Lastri sudah disibukkan dengan aktivitasnya seperti biasa di pagi buta. Berjongkok di depan tungku, untuk memasak nasi dan merebus air. Aroma khas kayu bakar memenuhi ruangan, disertai suara derakan kayu yang perlahan terbakar, menerbangkan bunga api di sekitaran tungku. Rumah kecil itu terasa hangat oleh api pembakaran, walau asapnya tetap tak membuat nyaman mata tua Lastri. Seruni keluar dari kamar dengan kepala yang berdenyut sakit, semalaman gadis itu tidak bisa tidur dengan lelap. Pikirannya terus tertuju pada sang calon suami. Lelaki matang itu sudah berhasil membuat otak polosnya terkontaminasi virus cinta. Beruntunglah dulu dia bisa menjaga hati dan pikirannya dari hal seperti ini, hingga setidaknya tidak membuat dia mengabaikan pelajaran sekolahnya dulu. Begitu keluar, Seruni dibuat takjub dengan gamis berwarna putih tulang, berbahan brukat yang digantung di dinding dekat kamarnya. Khimar senada, tergantung terpisah. Lastri yang mendengar suara pintu kamar berderit, menol
Suara kicauan burung terdengar menggantikan para pengisi suara serangga malam. Semburat keemasan mulai terlihat dari ufuk timur, mengganti tugas gelap malam dengan cahaya terang mentari. Seruni keluar dari kamar dengan menggunakan gamis dan kerudung yang dikirimkan oleh Arya, untuk dipakainya saat akad nikah nanti. Anggota keluarganya yang sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan, serentak menoleh padanya begitu dia menampakan diri. Decakan kagum dari semua terdengar, atas penampilan Seruni yang begitu memukau. "Ya, Allah, Teteh! Cantik banget!" Rara menderap langkah memburu kakaknya yang mematung di ambang pintu, dia menatap takjub pada sang kakak yang tersipu malu. Soleh dan Lastri saling pandang, mengagumi pesona sang putri yang ternyata begitu memesona. Pantas saja lelaki matang dan mapan seperti Arya menginginkan anaknya, ternyata lelaki itu bisa melihat kecantikan tersembunyi seorang Seruni. Sedang si Bungsu Robi menatap tak berkedip pada Seruni, dengan mulut setengah te
"Loh, Den Arya?""Assalamu'alaikum, Bu?""Wa'alaikumussalam,""Runi?""Runi? Ada tapi ...." penjelasan Lastri terjeda, saat mengingat kalau Seruni tengah menangis tanpa dia tau sebabnya. Dia menoleh ke ruang makan. "Seruni kenapa, Bu?" Arya melongokan kepalanya ke dalam, mengikuti arah pandang Lastri. "Masuk saja, Den. Runi sedang sarapan." Lastri memberi ruang pada Arya untuk memasuki rumahnya. "Ibu duluan." Arya meminta Lastri untuk membimbingnya masuk. Lastri menganguk dan mendahului Arya masuk. Hingga pemandangan Seruni yang tengah menangis di meja makan, menyambut kedatangan Arya. "Tuh, Runi lagi nangis!" tunjuk Lastri. Lalu beranjak ke dapur meninggalkan Arya untuk berbicara dengan Seruni. Arya melangkah perlahan, mendekati Seruni yang belum menyadari kedatangannya, isakan Seruni terdengar membuat Arya semakin heran, kenapa gadis itu menangis? Tiga puluh menit lalu, suara ceria gadis itu membuai pendengarannya, namun kini isakan Seruni membuat Arya bertanya-tanya. Menari
Membawa gamis yang sudah membuatnya menangis pagi-pagi, Seruni memeluk benda itu seakan sedang berdamai agar ketakutannya berkurang. Menghentikan langkah tepat di ambang pintu kamar, Seruni melihat pada Arya yang ternyata sudah berdiri di dekat kamarnya. Tak sabar menunggu Seruni mendekat, Arya datang menyambut gadis itu. "Mana?" tangan Arya terulur meminta baju yang masih dipeluk Seruni. 'Andai aku bisa seperti baju itu! Tenang Arya ... dua hari lagi! Setelah itu kamu bisa melakukan apa saja pada gadis itu.' Tangan Seruni bergetar memberikan baju yang dipeluknya pada Arya. "Ini ... Aa.""Ikut aku sekarang, kamu tidak usah kuliah, tadi aku sudah meminta Kang Bara untuk izin ke kampus kamu," kata Arya tanpa melihat sama sekali baju yang Seruni berikan padanya. Seruni menatap Arya kaget. "Izin? Tapi kenapa? Bukankah besok juga aku izin, A?" "Karena kita harus mencari baju lain untuk kamu pakai besok malam.""Tapi itu sobeknya sedikit, A. Coba Aa periksa!" terang Seruni sambil men
Mobil Arya mulai melaju pelan, melintasi jalanan berbatu yang bergelombang, Seruni melirik takut pada Arya yang masih diam. Ah, sungguh ... Seandainya dia belum tahu sikap Arya yang romantis, mungkin dia tidak akan perduli Arya bersikap judes padanya. Tapi karena Seruni sudah tahu sisi lain Arya, Seruni jadi tidak nyaman. "Aa ...!" suara Seruni memecah keheningan di dalam kabin, "Hmm!""Jangan marah!"Hening. Seruni merasakan sesak dalam dadanya. Air mata kembali berkumpul di pelupuk mata mendesak ingin keluar, membuat panas mata Seruni. "Runi minta maaf, Runi tahu sudah ceroboh. Runi ... Runi ... Huhuhu!" Seruni menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sesak di dada, membuat tenggorokannya tercekat. Arya kaget melihat Seruni menangis, dia menyesali sikap isengnya yang membuat Seruni kembali menangis. Menepikan mobil, Arya memberanikan diri menyentuh tangan Seruni yang menutupi mukanya. "Hei ... Sayang! Jangan nangis! Aku tidak marah!" Seruni menahan tangannya agar tidak
Begitu sampai di rumah penjahit langganan sang ibu, Arya disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan ramah. "Eh, Den Arya ... apa kabar?" tanya wanita yang telah diberitahukan Arya pada Seruni bernama Euis. "Alhamdulillah, sehat, Bu.""Ibu Sukma sehat?""Alhamdulillah." Euis menoleh pada Seruni yang duduk di samping Arya dengan tersenyum malu-malu, "Ini ... keponakan?" Sepasang calon pengantin itu saling pandang, lalu tersenyum malu. Apalagi Seruni, wajahnya sudah merona."Ini ... calon istri Arya, Bu," jawab Arya tanpa ragu. Mendengar penuturan Arya, Euis terkesiap kaget. Bagaimana mungkin calon istri Arya masih sangat belia. "Eh ... calon istri?!" "Iya, Bu. Calon istri," tandas Arya menegaskan perkataannya. "Oh, iya, saya turut senang mendengarnya." Euis tersenyum penuh pengertian."Terima kasih, Bu. Dan maksud kedatangan kami." Arya menyimpan baju yang sedari tadi dalam genggamannya ke meja. "Tolong diperiksa, apakah baju ini masih bisa diperbaiki?" Euis memeriksa ba
Sukma--ibu Arya-- berdiri menunggu Arya dan Seruni yang baru turun dari mobil. Senyum lebar sang ibu, membuat Arya semakin ingin cepat mendekat, dan menyampaikan rasa bahagianya. Bahagia karena keinginan hati yang pernah disampaikan pada Sukma, sebentar lagi akan menjadi nyata. Walau mungkin sebagian orang tidak mengerti dengan jalan pikirannya, namun Sukma mendukung penuh keinginan anak tercinta. Seruni berjalan perlahan di sebelah Arya. Meskipun sudah menyemangati dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, tetap gadis belia itu merasa khawatir. "Jalannya dipercepat, Sayang. Ibu sudah tidak sabar untuk memeluk calon menantu kesayangannya," ujar Arya meyakinkan. Benarkah? Seruni menoleh, tersenyum kikuk dengan jemari yang tak henti mengepal. Dia semakin gugup saat jarak semakin dekat dengan Sukma, yang kini terlihat tak sabar. "Selamat datang, Neng Geulis. Ayo, sini cepat! Ibu tak sabar ingin memeluk," panggil Sukma seraya melambaikan tangan. Seruni sedikit lega melihat sambutan
"Runi?! Kok, melamun? Kenapa?" Sukma menarik kesadaran Seruni yang mengembara, menyadarkan dia dengan situasi saat ini. Seruni menundukan wajahnya dalam, menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya sudah tertebak oleh Arya. 'Aku tidak akan memberikan kamu waktu untuk memikirkan dia, Runi. Karena kamu akan menjadi milikku.' Menarik napas dalam, Seruni mencoba bersikap biasa kembali, menutupi gelisah hati dengan kenyataan yang baru saja terkuak. "Em ... Runi tidak apa-apa, Bu. Maaf, Runi tidak memperhatikan apa yang Ibu bicarakan tadi. Bisa diulang, Bu?" Seruni tersenyum canggung, merasa sudah bersikap tidak sopan pada Sukma yang sudah menerimanya dengan baik. "Kamu tidak fokus, ya?! Pasti memikirkan tidak ke kampus sekarang. Benar?" Seruni mengangguk memilih mengiyakan semua perkataan Sukma agar tidak curiga. Apa lagi di depannya, Arya terus menatapnya penuh selidik, "I-iya, Bu. Runi jadi bolos. Karena ... karena tadi, membuat baju yang akan dipakai buat akad sobek kena paku." Seruni
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"