Raja terlihat sedikit canggung, namun tak urung dia keluar dari dalam kamar Arya yang ditempatinya. "Belum tidur, A?" tanya Aji seraya melangkah mendekat. "Belum, Ji. Panas!" ujar Raja dibuat sesantai mungkin, melangkah ke kursi di depan TV. Kening Aji mengernyit heran, dia ikut menyusul Raja duduk. "Panas? Nggak salah?" tanya Aji menatap kakak sepupunya itu heran. Memang benar, titik keringat jelas terlihat di dahi Raja, bahkan napas Raja juga sedikit memburu. Aji mendengus geli, otak lelaki dewasanya tentu bisa menebak apa yang menyebabkan Raja kepanasan, di hawa dingin pegunungan tempat tinggalnya. "Perlu di ruqyah sepertinya kamar si aa Arya. Masa sedingin gini bikin yang nginep kepanasan?" ujar Aji membuat Raja salah tingkah, dia salah membuat alasan ternyata. Tapi tentu saja dia tidak akan mengaku begitu saja. "Iya, seperti begitu lah, Ji!" Aji mencebik, "Panas sampe keringetan sebadan-badan," sindirnya. "Hahaha!" Raja pun tergelak, percuma juga membohongi Aji yang tent
Hari berganti, semburat keemasan mulai mewarnai bumi, suara burung yang hinggap dengan lincah, terdengar. Memberi tahu, kalau hidup terlalu indah hanya untuk menangisi dan menyesali ketidakberutungan diri, setiap detik begitu berharga untuk terus menoleh masa lalu yang semakin tergerus waktu, tertinggal dan semakin jauh tak terjangkau.Suasana kediaman Tirta sudah ramai oleh suara sorakan Danu dan Dhaka, yang memberikan semangat pada papa mereka saat bermain bola dengan Aji. Cahaya pun tak luput dalam kehebohan kedua anaknya, bertepuk tangan atau sesekali terlihat gemas, saat gol gagal Raja lesakan ke gawang milik Aji.Para tetua berjemur santai di beranda bagian samping rumah, di mana dari sana matahari dengan leluasa menyorotkan hawa hangatnya. Halaman yang luas itu seakan semakin meriah, ketika Aji meminta Asep yang baru selesai menyiram pohon dan bunga di sekitar rumah, untuk bergabung menjadi timnya melawan Raja."Sep, sini gabung!" Tentu saja pendukung Raja tidak setuju dengan
Meninggalkan rumah Tirta, Rara melajukan motornya perlahan kembali ke rumah Soleh.Berkali-kali menghembuskan napas panjang, Rara mencoba menghibur diri.'Ah, andai ada Robi.' Rara jadi merindukan saudara serahimnya itu.'Pulang, Bi! Aku nggak ada teman cerita.' Rara membatin, memanggil nama Robi dengan harapan ikatan batin keduanya, bisa menarik Robi datang.Motornya terparkir di depan rumah, dengan kembali menenangkan diri, Rara melangkah masuk dengan mengucapkan salam dengan riang, seperti biasanya yang dia lakukan."Assalamua'aikum, Ibu!""Wa'alaikumussalam." Lastri yang tengah membereskan rumah langsung menjawab. "Kok, balik lagi? Aruna sama siapa, Ra?" tanya Lastri saat Rara sudah menghempaskan dirinya di kursi depan TV, dan meraih remote lalu menghidupkannya."Arun sudah ada pengasuh baru, Bu. Lagian hari ini kan libur, tanggal merah, jadi Rara bebas! Hehehe," jawab Rara tanpa menoleh pada ibunya, tak ingin sesuatu yang coba dia sembunyikan terbaca."Ya, nggak apa-apa di sana
Aji baru bisa mengecek ponselnya setelah dia selesai mandi, olahraga ringan yang tadi dilakukan bersama, cukup membuat dia berkeringat. Pertandingan tak direncanakan itu, membuahkan kemenangan untuk timnya dengan Arya dan Asep. 7 - 4 skor mereka tadi. Dan tidak disangka, Tirta memberikan hadiah pada semua pemain, dengan memberi uang masing-masing dua ratus ribu. Tentu saja itu membuat girang Asep, Bara, dan Ade. Bahkan Zahra juga mendapatkannya, meski dia hanya diam sambil mengawasi Aruna yang sibuk berteriak sambil melompat-lompat.Aji sempat merasa heran juga, saat tidak melihat Rara di antara para penonton pertandingan tadi, padahal kemarin di jam yang sama Rara sedang mengasuh Aruna. Apa karena sudah ada Zahra jadi Seruni memberhentikan Rara?Jempol Aji dengan lincah memeriksa dan membalas satu persatu pesan masuk, di aplikasi pesannya. Sebagian besar dari teman kantor yang menanyakan kabarnya setelah sampai di tanah air. Hingga sampai pada nama Aylin, yang mendapat giliran untuk
"Ada apa, Wa?" tanya Aji begitu dia sampai di depan Denni, ada Tirta dan Arya juga di sana, para wanita sedang menikmati semilir angin di gazebo belakang, yang mulai mengantarkan hawa panas, seiring dengan naiknya sang raja siang ke puncak tertinggi menguasai hari. "Duduk, Ji!" titah Denni, Aji pun duduk di dekat Arya, berhadapan langsung dengan Denni, terhalang meja kayu yang di atasnya ada jamuan teman mereka ngobrol. "Uwa selepas ashar mau pulang, Ji." ''Loh, kok pulang, sih?" tanya Aji tampak keberatan dengan rencana Denni. "Katanya kangen sama Aji? kita kan belum ngobrol banyak, Wa," lanjutnya. "Kangen lah, Uwa memang masih kangen sama kamu, Ji. Tapi Khadi mau datang sore atau malam ini. Ada acara nikahan sepupunya Farhat minggu depan, itu juga dia datang cuma sama anak-anak duluan, Farhat nyusul," terang Denni membuat Aji mengangguk memaklumi niatan Denni untuk pulang. "A Raja juga pulang?" tanya Aji menoleh pada Raja. "Iya, Ji, Aa juga pulang. Kan besok Danu sekolah, persi
"Iya, Wa, nanti Aji coba main ke Bandung buat nemuin teh Khadi, sekarang belum berani kemana-mana, mungkin setelah semingguan baru bepergian jauh. Kalau tadinya mau ke Bandung secepatnya kan karena niat ngunjungin Uwa, tapi malah keduluan," ucap Aji tak bisa langsung memutuskan. "Pakai mobil, Ji. Diantar sama Ade atau Engkos kalau mau kemana-mana," usul Tirta, melihat Aji seakan membuka diri untuk bertemu dengan gadis yang dibicarakan kakaknya tadi. "Kan mang Ade sibuk sama aa Arya. Mang engkos sibuk jadi asisten ayah. Aji nggak mau ganggu. Pake motor belum berani.""Nyetir sendiri atuh, Ji, mobil ada." Raja kembali menyela. "Nggak bisa nyetir, A! hehehe." Aji tertawa. "Eh, seriusan kamu nggak bisa nyetir?'' tanya Raja kaget. "Serius!" "Nanti Aa ajarin, Ji," ujar Arya. "Nah, bener itu. Ajarin sama Arya saja, atau ke kursus menyetir sekalian, seminggu juga kayaknya bisa deh kamu, Ji. Gamang, kok. Apalagi sekarang banyak yang matic. Dapat SIM lagi kalau belajar lewat kursus." Raja
Roni merasakan gugup sekarang, di depannya kedua orang tua Karin tengah menunggu apa yang akan disampaikan lelaki itu, setelah kemarin malam Karin bilang kalau ada yang ingin bertemu mereka. Meski sudah berharap, kalau kedatangan lelaki yang sudah dikenal baik keduanya, adalah satu hubungan serius untuk Karin.Di sebelah ibunya, Karin pun merasakan gugup, tangannya mulai dingin menunggu suara Roni keluar.Seperti ini kah rasanya dilamar? Itu baru Roni saja yang datang, bagaimana kalau semua anggota keluarga kekasihnya yang berkunjung?"Ayo, diminum dulu, Nak Roni." Yani--ibu Karin, mengurangi kegugupan yang mungkin dirasakan Roni, dengan menawarkan jamuan."Oh, I-iya, Bu." Roni mengikuti perkataan Yani, diambilnya gelas berisi air teh hangat di depannya. Rasa hangat langsung menjalari perut, sedikit membuatnya merasa nyaman."Ada apa, Nak Roni? Karin bilang ada yang ingin Nak Roni bicarakan sama bapak," tanya Zaenal membuka percakapan.Roni membetulkan duduknya, mengusap keningnya yan
"Neng!" panggil Soleh begitu kedua anaknya sudah pergi. "Kenapa, A?" tanya Lastri mendekat setelah mengunci pintu. "Duduk sini coba, deketan!" Soleh menepuk ruang di sebelahnya. Dengan patuh Lastri pun duduk di sana. "Kaki Aa pegal? Sini, biar Neng pijitin," ujar Lastri yang menyangka Soleh ingin dipijat. "Enggak, kaki Aa baik-baik saja. Cuma mau nanya aja sama Eneng," tolak Soleh meraih tangan Lastri yang akan menyentuh kakinya. ''Jawab yang jujur tapi, ya?" tambahnya menatap lembut wanita yang kini menatapnya balik. Lastri sudah bisa menebak pasti Soleh akan menanyakan tentang sikapnya. "Memangnya Eneng pernah bohong sama Aa?" tanya Lastri dengan sedikit takut, dia tak ingin menjelaskan apa penyebab dia seakan menjauhkan Rara dari keluarga Tirta sekarang. "Nggak pernah, Neng nggak pernah bohong. Tapi kadang ada yang Neng sembunyikan dari Aa, Neng simpan sendiri apa yang menjadi ketakutan yang tengah Neng rasakan, tanpa mau membaginya," ujar Soleh dengan lembut. "Ada apa?" lanj
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"