Aruna berlari menuju keluar rumah, saat mendengar suara pagar yang digeser, diikuti klakson yang ditekan Arya berulang. Sambil melompat-lompat melihat kedatangan mobil ayahnya, si kecil yang memiliki rupa persis dengan Arya itu, berteriak memanggil ayahnya penuh kebahagiaan. Di belakangnya Seruni perlahan menyusul, untuk menyambut kedatangan suaminya. "Ayah pulang! Ayah pulang!" pekikan suara Aruna menerbitkan senyuman di bibir Arya. Tadi saat dia pergi Aruna masih tidur, entah drama apa yang terjadi saat bocah itu bangun, dan tidak melihatnya. Arya harap, Seruni tidak gegabah menggendong Aruna yang memiliki bobot tubuh lumayan berat. Meraih plastik berisi susu dan cemilan yang menjadi kesukaan anaknya, Arya keluar dari mobil kemudian. "Assalamua'aikum!" "Wa'alaikumussalam, Ayah!" jawab Arun dengan riang, sedang Seruni menjawab pelan dengan sunggingan senyum manis menyambut kepulangan sang belahan jiwa. "Bawa oleh-oleh dari Jakarta, Yah?" tanya Aruna melihat plastik berukuran se
"Jam berapa Rara pulang tadi?" tanya Arya sambil membantu memakaikan baju Seruni."Jam dua, seperti biasa," jawab Seruni sambil berupaya menghindari bersitatap dengan Arya, meski Arya bersikap seperti biasa, Seruni tahu ada kemarahan yang berusaha Arya tahan, karena tidak patuhnya dia atas peringatan dari suaminya."Kenapa tidak kamu minta tunggu sampai aku datang? Kan aku sudah bilang sedang di jalan menuju pulang." Arya merapikan kerudung Seruni sebagai sentuhan akhir."Runi--""Dengarkan aku, Sayang ... aku bukan marah sama kamu, tapi aku kecewa karena kamu tidak mendengarkan apa ucapanku. Aku khawatir. Sangat khawatir. Yang sedang kamu kandung sekarang dua bayi, aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu, sama mereka," kata Arya yang menyadari Seruni merasa takut padanya.Seruni mengangguk, menatap mata Arya yang jelas menggambarkan kecemasan di sana. Memeluk Arya sebagai ungkapan permintaan maafnya, Seruni menjawab semua kekhawatiran Arya."Runi mengerti, tapi tadi pagi Arun nangis
"Wah, senangnya. Terus soal pengasuh Arun?""Ya nggak ada, cuma kalau untuk antar jemput sekolah, ada Rara adiknya Seruni."Aji mengangguk, memutar otak mengingat nama adik Seruni yang disebut Sukma. Tapi dia tidak bisa mengingatnya sama sekali."Harusnya emang punya pengasuh khusus, biar nggak repot. Apalagi sebentar lagi ada dua bayi. Berapa bulan memang kehamilannya?" Aji menunjukkan kepeduliannya. Tulus. "Tujuh bulan kalau tidak salah." Aji mengangguk. "Kamu kalau mau istirahat ke kamar saja, Ji. Pasti capek," ujar Tirta menyela."Iya, Yah. Gampang, nanti kalau capek Aji istirahat.""Terus sekarang kita gimana, Yah?" tanya Sukma."Apanya, Bu?""Iya, itu Seruni. Ibu jadi kepikiran.""Tunggu kabar dari si aa saja, mudah-mudahan tidak ada masalah serius."Aji menatap Sukma dan Tirta yang tampak jelas sangat menyayangi Seruni. Betapa hidup Seruni dilimpahi kasih sayang, dan perhatian oleh kakak dan orang tuanya, tak ada celah untuknya mencari alasan tidak bahagia Seruni dalam hidup
Tirta dan Sukma beranjak bangun dari duduknya untuk menyambut kedatangan besan mereka, di belakangnya Aji menyusul untuk menghormati orang tua Seruni. Suara salam terdengar begitu ketiganya sampai di ruang tamu yang di sana sudah ada Soleh, Lastri, dan Rara."Assalamua'aikum, Pak, Bu," sapa Soleh pada besannya."Wa'alaikumussalam, Pak Soleh, Ibu," jawab Tirta dan Sukma.Mereka bersalaman dengan Rara yang diam-diam mencuri tatap pada Aji yang berdiri di samping Tirta."Sehat-sehat semua, ya? Pak, Bu? Rara, gimana kabar?" tanya Tirta pada Rara yang lalu tersenyum malu, merasa terpergok oleh Tirta."Alhamdulillah sehat, Juragan Ayah," jawab Rara tersipu. "Ibu Aden sehat?" tanyanya pada Sukma yang langsung tersenyum."Alhamdulillah sehat, Ra," ujar Sukma mengusap lengan adik Seruni tersebut.Aji sedikit kaget dengan panggilan Rara untuk kedua orang tuanya.Juragan ayah, Ibu aden. Lucu, bahkan dengan melihat sosok Rara saja Aji sudah merasa senang, dan seakan sudah bisa menebak seperti apa
Sementara Arya sedang menunggu hasil pemeriksaan Seruni. "Bagaimana keadaan istri dan anak saya, Dok?" "Semua baik-baik saja, Pak Arya, Ibu. Jangan banyak pikiran, Bu, nggak boleh stres. Ini seperti Ibu sedang ada pikiran yang membuat perutnya sedikit kram, Ibu hamil harus gembira, harus nyaman. Ya, Bu?" ujar dokter Dewi setelah semua proses pemeriksaan Seruni selesai, menuliskan resep vitamin agar Seruni lebih bugar.Arya menoleh pada Seruni yang mengangguk mendengar perkataan Dewi. Stres? Apa yang menyebabkan istrinya itu banyak pikiran? Sedang minggu lalu saat periksa, dokter tidak mengatakan hal seperti itu."Pak Arya lebih diperhatikan lagi istrinya, biar ceria lagi. Kalau ada yang kurang menyenangkan sebaiknya Ibu sampaikan pada Bapak, biar nggak jadi beban pikiran ya, Bu?" lagi perkataan Dewi membuat Arya tak mengerti, karena setahunya Seruni baik-baik saja. Namun dia mengangguk menganggapi penjelasan Dewi, saat pulang nanti dia akan meminta penjelasan pada istrinya."Baik, D
Arya mendesah pelan, dia menyerah untuk memaksa Seruni bicara jujur. Sangat tidak mungkin. "Ya sudah kalau memang tidak mau bilang. Hanya saja aku minta sama kamu, Sayang, saat kamu siap untuk membagi apa yang menjadi kekhawatiran dan pikiran kamu, ada aku yang akan siap selalu mendengarkan semua keluhanmu. Atau ... kamu ada keinginan?" Lagi Seruni menggeleng. "Baiklah, susunya diminum dulu, aku mau ngabarin ibu soal kondisi kamu, pasti ibu sangat khawatir," ujar Arya. "Ayah sudah makan?" tanya Seruni yang baru ingat sejak Arya kembali dari menjemput Aji, dia belum melihat suaminya makan. Begitu juga Arya yang seakan baru menyadari kalau dia belum mengisi perut sejak siang tadi, selain makanan ringan yang dibawa Sukma sebagai bekal di perjalanan. Pantas saja dia merasa perutnya perih. Mengkhawatirkan keadaan Seruni, dia jadi lupa menelan makanan untuknya sendiri. "Belum," kata Arya yang membuat Seruni merasa bersalah, karena terlalu sibuk mengurusnya Arya jadi mengabaikan keseha
Aji memindai semua isi kamarnya. Semua masih sama dengan saat dia pergi dengan kemarahan atas kebenaran yang terungkap. Inisial namanya dan Seruni, masih menempel di tembok di bawah photonya saat masih duduk di bangku SMA dulu, juga di pintu depan kamarnya. AS--Aji dan Seruni. Sangat jelas, namun tak seorangpun dari keluarganya tahu, kalau itu singkatan namanya dengan Seruni. Bukan dari inisial namanya sendiri, Aji Seta. Terlalu rapi bukan? Semua tertipu dengan nama itu. Aji tidak pernah tahu, kalau Seruni pernah menangis tersedu di dalam kamar mandi miliknya, menatap Inisial nama mereka dengan hati tercabik merasa telah berkhianat, terus meminta maaf saat melihat photonya yang tergantung di sana. Semua tersimpan rapi dalam balut rahasia yang Tuhan kemas agar tak terungkap, hanya mereka berdua, dan kamar itu yang menjadi saksi. Bisu. Dan selamanya akan tetap membisu. Jemari Aji bergetar, menyentuh huruf yang disandingkan dengan huruf pertama namanya. Dia ingat, saat dia menempel h
Rara melajukan motor matic-nya menuju rumah Seruni, membawa rantang berisi semur ayam, dan perkedel jagung buatan ibunya untuk diberikan pada kakak perempuannya itu. Udara segar menyambut, hembusan angin menerpa wajahnya, dingin. Namun menyejukkan. Melewati jalan yang menuju ke arah rumah Tirta, Rara jadi teringat dengan peringatan dari Lastri agar dia tidak berusaha akrab dengan Aji. Ingin bertanya alasan dari ibunya kenapa berkata begitu, namun gelengan kepala dari Lastri menahan bibirnya untuk lebih lanjut bertanya. Biarlah, toh dia juga hanya kagum dengan sosok Aji, setelah mendengar kelebihan lelaki itu masa sekolahnya dulu.'Eh, suka senyumnya juga. Manis banget!' Rara terkekeh sendiri, untung dia sedang melaju di atas motor, jadi tidak ada yang memperhatikan tingkah konyolnya tertawa sendiri.Motornya berbelok begitu memasuki gang menuju ke rumah Seruni, lima puluh meter kemudian, rumah yang dituju pun terlihat. Dia mengernyit heran, saat melihat mobil Arya sudah terparkir di
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"