Keduanya masuk ke tempat perbelanjaan itu. Arya biarkan Seruni memilih apapun yang dia mau. Meski dengan kening mengernyit heran, saat Seruni memilih banyak cemilan. Ingin melarang, tapi takut dikatakan perhitungan dan pelit lagi seperti tadi. Seruni terus memilih, kini keduanya ada di depan lemari pendingin, Seruni tampak kebingungan untuk mengambil sari buah yang bermacam rasa di sana. Akhirnya, dengan pasti, Seruni mengambil minuman sari kacang ijo di depannya. Tadi Arya pikir Seruni akan mengambil sari buah, ternyata dugaannya salah besar. "Mau ini?" "Ambil, Sayang." "Dua boleh?" "Silakan." "Tiga?" "Bebas." "Emm, gimana?" Seruni mengambil lagi satu kotak minuman yang dimaksudnya. "Emang pernah minum itu?" tanya Arya, takutnya Seruni hanya asal pilih, tanpa pernah merasakan rasanya. Mending kalau enak, kalau ternyata Seruni tidak suka sedang dia sudah membeli banyak, kan percuma. "Bubur kacang hijau kan enak. Pasti ini juga sama rasanya seperti itu. Boleh kan Runi ambil e
"Dari mana dulu?" tanya Sukma begitu Seruni sudah dipeluknya, sedang di ambang pintu Tirta menunggu giliran disalami oleh anak menantunya. "Dari minimarket dulu, Bu, beli cemilan." Seruni menjawab, membalas pelukan Sukma yang terlihat begitu senang bertemu dengannya. Seruni sangat bersyukur memiliki mertua seperti Sukma yang begitu menyayanginya."Cemilan? Di rumah ada makanan, banyak. Kenapa harus beli?" Sukma menatap Seruni yang terus tersenyum manis."Beli minuman juga, Bu. Vitamin." Arya bantu menjawab, dia berdiri di belakang Seruni dengan membawa kantong plastik berisi belanjaan Seruni tadi."Oh, gitu. Ya, sudah masuk. Makin cantik saja menantu Ibu," kata Sukma membelai pipi Seruni yang terasa dingin.Seruni tersipu mendengar pujian dari Sukma, diikutinya langkah Sukma yang membawanya masuk rumah, tanpa melepas genggaman tangannya."Ayah sehat?" sapa Seruni pada Tirta. Lelaki paruh baya itu tersenyum, membiarkan punggung tangannya dicium penuh hormat. "Alhamdulillah, Ayah seh
Sukma menoleh pada Tirta, dia masih terkejut dengan sikap Seruni."Yah, menurut Ayah Seruni kenapa?"Tirta menatap lekat wajah istrinya, mengusap lembut pipinya dengan perasaan yang masih sama dengan puluhan tahun silam, perasaan yang membuatnya nekat menikahi Sukma yang baru lulus SMP, karena takut dilamar orang. Persis cerita Arya dan Seruni sekarang. "Ayah seperti melihat Ibu yang merajuk dulu.""Maksudnya?""Iya, Ibu pernah seperti itu dulu. Cengeng, nggak bisa dilarang, banyak makan," ujar Tirta diakhiri kekehan."Tapi Ibu nggak pernah nangis di depan ibu sama bapak juga," sanggah Sukma tak ingin disamakan."Iya, memang. Karena kita tinggal berdua saja di kontrakan waktu itu."Sukma ikut larut dalam nostalgia yang suaminya katakan. Dia tersipu, lalu merebahkan kepalanya di pundak Tirta yang sudah tak sekokoh dulu."Ibu ingat saat jadi cengeng itu dalam keadaan apa?" Tirta menguji kepekaan Sukma, dia ingin tahu sekuat apa ingatan Sukma, atas semua momen yang telah mereka lewati b
Suasana pagi di rumah Tirta pastinya sangat berbeda dengan di rumah Soleh.Sukma yang sudah sangat berharap kalau kecurigaannya benar, sedang menyiapkan sarapan untuk Seruni dengan beberapa menu berbeda. Aroma bumbu yang sedang ditumis, menguar memenuhi dapur. Di sebelahnya bi Asih diminta hanya melakukan apa yang disuruhnya saja, Sukma ingin calon penerus keluarganya itu, sejak dini sudah mengenali lezat masakan sang nenek.Sukma tahu mungkin berlebihan, terlebih Seruni belum memeriksakan diri, jadi belum ada kepastian kalau memang si kecil yang sudah sangat dinanti, akan datang sebentar lagi.Arya keluar dari kamar dengan rambutnya yang lembab. Menghampiri Sukma yang masih berkutat dengan menu andalan keluarga. Perutnya ramai minta isi, begitu dia mencium aroma kari ayam yang dimasak ibunya."Harum banget, Bu. Jadi lapar," kata Arya berdiri di samping Sukma yang tengah mengaduk ayam dalam wajan. Bi Asih menjauh, memberikan ruang pada Arya di sana. "Tumben jam segini udah minta mak
"Apa tidak bisa menunggu sampai seminggu lagi? Paling tidak sampai Runi yakin, kalau memang sekarang ini sedang hamil. Boleh?"Ada ketakutan dalam tatapan Seruni saat mengungkapkan keinginannya, dia takut Arya akan tetap memintanya periksa.Arya meraih Seruni dalam pelukan, melihat sorot mata ketakutan istrinya, tentu Arya tidak bisa memaksa. Bagaimana pun kenyamanan Seruni adalah yang utama. Namun dia akan lebih protektif menjaga istrinya, khawatir apa yang menjadi kecurigaan benar adanya."Baik, Sayang. Aku ikut apa yang membuat kamu nyaman. Kita periksa nanti saat kamu siap. Tapi mulai dari sekarang, jangan terlalu capek. Hemm?"Seruni mengangguk tegas, dia senang Arya mengerti keinginannya. Dipeluknya tubuh Arya erat. Sungguh Arya adalah takdir terindah untuknya. Takdir indah, yang datang dengan drama tak terkira.Ini yang membuat Seruni tak mau periksa sekarang, saat baru seminggu dia telat datang bulan, tak ingin mengecewakan Arya dengan hasil yang tidak diinginkan nanti. Kalau
Melangkah keluar kamar, Arya meninggalkan Seruni yang akan berganti baju. Menghampiri Sukma di ruang TV, Arya bermaksud menyampaikan apa yang baru saja Seruni katakan padanya, kalau mereka masih harus menunggu kabar bahagia itu. "Bu," panggil Arya. "Ya, A? Gimana? Runi mau diajak periksa?" tanya Sukma tidak sabar, ditariknya tangan Arya agar duduk di dekatnya. "Runi haid." "Apa?" Sukma merasakan pundaknya lemas. Binar bahagia tadi langsung redup seketika. "Kapan datangnya?" "Barusan." "Yakin kalau itu darah haid?" "Ya, mana Arya paham, Bu? Emang ada ya, itu darah haid atau bukan?" "Ya bisa saja itu bukan darah haid, yang lagi hamil juga bisa keluar flek kalau terlalu capek, atau karena hubungan badan yang terlalu 'kasar'." Arya membuang muka, rasanya malu Sukma seakan mengetahui keliarannya. Seminggu lebih membiarkan Seruni untuk fokus belajar, membuatnya hilang kendali saat kembali menyentuh istrinya. Benarkah kemungkinan kedua yang Sukma katakan adalah benar? "Biarkan sa
"Ayolah, May. Ngikut, aja. Aku lagi bete. Ke kantin, yuk?" Seruni mulai membuka diri. "Ngapain? Makan?" Maya mensejajari langkah Seruni menuju kantin seperti yang Seruni bilang tadi. "Nggak. Aku udah makan tadi di rumah ayah meski sedikit," kata Seruni. Dia memang makan tadi, tapi karena merasa sudah mengecewakan Sukma karena tebakan mertuanya itu salah, Seruni jadi tidak begitu napsu makan. Padahal kari ayam yang dimasak Sukma, sangat enak. Dan membayangkan gurihnya kuah kari tadi, Seruni menelan ludahnya sendiri. Dia harap saat pulang nanti, masakan mertuanya itu masih ada walau hanya tinggal kuahnya saja. "Ayah? Kamu nginep di rumah mertua kamu?" "Iya." "Oh. Emm, Runi ... mertua kamu, baikan?" tanya Maya ragu. Seruni menoleh, lalu mengangguk tegas. "Baik banget malah. Aku sampai--" Seruni menahan bibirnya untuk melanjutkan kata. Kalau bicara lagi soal cucu untuk keluarga itu, pasti dia akan kembali sedih dan murung. Sedangkan tadi dia sudah berjanji pada Arya, untuk tidak
Tirta menatap penuh rasa bahagia. Hamparan sawah miliknya, mulai dibajak untuk memulai kembali menanam padi. Beberapa pekerjanya sejenak menghentikan pekerjaan mereka, menyapa dengan sopan majikan pemilik sawah yang sedang digarapnya. Sinar matahari mulai terasa menyengat kulit, hembusan angin yang menerbangkan aroma khas tanah, terasa sangat menyenangkan untuk Tirta. Dengan ramah, Tirta dan Sukma membalas setiap sapaan para pekerjanya. Terus melangkah perlahan di galengan sawah yang sengaja dibuat agak lebar, agar bisa nyaman dilewati oleh dua orang.Dari jarak yang lumayan jauh, Soleh yang belum menyadari kedatangan besan sekaligus majikannya, sedang tekun menaburkan benih padi di satu kotak sawah khusus persemaian. Hingga rekan kerjanya memanggil, mengatakan kalau ada Tirta dan Sukma datang melihat kesibukan di sawah milik mereka."Kang! Ada Juragan Tirta sama istrinya!"Soleh mengalihkan pandangannya, menatap ke arah yang ditunjuk, lalu menepuk tangannya melepas butiran benih pad
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"