Dengan suara pelan Seruni menjelaskan, matanya liar memeriksa sekitar, tak ingin ada telinga yang iseng mendengar, apa yang barusan disampaikannya."Kamu yakin itu darah haid?"Seruni mengangguk tegas."Periksa deh, Runi. Biar yakin."Seruni menghela napas lelah. Sudah tiga orang yang memintanya melakukan itu. Periksa."Aku bukan nggak mau. Tapi butuh waktu. Setidaknya minimal dua mingguan deh, telatnya. Baru aku mau periksa. Aku takut kecewa sama hasilnya.""Kamu emang udah yakin siap mau hamil sekarang?" Maya semakin memangkas jarak. Pembicaraan dengan Seruni, semakin memasuki ranah yang tidak boleh orang lain mengetahuinya. "Aku pikir di sini nggak terlalu aman buat ngobrolin itu deh, Runi."Seruni melihat sekeliling, memang benar apa yang dikatakan Maya, suasana kantin makin ramai. "Iya, May. Kita bayar aja dulu. Kamu abis berapa?"Maya pun menyebutkan apa saja yang sudah dimakannya, dan seperti yang dikatakan Seruni tadi, Maya hanya dijajani bakwan dan lontong saja. Meski Maya m
"May, coba tengok dengan benar, apa noda yang dilihat Rizal itu karena darah haid aku tembus?" Seruni membelakangi Maya. Dia kurang yakin dengan apa yang Rizal lihat, karena dengan jelas saat di toilet tak ada darah haid dalam pembalut yang dipakainya.Kalau pun iya sekarang keluar, sepertinya tidak akan langsung banyak, dan luber. Sedangkan tadi dia bersikap refleks menempel ke tembok untuk menyembunyikan tubuhnya, itu karena dia merasa memang sedang menstruasi.Kini keduanya pergi ke toilet, Seruni sengaja mengajak Maya masuk untuk membantunya melihat."Mending kamu lihat dulu di dalam, Runi. Sekalian ganti juga kalau benar pembalutnya penuh," saran Maya.Seruni mengangguk setuju. "Tolong pegang tas aku dulu, ya? Sekalian sama baju Rizal." Seruni menyerahkan kantongnya dan sweeter milik Rizal yang dipinjamkan untuk menutupi bagian belakang roknya, membawa pembalut cadangan untuk mengganti kalau benar yang dipakainya dari rumah sudah penuh.Maya menatap bagian belakang rok Seruni,
Arya menoleh saat mendengar isak pelan dari sampingnya. Merasa tadi sudah terbawa emosi dengan bersikap dingin pada Seruni, apalagi melihat Seruni menangis sambil mengusap perutnya. Kekesalan Arya luntur, menepikan mobilnya untuk menenangkan Seruni yang semakin tersedu, saat menyadari dia menunjukkan sikap peduli. "Sini. Jangan nangis." Arya menarik Seruni dalam dekapan. Mengusap punggung Seruni yang bergetar dalam tangis. "Runi takut, Sayang. Runi takut! Takut kalau--" "Kita periksa. Berdoalah yang terbaik." "Runi bodoh. Ceroboh! Nggak mau dengerin saran siapapun. Sshh, aww!" Seruni mendesis kesakitan saat perutnya terasa diremas lagi. Arya mengurai pelukan, mendekatkan lagi wajahnya pada perut Seruni seperti tadi pagi, kali ini dengan hati yang semakin yakin namun cemas sekaligus. Seperti istrinya, dia juga takut. Tapi melihat Seruni yang terlihat baik-baik saja, Arya yakin tidak ada yang terlalu dikhawatirkan. "Sayang ... kalau benar kamu sudah ada, yang kuat. Bantu Ayah dan
Arya tersenyum puas, melihat dokter langganannya terbatuk mendengar penuturannya. Seruni meringis merasa kasihan dengan reaksi Ridwan atas jawaban Arya. Ridwan bahkan harus meneguk dulu air putih di dekatnya. Menatap Arya dan Seruni bergantian. Benarkah lelaki yang menjadi pasiennya selama beberapa bulan terakhir sudah menikah? Dengan gadis yang jelas terlihat sangat belia. Ah, bukan gadis lagi tentunya. Mereka datang mengaku sebagai sepasang suami istri, dan untuk memeriksakan kenapa wanita muda itu terlambat datang bulan. Ridwan mengakui elok paras Seruni, pantas saja kalau Arya mencintainya."Ehem! Maaf. Saya kaget. Saya pikir Pak Arya sedang menggoda saya tadi," jujur dokter yang dari rambutnya sudah memutih itu. "Baiklah, kita periksa dulu. Silakan berbaring, Bu."Panggilan Ridwan langsung berubah. Dia tahu betul siapa Arya dan keluarganya, dan wanita muda itu adalah istri dari Arya, tentunya dia harus menyematkan panggilan yang pantas untuknya. Arya tersenyum mendengar pangg
Seruni langsung meneteskan air mata. Apa yang dilihat dan didengarnya barusan, menegaskan kalau apa yang dia harapkan, menjadi kenyataan. Di sampingnya, Arya mengadahkan tangan dengan ucapan syukur yang terus terucap."Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah. Sayang, kita akan punya anak. Kamu hamil, Sayang." Arya menggenggam tangan Seruni erat. Andai tidak ada Ridwan yang terus tersenyum mengawasi, ingin rasanya Arya memeluk erat Seruni.Seruni mengangguk berulang. Hatinya penuh dengan kebahagiaan. Namun saat teringat kalau dia sempat terjatuh, dan perutnya sempat merasakan sakit, Seruni kembali cemas. Apa bayinya baik-baik saja?"Dok?""Ya, Bu? Ada pertanyaan?"Arya menatap Seruni yang kini terlihat serius."Tadi ... saya jatuh terduduk. Apa itu--bayinya baik-baik saja, kan?""Insya Allah, tidak apa-apa. Pada trisemester pertama, pada kandungan yang masih muda, ukuran janin masih kecil, jadi rahim masih terlindungi dengan baik oleh tulang panggul. Sehingga walaupun terjatuh, resiko m
Bi Asih berjalan di galengan sawah dengan membawa bakul nasi dan plastik hitam. Di belakangnya nampak Engkos mengekor, membawa perlengkapan lain. Mereka menuju ke saung tempat Tirta, Sukma, dan Soleh sejak tadi berada. Tirta tidak mengizinkan Soleh kembali bekerja, mereka membicarakan banyak hal di luar membicarakan tentang Seruni dan Arya, setelah sebelumnya Sukma mengatakan tentang kecurigaannya, kalau Seruni tengah berbadan dua. Soleh kaget sekaligus senang mendengarnya, dia berharap kalau itu adalah kenyataan yang sedang terjadi. Bahkan mereka juga sempat membicarakan kemungkinan apa yang harus diambil, atas keadaan tersebut sedang Seruni belum selesai sekolah. Jawaban menenangkan diberikan Tirta, agar mereka tidak usah cemas dengan itu semua. "Assalamua'aikum," salam Asih begitu sampai di saung yang khusus dibuat untuk Tirta atau Arya saat ingin datang ke sawah. Saung yang berukuran lebih besar dari beberapa saung yang ada di persawahan milik Tirta. Bahkan ada satu kamar yang
Arya menyimpan ponselnya setelah memutuskan panggilan. Seruni kembali bersandar manja pada Arya, dia tak menyangka akan sebahagia ini mengetahui dirinya tengah hamil muda. Tadi mereka menyempatkan untuk membeli susu, karena Seruni belum tahu rasa apa yang enak, Arya mengambil beberapa variant rasa untuk dicoba Seruni nanti. Lagi sorot menyelidik diterima pasangan itu saat membayar di kasir. Sepasang manusia berbeda umur membeli susu hamil. Siapa yang tidak akan memalingkan wajah tanpa curiga? Apalagi jelas terdengar panggilan sayang yang diberikan keduanya, jelas sudah kalau hubungan keduanya adalah pasangan yang saling terikat ikatan cinta. "Ibu tanya, katanya kamu mau makan apa? Nanti ibu belikan sepulang dari sawah," tanya Arya, tangannya kembali mengelus perut Seruni. Segelas susu hamil rasa coklat sudah habis diminum istrinya tadi. "Runi mau makan kari ayam yang tadi pagi," jawab Seruni saat mengingat makanan yang membuatnya menelan ludah di kampus tadi. "Masih ada?" "Kari ay
Seruni mengerjap, tidurnya terusik oleh suara printer yang sedang dipakai Arya. Meski suaranya halus, ternyata indera pendengaran Seruni meningkat tajam. Bahkan Arya tidak menyadari kalau dia sudah terbangun, dan terus mengawasi Arya yang tengah memeriksa ulang laporan. Membuka mata malas, bahkan terasa sangat berat, Seruni memindai kamar di mana dia berbaring. Serpihan ingatannya perlahan kembali, dia sedang di rumah Tirta. Lagi keping memori kembali, dia tersenyum bahagia. Di perutnya kini tengah bertumbuh calon pewaris Keluarga Subrata. Buah cintanya dengan Arya. Anaknya. Anak yang hadir setelah pernikahan tak terduga, pernikahan yang terjadi dengan alasan hanya karena bayar hutang saja.Diusapnya perut yang masih rata itu, membisikkan kata sambutan selamat datang juga ucapan sayang. Hingga saat tanpa sengaja Arya melirik ke arahnya, saling tatap dalam diam hingga senyuman juga derap langkah Arya mendekat padanya."Sayang ... kebangun, ya? Maaf," kata Arya sambil duduk di tepi tem
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"