Rara mengikuti perkataan Lee, dibukanya lembaran kertas yang Lee maksud, dan memang benar ada banyak tulisan baru di sana, jelas itu bukan hasil coretan tangannya. "Eh, iya. Ini memang yang sedang Rara pelajari, dan belum paham." Mata Rara semakin berbinar, Lee tentu saja sangat menyukai keindahan itu. "Syukurlah. Ayo, kita praktekkan langsung, biar kam
Dan ternyata benar. Arya yang dimaksudkan oleh dokter Santi adalah Arya Sena Subrata. Namun hatinya merasa tercubit dengan tanggapan Arya atas pertemuan kembali keduanya, Arya hanya bersikap datar seperti ciri khasnya ... dulu. "Mari, Bu Santoso," ajak dokter Santi saat kembali Metha hanya menatap Arya yang memasuki kamar perawatan Seruni, setelah kedua box bayi yang berisi bayinya masuk lebih dulu. "Ah, i-iya, Dok. Mari," gagap Metha, lalu mulai melangkah mengikuti dokter Santi. "Maaf, Ibu mengenal pak Arya? Maksud saya, lelaki tadi, ayahnya si kembar?" "Iya. Saya mengenalnya. Sangat," jawab Metha dengan pikiran mengembara ke masa yang telah terlewat berpuluh tahun lamanya. "Oh, begitu." dokter Santi hanya mengangguk, dia sudah cukup mengerti dengan jawaban Metha, tanpa harus bertanya yang lainnya. Bukan ranahnya ikut campur urusan pemilik klinik itu. Kedua suster yang mengantarkan bayi tadi sudah keluar, dokter Santi dan Metha tanpa harus mengetuk pintu lagi langsung masuk, d
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"