Kesadaran Seruni pulih, dia ingat kalau tadi tengah bermain volly. Dan saat akan menerima smash dari lawan dia mundur dengan kepala mendongak, sinar matahari yang menyilaukan matanya membuat dia tidak bisa menerima pukulan itu, bahkan wajahnya yang menjadi tempat mendarat sempurna bola kuat."Ada yang sakit?" tanya Maya begitu Seruni mencoba duduk."Nggak, hanya pusing. Hidung aku sih, sakit!" Seruni mengusap hidungnya, wajahnya masih tampak memerah."Eh, kok kerudung aku kebuka?" tanya Seruni kaget mendapati penutup kepalanya sudah tidak rapi menutup, dengan tergesa Seruni menyatukan lagi kerudungnya, menyembunyikan sesuatu yang sudah jelas dilihat oleh Maya."Iya, tadi aku yang buka biar kamu bisa mendapat udara dengan nyaman.""Eh, emm ... i-iya. Makasih sudah menjaga aku," kata Seruni gugup. "Jarum pentulnya mana, May?"Maya menyerahkan benda kecil tajam yang tadi dilepasnya, memperhatikan gerak canggung Seruni yang kembali memakai kerudungnya."Jangan tatap aku seperti itu, May,"
Seruni merebahkan kepalanya di pundak Arya, hempasan bola yang dengan telak pada wajahnya, meninggalkan bekas berdenyut juga panas yang membuat kepalanya pusing."Pusing banget ya, Sayang?" tanya Arya sambil memijat lembut kening Seruni.Seruni mengangguk, memejamkan mata untuk mengurangi mual saat menahan rasa pusing yang menderanya. Ade melirik sekilas pada keduanya dari kaca spion."Perlu ke dokter nggak, Gan?" tanya Ade menyela."Bo--""Nggak perlu, Sayang!" Seruni memotong cepat, dia hanya butuh tidur sekarang."Tapi, Sayang ... kamu harus diperiksa," kata Arya yang menginginkan Seruni mendapatkan penanganan dokter."Aku hanya butuh istirahat, ini bukan pusing karena aku sakit, Sayang.""Lalu?" Arya sedikit menjauhkan badan agar bisa menatap istrinya."Aku kena senter bola tadi--""Apa?! Coba aku lihat!" kata Arya panik, dengan teliti dipindainya wajah Seruni, dia baru menyadari kalau wajahnya istrinya memerah. Ditangkupnya kedua sisi wajah Seruni dengan cemas. Ade yang mendenga
Maya kembali ke kelasnya, bayangan penampakan leher dan dada bagian atas Seruni terus mengganggunya. Dia tak tahu apa harus mengingatkan sahabatnya itu, atau mendiamkan.Menghempaskan diri pelan di kursi, Maya mengambil ponselnya, mengotak-atik benda itu dengan nomor Seruni yang terpampang jelas di layarnya. Haruskah dia bertanya? Sedang tadi dia sudah mengatakan tidak akan bertanya apapun pada Seruni. Tapi sungguh dia juga tidak bisa acuh begitu saja. Dia sayang pada Seruni, tak ingin hal-hal buruk menimpa sahabatnya. Apa ... Seruni masih perawan? Apa Seruni dan Arya sudah melakukan hal itu? Apa ada hal lain yang disembunyikan Seruni darinya? Atau sebenarnya mereka sudah menikah diam-diam? Mengingat waktu itu ada pelaminan di rumah Seruni saat dia berkunjung dengan Didi dan Rizal. Maya menggeleng, berbagai pertanyaan dalam benaknya membuat kepalanya pusing."Maya, Seruni nggak papa kan?" Didi datang tergesa, dia duduk di bangku di depan kekasihnya."Nggak papa, kamu kemana aja
Seruni pun melakukan hal yang sama. Hingga arah pandang Seruni terhenti pada tembok yang ada di depannya."Di sini saja, jadi saat kita tidur dan bangun akan langsung melihat photo itu. Jadi setiap hari kita akan terus menatap photo itu sebelum dan sesudah tidur. Bagaimana?" Seruni menoleh pada Arya yang ternyata tengah menatapnya penuh puja."Manis banget sih, istriku! Makin sayang deh.""Ih, gombal melulu!""Serius! Jadi pengen--""Stop! Runi lagi datang bulan, dan sekarang wajah Runi masih sakit karena dicium bola tadi!" Seruni menjauhkan wajahnya dengan tangan menahan wajah Arya yang mendekat.Arya menghembuskan napas panjang, dengan pasrah dia menarik diri menjauh."Cepat sembuh, Sayang. Pengen nyium aja jadi susah." Arya menghiba.Cup!Seruni mencium pipi Arya mengobati rasa kecewa suaminya."Jangan merajuk! Nggak pantes."Arya terkekeh pelan. "Ya sudah, nanti photo kita pasang di sini. Sekarang simpan dulu ya, nanti dipasangnya. Aku harus segera ke ladang untuk melihat panen sa
"Maya? Ayo, masuk! Sama siapa?" tanya Lastri begitu membukakan pintu setelah mendengar suara orang yang mengucap salam.Awalnya dia berusaha abai, karena berpikir masih ada Arya di depan, tapi suara ketukan pintu yang mengiringi suara seseorang itu kembali terdengar, hingga dia pun menghentikan sementara kegiatannya dan berlalu melihat ke depan."Bu?! Iya, mau lihat Runi," ujar Maya setelah dipersilakan masuk. Maya memperhatikan ruang tamu rumah Runi sekarang, tak ada lagi sofa lusuh yang sudah sobek di beberapa bagian di sana, yang ada sekarang adalah sofa baru dengan warna yang begitu kontras dengan warna cat ruangan paling depan tersebut.Bufet yang jadi penyekat ruangan pun sudah berganti dengan yang baru, meski bukan bufet kristal seperti milik orang tuanya di rumah, tapi Maya tahu itu adalah peralatan baru lainnya di rumah Seruni.Lantai rumah yang beberapa minggu lalu masih peluran semen yang sebagian sudah mengelupas, kini sudah berganti dengan keramik putih hingga terlihat l
Mata Seruni melirik takut-takut pada Maya, rahasianya terbongkar sudah. Dia berpikir untuk memberikan keterangan yang bisa Maya pahami dengan statusnya kini."Oh, iya, Den. Mamang masuk, ya?! Punten.""Iya, Pak, masuk saja."Setengah karung yang dikatakan pembawa kiriman itu adalah berisi buah manggis, dibawa masuk ke ruang tengah. Dari sikapnya yang sangat sopan pada Seruni, semakin menegaskan siapa gadis belia di depan Maya kini. Tentunya, Seruni akan mendapat perlakuan seperti itu dari para pekerja suaminya. Dan haruskah Maya juga bersikap seperti itu pada Seruni mulai saat ini?"Jangan tatap aku seperti itu, May!" kata Seruni dengan kikuk. Tatapan tajam Maya yang meminta penjelasan seakan mengulitinya. "Tunggu sebentar, aku mau menghubungi dulu a Arya.""Suamimu?"Seruni menghela napas panjang."Nanti aku jelaskan. Tunggu sebentar, minum dulu."Seruni melangkah lesu ke kamarnya, tujuannya sekarang adalah menghubungi Arya, selain mengatakan kalau kirimannya sudah sampai, juga ingin
"Jangan tatap aku seperti itu, May!" Seruni tertawa canggung, Maya terus menatapnya bergantian pada photo yang menampilkan dia dan Arya saat selesai akad nikah. Maya menyimpan bukti status baru yang sudah disandang Seruni beberapa minggu lalu. Sungguh dia tidak percaya, kalau Seruni sudah menikah. "May!" "Aku nggak bisa komentar apa-apa, Runi. Ini tuh ... kejutan banget buat aku.""Jangankan kamu, May, aku aja yang menjalaninya kadang masih tidak percaya kalau aku sudah menikah. Saat aku terbangun tengah malam, ada seseorang yang tidur di sebelahku. Aku tidak percaya, bahkan aku sempat menangis waktu pertama kali aa bilang, kalau kami akan menikah dua hari lagi," kenang Seruni mengingat bagaimana awal semua yang terjadi padanya bermula. "Beneran?!" tanya Maya tidak percaya. "Iyalah, memangnya kamu pikir aku senang, saat mendengar kalau harus menikah tiba-tiba? Tidak sama sekali!""Lalu apa yang menyebabkan kamu akhirnya mau menikah dengan Raden Arya? Kamu tidak dipaksa kan? Kamu
Maya pulang setengah jam kemudian, bertepatan dengan Rara dan Robi yang kembali dari sekolah. Seperti yang dikatakannya tadi, Maya pulang membawa satu kantong plastik manggis dan alpukat, meski diikuti gerutuan kesal pura-pura dari Seruni.Seruni menolak ajakan makan siang bareng Lastri dan yang lainnya, sedang Soleh belum pulang dari ladang milik Tirta karena ikut membantu panen di sana. Meski sudah berganti status menjadi mertua seorang Arya, juga besan dari juragan tanah di desanya, Soleh tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Lagi pula yang kaya itu Tirta, bukan dia. Walau tentu saja, baik Arya ataupun Tirta sudah melarang Soleh bekerja, seperti sebelum ada ikatan keluarga di antara mereka.Seruni memilih menunggu Arya, meski saat dihubungi suaminya itu tidak mengangkat telepon. Lastri yang baru selesai membereskan lagi bekas makan mereka dibantu Rara, mengetuk kamar Seruni saat teringat akan percakapan yang tadi dibicarakan oleh Maya dan anaknya.Lastri harus menanyakan kebe
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"